Review

Info
Studio : Palari Films/Go Studio Original/CJ Entertainment/Phoenix Films/Ideosource Entertainment
Genre : Comedy, Drama, Romance
Director : Edwin
Producer : Meiske Taurisia, Muhammad Zaidy
Starring : Dian Sastrowardoyo, Oka Antara, Hannah Al Rashid, Nicholas Saputra

Sabtu, 29 September 2018 - 15:42:29 WIB
Flick Review : Aruna & Lidahnya
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 1933 kali


Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Titien Wattimena (Dilan 1990, 2018) berdasarkan novel berjudul sama yang ditulis oleh Laksmi Pamuntjak, Aruna & Lidahnya bercerita mengenai perjalanan dinas yang dilakukan oleh seorang ahli wabah bernama Aruna (Dian Sastrowardoyo) untuk meneliti kebenaran kabar tentang wabah flu burung yang mulai menjangkiti penduduk di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai seorang penikmat kuliner sejati, Aruna lantas memanfaatkan tugasnya tersebut sekaligus untuk melakukan wisata kuliner dengan menikmati berbagai makanan khas dari daerah-daerah yang ia kunjungi bersama dengan sahabatnya, seorang juru masak bernama Bono (Nicholas Saputra). Perjalanan tersebut semakin ramai setelah kehadiran Nadezhda (Hannah Al Rashid) – seorang penulis yang merupakan sahabat dari Aruna dan Bono yang diam-diam telah lama disukai oleh Bono – serta Farish (Oka Antara) – seorang dokter yang juga mantan rekan kerja Aruna dan dulu sempat disukainya namun kini kehadirannya membuat lidah Aruna terasa mati rasa. Perjalanan yang penuh intrik, bukan hanya karena adanya pergulatan perasaan yang sedang berlangsung di hati keempat karakter tersebut namun juga dikarenakan kehadiran sebuah misteri yang meliputi tugas yang sedang dijalani Aruna. 

Sekilas, cukup mudah untuk melihat Aruna & Lidahnya dan menilainya sebagai sebuah drama romansa komersial lanjutan bagi Edwin setelah kesuksesannya mengarahkan Posesif (2017) – yang berhasil memenangkannya kategori Sutradara Terbaik pada ajang Festival Film Indonesia 2017 sekaligus mengenalkan namanya pada para pecinta film Indonesia dari kalangan yang lebih luas. Bukan sebuah pernyataan yang sepenuhnya salah. Dengan kehadiran penampilan akting dari Sastrowardoyo, Saputra, Al Rashid, dan Antara serta premis pengisahan yang ditawarkan, Aruna & Lidahnya jelas memiliki daya tarik komersial yang sama (atau malah lebih) besar dengan Posesif. Di saat yang bersamaan, jejak pengarahan Edwin seperti penataan sinematografi dan warna gambar juga beberapa selipan adegan bernuansa sureliasme masih dapat ditemukan dengan mudah pada banyak bagian penceritaan film ini. Mungkin bukan Edwin yang nada pengarahannya berubah mengikuti pasar yang lebih luas namun penonton yang akhirnya telah terbiasa dan merasa familiar dengan gaya penceritaan Edwin.

Aruna & Lidahnya sendiri menghadirkan pengisahan dengan tatanan cerita bernada komedi yang tergolong ringan. Meskipun begitu, bukan berarti penceritaan yang dihadirkan dalam film ini berkualitas sepintas lalu. Wattimena secara cerdas memadukan berbagai elemen penceritaan dalam Aruna & Lidahnya mulai dari kisah pencarian resep sebuah masakan, perasaan yang dipendam oleh setiap karakter, jalinan hubungan romansa terlarang, hingga misi investigasi dari tugas yang dilaksanakan oleh karakter Aruna untuk membentuk suatu benang merah penceritaan tentang keberadaan sebuah rahasia. Walau hadir dengan kemasan film pop yang quirky, bukan berarti Aruna & Lidahnya tidak memiliki “pesan moral” berupa kritik terhadap berbagai isu sosial yang sedang menghangat saat ini. Sentilan-sentilan kepada sikap fanatisme berlebihan terhadap kepercayaan, aksi tebar rasa ketakutan yang banyak dijalankan beberapa kelompok, hingga budaya korupsi disajikan secara apik, terkadang menggelitik, namun mampu sampai dengan penekanan yang tajam.

Jika Wattimena mampu mengumpulkan bahan-bahan dasar sajian yang berkualitas, maka Edwin tampil dengan kemampuan pengarahan yang handal untuk meracik dan menyajikan komposisi cerita tersebut menjadi sebuah sajian pengisahan yang begitu hangat serta memiliki cita rasa yang kuat dan berkelas. Di tangan sutradara lain, Aruna & Lidahnya dapat saja dikemas menjadi sebuah sajian drama komedi romansa dengan balutan kisah tentang makanan, perjalanan, dan konspirasi yang… well… selayaknya drama komedi romansa kebanyakan. Namun, Edwin mampu menyajikan hidangan yang mungkin telah berkesan familiar dengan tata penceritaan yang unik sekaligus segar. Karakter Aruna yang menjadi karakter sentral dalam penceritaan film ini diberikan kemampuan untuk berbicara secara langsung dengan penonton – breaking the fourth wall, bahasa teknis perfilmannya. Dengan kemampuan tersebut, karakter Aruna diberikan kesempatan untuk menyalurkan berbagai reaksinya terhadap berbagai konflik atau keadaan yang ia hadapi secara langsung kepada penonton yang harus diakui berhasil membuat jalan cerita Aruna & Lidahnya terasa menjadi lebih hidup.

