Sebagai sebuah film yang berkisah tentang kehidupan Neil Armstrong – seorang astronot asal Amerika Serikat yang dikenal sebagai manusia pertama yang menjejakkan kakinya di Bulan, tentu mudah untuk membayangkan jika First Man digarap layaknya Apollo 13 (Ron Howard, 1995) atau film-film bertema angkasa luar lainnya atau malah film-film lain yang bercerita tentang pasang surut kehidupan seorang karakter nyata sebelum ia mencapai kesuksesannya. Namun, hal yang berkesan biasa jelas bukanlah presentasi yang diinginkan oleh sutradara berusia 33 tahun, Damien Chazelle, yang pada usianya ke 32 tahun berhasil memenangkan sebuah Academy Award untuk kategori Best Director lewat film musikal arahannya, La La Land (2016), dan menjadikannya sebagai sutradara termuda di sepanjang catatan sejarah yang berhasil meraih gelar tersebut. Alih-alih mengemas biopik yang diadaptasi dari buku karya James R. Hansen berjudul First Man: The Life of Neil A. Armstrong ini menjadi sebuah biopik dengan standar pengisahan familiar a la Hollywood, Chazelle memilih untuk menjadikan First Man sebagai sebuah ajang bermain bagi kecerdasan visual dan teknikalnya sekaligus, di saat yang bersamaan, tempatnya bermeditasi mengenai arti sebuah perjalanan hidup. Sounds a bit too deep eh?
Berdasarkan naskah cerita yang ditulis oleh Josh Singer (The Post, 2017) – yang menjadikan film ini sebagai penanda kali pertama Chazelle mengarahkan sebuah film dengan naskah cerita yang tidak ia kerjakan sendiri, First Man dimulai dengan rasa duka yang dialami oleh pasangan Neil Armstrong (Ryan Gosling) dan Janet Shearon (Claire Foy) setelah meninggalnya puteri tunggal mereka. Kehidupan mereka juga semakin muram setelah karir Neil Armstrong sebagai seorang pilot tidak berjalan dengan baik. Namun, secara perlahan, Neil Armstrong mulai mampu membuktikan kemampuan dirinya ketika memutuskan untuk bergabung bersama dengan United States National Aeronautics and Space Administration dan menjadi astronot berlatar sipil pertama di masa Amerika Serikat sedang menghadapi persaingan dalam bidang penjelajahan angkasa luar dengan Uni Soviet. Dengan kemampuan dan daya analitisnya yang cemerlang, Neil Armstrong terus dipercaya untuk terlibat dalam berbagai misi luar angkasa milik United States National Aeronautics and Space Administration hingga akhirnya ia terpilih untuk memimpin misi penerbangan Apollo 11 bersama dengan Buzz Aldrin (Corey Stoll) dan Michael Collins (Lukas Haas) yang menjadi usaha Amerika Serikat untuk mendarat di Bulan.
Pengisahan First Man sendiri tidak hanya berfokus pada kisah-kisah yang dijalani oleh para karakternya. Singer juga mampu menyelami sisi sosial dan politis dari masa Space Race – sebutan untuk masa-masa persaingan dalam bidang penjelajahan angkasa luar antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet yang berlangsung pada tahun 1957 hingga tahun 1975 – hingga kisah jatuh bangunnya United States National Aeronautics and Space Administration dalam usaha mereka membangun eksplorasi luar angkasa yang tangguh. Elemen pengisahan tersebut terjalin dengan sangat rapi dan memberikan warna tambahan yang cukup kuat bagi struktur cerita First Man secara keseluruhan.
