Dunia malam ibukota tak lagi asing bagi Teddy Soeriaatmadja. Dia pernah menempatkannya sebagai panggung utama untuk memfasilitasi berlangsungnya reuni dadakan antara seorang ayah dengan anak perempuannya dalam Lovely Man (2011), dan dia kembali memanfaatkannya melalui Something in the Way (2013) demi menonjolkan pergulatan hati si karakter utama yang dikisahkan taat beragama. Bagi Teddy, ada banyak cerita menarik yang bisa dikulik dari manusia-manusia kalong di Jakarta utamanya berkaitan dengan hal-hal tabu yang biasanya enggan diperbincangkan ketika cahaya matahari masih bersinar terang lantaran polisi moral bebas kelayapan. Teddy mengambil langkah berani di kedua film ini yang membenturkan moral agama dengan seks dalam upayanya untuk memaparkan realita bahwa nafsu syahwat tak tebang pilih dalam berburu inang. Mengingat topik pembicaraannya yang bernada sensitif, tidak mengherankan jika film-film tersebut lebih memusatkan peredarannya di ranah festival film yang cenderung merangkul perbedaan alih-alih bioskop komersial yang memberlakukan sensor. Berulang kali berkelana ke beragam festival film dunia – termasuk membawa About a Woman (2014) yang mengedepankan topik senada – Teddy akhirnya memutuskan untuk sedikit bermain aman demi mempertontonkan film terbarunya, Menunggu Pagi, pada khalayak lebih luas. Temanya masih berkutat dengan dunia malam, hanya saja sekali ini fokusnya adalah sekelompok remaja dan perbincangannya tak semuram, seberat, sekaligus sekontroversial dibandingkan trilogy of intimacy di atas.
Dalam Menunggu Pagi, penonton diperkenalkan kepada seorang laki-laki bernama Bayu (Arya Saloka) yang memiliki sebuah toko vinyl (baca: piringan hitam) di Pasar Santa. Meski memiliki kecintaan pada musik, Bayu tak melihat adanya urgensi untuk menghadiri helatan DWP (Djakarta Warehouse Project) – salah satu festival musik elektronik terbesar di Asia yang dihelat saban tahun – seperti halnya rekan-rekan sebayanya. Dia pernah menghadirinya sekali dan tidak memiliki niatan untuk kembali menghadirinya karena merasa pengalaman yang ditawarkannya tidak akan jauh berbeda. Ketimbang berdesak-desakkan dengan puluhan ribu orang dari berbagai negara, Bayu lebih memilih untuk menghabiskan malam dengan bermain video game di rumah… seorang diri. Bujuk rayu dari ketiga orang teman baiknya; Kevin (Raka Hutchison), Adi (Bio One), dan Rico (Arya Vasco), termasuk menawarinya tiket masuk gratis tak sedikitpun mampu menggoyahkan tekad Bayu. Dia hanya ingin mengurus toko, lalu bersantai di rumah. Thats it. Akan tetapi, rencana untuk menjalankan me time ini mendadak bubar jalan ketika seorang perempuan bernama Sarah (Aurelie Moeremans) yang merupakan mantan kekasih Kevin datang ke toko Bayu untuk mengambil titipan lalu mengajaknya ke DWP. Bayu yang semula kekeuh dengan pendiriannya pun akhirnya luluh juga dan tidak keberatan untuk menemani Sarah. Dalam perjalanan menuju lokasi, serangkaian kejadian tidak terduga turut menemani muda-mudi ini yang sebagian besar dipicu oleh kecerobohan sahabat-sahabat Bayu dan masa lalu Sarah yang masih enggan untuk melepaskan diri.
