Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akan selalu mengenang 27 Mei 2006 sebagai salah satu hari termuram dalam hidup mereka. Betapa tidak, pada tanggal tersebut di suatu pagi yang cerah, gempa bumi berkekuatan 5,9 skala Richter menggoyang DIY. Efek samping yang ditimbulkannya pun tak main-main. Menurut laporan media massa, gempa ini mengakibatkan ribuan jiwa melayang dan ratusan ribu bangunan mengalami kerusakan dalam berbagai tingkatan. Yang tak dilaporkan oleh media massa, gempa tersebut menyingkap sebuah fosil kerangka manusia dengan ukuran gigantis: mencapai 1,85 kilometer! Tapi tentu saja, penemuan menggegerkan ini bukanlah sebuah peristiwa nyata – jika benar, sudah ributlah seantero dunia – melainkan imajinasi dari seorang dosen di Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM) bernama Yusron Fuadi. Oleh Yusron, imajinasinya ini dituangkan ke dalam sebuah film bertajuk Tengkorak yang menempatkannya sebagai sutradara, penulis skenario, pemain, sinematografer, sekaligus penyunting gambar. Sungguh seseorang yang multitalenta ya! Rangkap jabatan dimungkinkan lantaran skala produksi Tengkorak terbilang sangat kecil sampai-sampai tahapan produksinya pun memakan waktu hingga tiga tahun akibat kekurangan ongkos produksi. Perjuangan panjang tim produksi yang melelahkan akhirnya terbayar tuntas ketika Tengkorak yang semula berkeliling ke festival-festival film memperoleh kepastian untuk menjangkau penonton luas dengan ditayangkan di jaringan bioskop komersil.
Seperti telah dikulik di paragraf sebelumnya, Tengkorak berceloteh tentang kehebohan masyarakat dunia selepas penemuan sebuah fosil kerangka manusia di wilayah Bantul, Yogyakarta. Saking gedenya fosil tersebut sampai membentuk sebuah bukit baru yang belakangan diberi nama Bukit Tengkorak. Penemuan ini tak hanya menggegerkan para ilmuwan tanah air dan (tentunya) para pemuka agama, tetapi juga negara-negara dunia pertama yang saling berlomba-lomba dalam mengulurkan bantuan kepada Indonesia. Mereka tertarik untuk meneliti sekaligus menguak misteri yang tersembunyi dibalik fosil tengkorak tersebut. Mengingat penemuan ini menyebabkan banyak pihak geger – bahkan mengundang berbagai macam demonstrasi – International Monetary Fund (IMF) pun menawarkan diri dalam membantu melunasi hutang-hutang negara asalkan bukit ini dihancurkan demi meredam paranoia massal. Ditengah-tengah persiapan pemerintah untuk mengeksekusi permintaan IMF, sorot cerita beralih ke salah seorang karyawan baru di Badan Penelitian Bukit Tengkorak (BPBT) bernama Ani (Eka Nusa Pertiwi) yang nyaris dihabisi nyawanya ketika tengah bersantai di kamar kosnya. Beruntung, rencana pembunuhan ini dapat digagalkan oleh Yos (Yusron Fuadi) yang lantas membawa Ani kabur untuk menghindari kejaran pihak-pihak yang mengincar nyawanya. Dalam pelarian tersebut, misteri yang melingkupi rencana pembunuhan Ani termasuk keterkaitannya dengan Bukit Tengkorak pun secara perlahan tapi pasti mulai tersibak.
Ditinjau dari premis, Tengkorak sejatinya menyodorkan gagasan yang menggelitik bahkan bisa dikatakan tergolong cerdas. Yusron Fuadi mengajak kita berandai-andai tentang reaksi umat manusia apabila muncul sebuah temuan besar di Indonesia yang mengungkap kenyataan bahwa ada makhluk lebih superior ketimbang manusia di muka bumi. Akankah kita bisa menerimanya atau justru menyangkalnya? Satu hal yang jelas, penemuan semacam ini berpotensi ditumpangi oleh pihak-pihak berkepentingan dan menimbulkan huru-hara. Dalam beberapa menit awal yang dikemas oleh si pembuat film dalam bentuk montase rekaman wawancara dan berita, Tengkorak berhasil menggaet atensi. Para ilmuwan bertindak, para pemuka agama naik panggung, para mahasiswa turun ke jalan, pemerintah menyembunyikan kebenaran, sejumlah negara ikut ambil bagian dengan motif terselubung, dan wong cilik tetap duduk anteng di depan televisi seraya menyaksikan kehebohan yang diciptakan oleh manusia-manusia oportunis. Ada ketertarikan yang lantas mencuat dari sini untuk mengetahui: apa yang selanjutnya mungkin terjadi? Memilih topik pembicaraan semenarik ini lalu mengelaborasinya dengan kata-kata pembuka yang memprovokasi imajinasi, sayangnya Yusron Fuadi justru keteteran dalam menjabarkannya di kalimat-kalimat selanjutnya. Ketimbang bertahan di jalur political thriller yang mempergunjingkan tentang aksi pemerintah dalam membungkam pihak tertentu demi menjaga stabilitas negara (termasuk menjalankan pasukan bawah tanah), Tengkorak justru mbleber kemana-mana. Tiba-tiba berganti haluan ke percintaan, komedi, sampai laga. Film ini benar-benar mengalami inkonsistensi akut pada nada penceritaan.