Jika ingin memberikan perbandingan pada film-film arahan Chazelle sebelumnya seperti Whiplash (2014) maupun La La Land, First Man tampil dengan barisan karakter yang memiliki gambaran emosional yang jauh lebih dewasa. Tidak ada lagi ambisi yang menggebu-gebu ataupun tumpahan ekspresi perasaan yang membara. “Pendewasaan” ini mungkin menyebabkan First Man terasa hadir dengan sentuhan emosional yang dingin, berjarak, atau cenderung datar bagi beberapa penonton. Terlebih, naskah cerita garapan Singer memberikan fokus yang cukup melekat pada rasa duka yang dialami oleh karakter Neil Armstrong dan Janet Shearon serta bagaimana rasa duka mendalam tersebut kemudian mulai mempengaruhi kehidupan mereka, baik kepada hubungan mereka dengan satu sama lain sebagai pasangan suami istri, hubungan keduanya dengan anak-anak mereka, maupun hubungan mereka dengan orang lain dalam kehidupan mereka. Tidak mengherankan jika sebagai sebuah biopik, First Man tampil lebih sebagai sebuah pandangan intim akan kehidupan personal sang karakter utama daripada sebagai selebrasi atas deretan prestasi yang berhasil digapainya. Let’s just say… Chazelle sedang berusaha untuk menjajal kemampuan penceritaan seorang Terrence Malick dari dalam dirinya.
Pendekatan cerita yang hadir layaknya Tree of Life (Malick, 2011) tersebut jelas memberikan pengaruh besar pada performa para pengisi departemen akting dalam film ini untuk menghidupkan karakter-karakter yang mereka perankan. Gosling dan Foy lebih banyak menyampaikan emosi mereka melalui gestur tubuh, ekspresi wajah, serta tatapan mata daripada melafalkan dialog. Jelas bukan sebuah jalan yang mudah untuk membangun koneksi emosional sekaligus mengikat perhatian penonton. Meskipun begitu, Gosling dan Foy tampil dalam kapabilitas akting yang maksimal. Dalam setiap gerakan tubuh mereka, keduanya memberikan galian emosional mendalam atas deretan dialog yang diucapkan oleh karakter yang mereka perankan. Chemistry yang hadir antara Gosling dan Foy juga dapat mudah dirasakan: hangat ketika cinta sedang bersemi dalam hubungan mereka namun kelam dan muram ketika tantangan cinta mulai merintangi hubungan tersebut. Peran Chazelle yang memilih untuk mengambil wajah para pemerannya dalam jarak yang begitu dekat dengan kamera juga jelas memberikan bantuan bagi para aktor untuk menyampaikan emosi yang ingin mereka tampilkan.
Permainan teknis Chazelle tidak hanya berhenti pada pilihan untuk mengeksplorasi wajah dan ekpresi para pemeran filmnya dalam jarak yang dekat. Hampir seluruh ekspresi kemampuan teknis dalam First Man menunjukkan kejeniusan Chazelle dalam memanfaatkan teknologi dalam menciptakan sebuah ruang penceritaan. Lihat saja bagaimana Chazelle menjadikan keseluruhan lingkup kisah film bagai sebuah pengalaman sedang berada di angkasa luar: minim dialog dan penuh dengan kesan kesunyian yang terasa sangat, sangat hampa. Sebuah meditasi. Desain suara mengedepankan bunyi-bunyian mesin yang begitu khas, mulai dari bunyi mesin pesawat yang sedang bekerja, suasana pengapian pesawat yang akan lepas landas, hingga suasana lingkungan ruang kerja dari karakter Neil Armstrong. Teknik pengambilan gambar shaky cam yang digunakan Chazelle pada banyak bagian film juga mendorong penuh atmosfer ketegangan dan disajikan dengan intensitas yang cukup tinggi. Gambar-gambar yang dihasilkan sinematografer Linus Sandgren juga tampil indah dengan kesan filmis bertekstur grainy yang kental akan memori dari masa lampau. Presentasi cerita First Man semakin lengkap dengan paduan iringan musik garapan Justin Hurwitz yang mampu mengangkat tingkatan emosional pada banyak adegan.
First Man jelas membuktikan keberanian Chazelle dalam mengeksplorasi banyak wilayah cerita baru dalam mempersembahkan cerita filmnya sekaligus kepiawaiannya untuk memberikan sentuhan baru dan segar ketika mengeksekusi kisah tersebut. Memang, tatanan kisah yang berjarak tersebut memberikan tantangan tersendiri dalam menikmati First Man. Meskipun begitu, film ini jelas tampil dengan garapan yang cerdas, dinamis, sekaligus sukses menjadi salah satu presentasi paling mengesankan di sepanjang tahun ini.
Rating :