Tidak seperti Lovely Man maupun Something in the Way yang terbilang muram dalam memandang gemerlap dunia malam di Jakarta dengan memosisikan karakter-karakter marjinal sebagai penggerak cerita, Menunggu Pagi melantunkan penceritaan menggunakan dentuman. Selaiknya gelora masa muda, maka Teddy pun menarasikan film teranyarnya ini dengan penuh hingar bingar, sematan humor disana sini, dan menyelipkan pula momen aksi sebagai pembangkit semangat. Menilik tujuan utama para karakter dalam perjalanan singkat di film ini adalah DWP, tentu bisa dipahami bahwa si pembuat film memilih untuk mengedepankan nada pengisahan yang upbeat alih-alih offbeat mengikuti irama musik elektronik. Selepas trilogy of intimacy yang menyesakkan – mempertemukan kita dengan manusia-manusia kesepian yang mendamba cinta – sungguh menyegarkan bisa melihat Teddy bersenang-senang di sini bersama anak-anak muda. Memang betul bahwa dua protagonis utamanya masih dihadapkan pada persoalan tak jauh berbeda, yakni pengkhianatan orang terkasih yang memunculkan kerinduan terhadap cinta yang tulus. Akan tetapi, Menunggu Pagi tak menghabiskan kuota durasinya untuk menyoroti pergolakan batin mereka dengan dialog-dialog mengiris perasaan atau tangkapan gambar yang menyiratkan kekosongan jiwa. Film justru bertutur secara positif dan ringan-ringan saja dengan mengatakan bahwa “tak ada salahnya kok bersenang-senang, hidup terlalu singkat untuk kau habiskan dengan ratapan.” Yang menarik, Teddy menggunakan dunia malam (atau dalam kasus ini adalah DWP) sebagai pintu gerbang yang membawa kehidupan pribadi Bayu dan Sarah menuju titik berbeda.
Bayu yang dideskripsikan sebagai pemuda lurus yang enggan mengambil resiko akhirnya mengenal kata spontanitas, sementara Sarah yang terperangkap dalam toxic relationship bersama kekasihnya akhirnya berani untuk bersuara. Dalam perjalanan yang diwarnai halusinasi akibat obat, kejar-kejaran, sampai pengeroyokan ini, keduanya menyadari satu sama lain bahwa mereka membutuhkan pasangan yang menerima apa adanya. Dilandasi oleh cinta, bukan oleh kemampuan di ranjang atau malah semata-mata demi mempertahankan status. Teddy membingkai pertemuan awal antara Bayu dengan Sarah secara manis (adegan mendengarkan vinyl bersama itu tjakep!), begitu pula saat mereka bersama-sama menuju DWP. Tapi durasi yang terlampau singkat disertai laju bergegas menghalangi kisah kasih mereka yang mekar dalam semalam untuk terhidang lebih menggigit. Bukan problematika krusial sebetulnya, karena pesan si pembuat film telah terjelaskan dengan baik dan plot ini mesti berbagi porsi dengan kesialan sahabat-sahabat Bayu yang menyediakan momen komedik bagi film dan bisnis barang haram yang dijalankan oleh mantan kekasih Sarah (diperankan oleh Mario Lawalata). Hanya saja, saya berharap bisa memperoleh pembicaraan soal cinta dan kehidupan yang lebih mendalam karena saya menikmati cerita cinta Bayu-Sarah. Keduanya diperankan secara menarik oleh Arya Saloka beserta Aurelie Moeremans, dan film turut menampilkan lakon apik dari para pemain pendukung seperti Bio One yang senantiasa teler, Mario Lawalata yang kebingungan, dan Yayu Unru yang intimidatif. Disamping performa pemain, Menunggu Pagi unggul pula di sektor penyutradaraan. Melalui film ini, Teddy membuktikan bahwa dia tak saja cakap bercerita, tetapi juga ulung dalam menangani adegan sebesar kebut-kebutan di jalan dan konser. Meski lokasi syutingnya tak benar-benar dilangsungkan bersamaan dengan DWP, sensasi ajeb-ajebnya masih sangat terasa.
Rating :