Alhasil, apa yang hendak disampaikan oleh film ini pun kabur lantaran si pembuat film terlalu bernafsu untuk memasukkan berbagai macam elemen ke dalam penceritaan. Ya, ada banyak hal tak terjabarkan, semestinya bisa dihapus, dan semestinya dimunculkan diantara adegan pembuka yang mengikat dan revealing di penghujung durasi yang berani. Saya sudah mengalami gagal paham sedari Yos membonceng Ani dengan motor menuju ke pelosok desa lantaran logika bercerita yang dipertanyakan. Kok Ani manut-manut saja ya dibonceng Yos sementara pria tersebut baru saja membunuh seseorang di depan matanya? Apa tidak ada sedikitpun kecurigaan terhadap Yos? Dan mengapa harus ada adegan mereka menghabiskan waktu berdua-duaan dengan durasi cukup panjang disela-sela pelarian ini? Apakah fungsinya sebagai romantic building? Jika betul, mengapa harus ada dan mengapa keduanya harus dipersatukan sebagai pasangan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menggelayuti benak selama beberapa saat yang kemudian saya pasrahkan ketika Ani dan Yos sampai di sebuah menara. Bukan karena akhirnya terjawab secara tuntas, melainkan muncul seabrek pertanyaan mengusik ketenangan jiwa lainnya (seperti, kenapa Ani tiba-tiba marah kepada Yos padahal sebelumnya mereka baik-baik saja?) ditambah lagi tukar dialog antar karakternya tak memiliki signifikansi terhadap pergerakan kisah. Mereka hanya bercanda, bercanda, dan sedikit saja menjabarkan situasi yang tengah dihadapi oleh para karakter dengan niatan memberi kejutan di akhir durasi.
Kalaupun adegan ngobrol ngalor ngidul di menara ini dipadatkan menjadi 5 menit saja pun tak menjadi soal. Penonton tetap tak akan melewatkan apapun karena pertanyaan seputar kontroversi serta konspirasi dibalik penghancuran Bukit Tengkorak hanya dicelotehkan sekenanya saja. Kesempatan untuk menyelipkan satir, sentilan sentilun, komentar sosial, atau apalah namanya itu dilewatkan oleh Yusron Fuadi hanya demi memberi ruang tampil bagi banyolan kurang lucu, subplot percintaan yang dipaksakan, sampai adegan yang entah apa tujuannya: seorang perempuan yang berlari-lari mencari suaminya di antrian warga yang dievakuasi. Disamping menimbulkan kebingungan pada penonton, imbas dari naskah dan penceritaan yang jauh dari kata rapi ini adalah performa jajaran pemain yang tak stabil. Eka Nusa Pertiwi jelas bukan seorang aktris yang buruk, hanya saja delay cukup panjang untuk melampiaskan ketakutan beserta kemarahan terasa sukar buat dipahami. Saya pun tak bisa menaruh kepedulian kepada Ani maupun Yos karena konflik psikologis yang mereka hadapi tak pernah lagi dijlentrehkan dan motivasi mereka sepanjang film pun mengawang-awang. Padahal, keduanya mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai karakter kompleks yang menarik. Ani mempunyai masalah di sektor keluarga lalu sebagai wong cilik yang tak tahu apa-apa malah terseret ke dalam konspirasi besar, sementara Yos menunjukkan ambiguitas moral terkait keputusannya menyelamatkan Ani. Alih-alih dikembangkan, dua karakter kunci ini justru berakhir tipikal: tindakan Ani acapkali berasal dari dorongan orang lain dan Yos menyelamatkan Ani semata-mata karena masalah hati (atau ranjang?). Sungguh sangat disayangkan.
Rating :