Penguasaan Edwin akan naskah cerita filmnya juga dapat dirasakan dari dari pengarahannya akan penampilan teknis film untuk menunjang kedinamisan aliran penceritaannya. Pemilihan warna gambar yang lembut yang seringkali didampingi dengan iringan musik maupun lagu-lagu soft pop – yang beberapa diantaranya merupakan versi buat ulang dari lagu-lagu pop popular dari era ‘90an – mendukung penuh atmosfer pengisahan film yang ceria. Dengan kandungan cerita mengenai wisata kuliner yang dijalani oleh para karakternya, Edwin juga memastikan bahwa kamera memberikan perhatian penuh pada setiap makanan yang disajikan dalam penceritaan Aruna & Lidahnya. Hasilnya, setiap tampilan makanan dalam film ini akan begitu mampu untuk menggugah selera – dan meninggalkan rasa lapar seusai penonton menyaksikan filmnya.

Jalan cerita Aruna & Lidahnya merupakan sebuah alur pengisahan yang menonjolkan karakter-karakter yang tampil dalam linimasa ceritanya. Tiap karakter juga memberikan kontribusi warna tersendiri yang semakin menambah daya tarik penceritaan film. Empat karakter utama film ini disajikan dengan penuh kesederhanaan yang membuat mereka tampil layaknya sahabat atau sosok yang telah dikenal begitu lama oleh para penonton. Hal yang jelas membuat karakter Aruna, Bono, Farish, dan Nadezhda menjadi mudah untuk membentuk ikatan emosional penceritaan. Edwin secara jeli mendapatkan pencapaian tersebut melalui talenta akting Sastrowardoyo, Antara, Al Rashid, dan Saputra. Keempatnya hadir dengan chemistry yang luar biasa erat dan hangat. Setiap celetukan, dialog, hingga gestur tubuh tampil begitu meyakinkan. Jika Ada Apa Dengan Cinta? (Rudy Soedjarwo, 2002) adalah ikon dari persahabatan erat antar para remaja dalam sinema Indonesia maka tidaklah salah jika apa yang disajikan keempat pemeran film ini dijadikan ikon persahabatan para kaum kelas menengah yang belum menikah pada usia 30an-nya. Kinda too specific eh?

Peran sebagai Aruna mungkin bukanlah peran yang terlalu jauh dari peran ikonik yang dahulu pernah ditampilkan Sastrowardoyo. Namun hal tersebut jelas bukan masalah besar ketika Sastrowardoyo mampu memberikan penampilan yang begitu membumi sehingga tampil sangat mudah untuk disukai. Kemampuannya untuk menjadi sosok yang ekspresif dan reaktif terbukti memberikan keunggulan tersendiri bagi karakter Aruna. Memanfaatkan teknik breaking the fourth wall yang telah disediakan Edwin, karakter Aruna menjadi sosok yang tampil hangat dan bersahabat. Dan Sastrowardoyo terlihat begitu effortless dalam menghidupkan karakter tersebut.

Antara, Al Rashid, dan Saputra juga sukses memberikan penampilan akting yang meyakinkan. Kharisma Antara membuat karakter Farish yang sebenarnya tergambar cukup annoying itu menjadi begitu relatable. Saputra juga membuktikan bahwa dirinya adalah sosok aktor yang dapat diandalkan ketika harus mengeksekusi dialog-dialog ringan bernuansa komikal. Dan Al Rashid menjadikan karakter Nadezhda yang tergambar sebagai sosok wanita cerdas dengan kehidupan bebas – namun dengan hati yang ternyata cukup rapuh – tampil begitu mencuri perhatian. Departemen akting Aruna & Lidahnya juga diperkuat dengan penampilan menghibur dari Deddy Mahendra Desta, Ayu Azhari, dan Nungki Kusumastuti (Ada yang dapat menemukan kehadirannya?).

Mudah untuk menyatakan Aruna & Lidahnya adalah salah satu film Indonesia terbaik pada tahun ini. It’s true. Namun, lebih dari itu, Aruna & Lidahnya jelas merupakan sebuah pembuktian lain bagi Edwin bahwa dirinya merupakan salah satu sutradara dengan kemampuan pengarahan paling mengesankan yang dimiliki oleh industri film Indonesia – up there with Mouly Surya and Joko Anwar. Ibaratnya sebuah hidangan, Aruna & Lidahnya memiliki penampilan yang sederhana namun tersaji begitu hangat, dengan cita rasa yang renyah dan nikmat, serta komposisi bahan yang mampu mengenyangkan sekaligus memuaskan hati. Bukan hanya sekedar sebuah tontonan namun juga berhasil menjadi sebuah pengalaman.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.