Seorang anak laki-laki yang baru saja menjadi yatim piatu dan kini tinggal bersama sang paman menyadari bahwa terdapat kekuatan magis yang melingkupi kehidupan kesehariannya dan bahkan mengajak dirinya untuk mengikuti serta mempelajari kekuatan tersebut. Bukan. Premis tersebut bukanlah berasal dari film yang diadaptasi dari seri buku popular yang lebih-baik-tidak-disebutkan-judulnya itu. Diadaptasi dari buku berjudul sama karangan John Bellairs – yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1973 dan jauh sebelum J. K. Rowling merilis seri buku miliknya, The House with a Clock in its Wall menjadi presentasi yang monumental bagi Eli Roth dimana film ini menjadi kali pertama bagi sutradara film-film “berdarah” semacam Cabin Fever (2002), Hostel (2005), dan The Green Inferno (2013) tersebut menggarap sebuah film dengan pengisahan yang dapat disaksikan oleh seluruh kalangan umur. Lalu, bagaimana performa kualitas film keluarga pertama arahan Roth ini?
Berlatarbelakang waktu pengisahan pada tahun 1955, jalan cerita The House with a Clock in its Wall dimulai ketika seorang anak laki-laki bernama Lewis Barnavelt (Owen Vaccaro) yang baru saja menjadi yatim piatu mendatangi kediaman pamannya, Jonathan Barnavelt (Jack Black), untuk tinggal bersamanya. Walau merasa pamannya memiliki penampilan dan tingkah laku yang cukup eksentrik, Lewis Barnavelt secara perlahan mulai menikmati kehidupan barunya bersama sang paman – dan tetangga sekaligus sahabatnya, Florence Zimmerman (Cate Blanchett). Kehidupan Lewis Barnavelt mulai diwarnai oleh berbagai kejadian aneh ketika sang paman mengungkapkan bahwa ia dan Florence Zimmerman merupakan seorang ahli sihir yang sedang berusaha untuk menemukan lokasi keberadaan sebuah jam magis yang disembunyikan oleh ahli sihir jahat bernama Isaac Izard (Kyle MacLachlan) yang sebelumnya menghuni dan memiliki rumah yang sedang mereka tempati tersebut.
Well… sebagai sebuah drama fantasi dengan kandungan misteri yang ditujukan untuk disaksikan seluruh anggota keluarga, The House with a Clock in its Wall adalah sebuah sajian yang cukup menyenangkan. Naskah cerita arahan Eric Kripke (Haunted, 2013) dengan lihai menggarap setiap elemen pengisahan yang ingin disampaikan oleh film ini. Harus diakui, sebagai sebuah film yang mengangkat dunia magis dalam presentasi ceritanya, The House with a Clock in its Wall memang tidak menawarkan sesuatu yang baru. Struktur pengenalan karakter-karakternya, jalinan hubungan yang terbentuk antara karakter-karakter tersebut, hingga pengelolaan konflik film terasa familiar. Bukanlah sebuah hal yang terasa mengganggu mengingat Kripke mampu mengolah dan mengembangkan elemen-elemen tersebut sehingga penceritaan film tetap terasa menarik. Penyertaan bumbu horor dan thriller juga terbukti sukses menghasilkan penceritaan yang semakin berwarna.
Meskipun menggarap sebuah film keluarga, Roth tidak lantas meninggalkan identitas pengarahannya begitu saja. The House with a Clock in its Wall masih kental dengan atmosfer pengisahan khas film-film arahan Roth yang kelam. Elemen tersebut, khususnya, berhasil mendorong presentasi horor pada jalan cerita film ini untuk tampil semakin lugas – dan, harus diakui, cukup mampu untuk menakuti para penontonnya. Roth sendiri sepertinya berniat untuk mengemas filmnya untuk muncul dengan nuansa film-film klasik rilisan Amblin Entertainment, seperti E. T. the Extra Terrestrial (Steven Spielberg, 1982), Gremlins (Joe Dante, 1984), maupun The Goonies (Richard Donner, 1985). Film-film keluarga dengan kehadiran karakter-karakter yang kuat serta kisah petualangan yang unik. Cukup berhasil meskipun, di era dimana film-film dengan nuansa magis ditampilkan dengan tampilan visual yang spektakuler, kesederhaan visual The House with a Clock in its Wall membuatnya seringkali terasa sebagai sebuah episode berdurasi panjang dari serial televisi Goosebumps.
Penampilan Black, Blanchett, dan Vaccaro yang berada di garda terdepan departemen akting film ini jelas memberikan tambahan kualitas pada presentasi cerita film ini. Black – yang sepertinya akan selalu tampil dengan penampilan akting yang serupa dari satu film ke film lainnya – mampu memanfaatkan kharisma komikalnya dengan baik. Blanchett, seperti biasa, mampu memberikan penampilan yang elegan sekaligus mencuri perhatian meskipun karakternya tampil dengan porsi pengisahan pendukung. Meskipun tampil sebagai lawan main bagi dua aktor dan aktris veteran, aktor muda Vaccaro cukup berhasil untuk memberikan penampilan terbaiknya. Sayang, naskah cerita film tidak memberikan ruang pengisahan yang lebih luas bagi karakter yang diperankan MacLachlan. Karakter Isaac Izard yang ia perankan sebenarnya memiliki peran dalam cerita yang lumayan vital. Namun entah mengapa jalan cerita film ini lebih memilih untuk menyajikan karakter tersebut sebagai satu karakter antagonis tempelan belaka.
The House with a Clock in its Wall jelas bukanlah sebuah film yang buruk. Terlepas dari penataan cerita yang terasa memiliki banyak keterbatasan serta pengarahan Roth yang hadir dengan ritme penceritaan yang lamban – khususnya paruh kedua cerita yang terasa begitu draggy, film ini masih cukup layak untuk dinikmati. Penampilan prima para pemerannya dan sajian kisah misteri serta fantasi yang ditonjolkannya berhasil menjadikan The House with a Clock in its Wall tampil dengan momen-momen yang mengesankan. Pretty fun but that’s all.
Rating :