Diarahkan bersama oleh Hanung Bramantyo (Kartini, 2017) dan x.Jo (Garuda: The New Indonesian Superhero, 2015), Sultan Agung memulai intrik ceritanya ketika Raden Mas Rangsang yang masih remaja (Marthino Lio) terpaksa harus menduduki posisi sebagai pemimpin bagi Kesultanan Mataram setelah meninggalnya sang ayah. Dengan gelar sebagai Sultan Agung Hanyakrakusuma, dirinya tidak lagi dapat lepas bermain dengan teman-teman sebayanya maupun memadu kasih dengan wanita pilihan hatinya, Lembayung (Putri Marino) – yang kebetulan berasal dari kelas sosial yang berbeda dengan dirinya. Meskipun begitu, dengan bantuan orang-orang kepercayaannya, Sultan Agung Hanyakrakusuma yang memiliki mimpi dan tekad untuk menyatukan seluruh pemimpin kerajaan di tanah Jawa mampu menjelma menjadi sosok yang kuat dan dicintai oleh rakyatnya. Namun, tantangan terbesar bagi kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma dewasa (Ario Bayu) hadir ketika tanah Jawa kedatangan para “pedagang” dari negeri Belanda yang menamakan diri mereka sebagai Vereenigde Oostindische Compagnie pimpinan Jan Pieterszoon Coen (Hans de Kraker). Reputasi Vereenigde Oostindische Compagnie yang seringkali berlaku tidak adil dan memiliki sejarah kelam dengan para penduduk di Kepulauan Banda membuat Sultan Agung Hanyakrakusuma menjadi was-was dan memerintahkan pasukan Kesultanan Mataram untuk bersiap-siap jika Vereenigde Oostindische Compagnie datang untuk menyerang.
Sultan Agung sebenarnya dimulai dengan langkah yang cukup meyakinkan. Naskah cerita yang digarap oleh BRA Mooryati Soedibyo, Bagas Pudjilaksono, dan Ifan Ismail (Ayat-ayat Cinta 2, 2017) memberikan fokus yang kuat pada kehidupan masa remaja dari sang karakter utama, kepribadiannya, dan interaksi yang terjalin dengan orang-orang yang berada di sekitarnya. Paruh awal pengisahan Sultan Agung juga cukup apik dalam membangun intrik-intrik awal seputar perebutan tahta dan kekuasaan yang terjadi pada Kesultanan Mataram – meskipun dengan kehadiran beberapa sosok karakter seperti karakter Gusti Ratu Tulung Ayu (Meriam Bellina) yang tampil tak lebih dari sekedar plot device belaka. Dan sebagai sebuah film epik sejarah, desain produksi Sultan Agung hadir dalam tampilan yang sangat meyakinkan. Bramantyo dan x.Jo memastikan tampilan tata rias dan busana hingga penataan artistik mampu membawa setiap penonton film ini ke era dimana Kesultanan Mataram berdiri.
Sayangnya, seiring dengan terjadinya “pergantian pemain” – karakter Raden Mas Rangsang dewasa kini diperankan oleh Bayu dan karakter Lembayung dewasa diperankan oleh Adinia Wirasti, Sultan Agung mulai kehilangan fokus dan arah pengisahannya. Linimasa pengisahan film mulai diisi dengan kehadiran sejumlah konflik dan karakter yang gagal untuk ditata dengan baik sehingga lebih sering menimbulkan kebingungan pada jalan cerita daripada menghasilkan kaitan intrik pengisahan yang kuat. Kesalahan paling fatal yang dilakukan oleh alur penceritaan film ini sendiri muncul ketika Sultan Agung memutuskan untuk mengenyampingkan sang karakter utama.
Film ini mungkin berniat menggambarkan bagaimana karakter Sultan Agung merupakan sosok yang memiliki pemikiran dan taktik perang yang begitu berpengaruh di tanah Jawa pada kala tersebut. Namun, gambaran tersebut lebih sering tersaji dalam narasi yang lemah, dibebankan pada karakter-karakter pendukung yang datang dan pergi secara tiba-tiba dari linimasa penceritaan, serta konflik peperangan yang terlalu melelahkan untuk diikuti. Karakter Sultan Agung bahkan banyak menghilang dari adegan-adegan cerita pada dua paruh akhir film ini. Dan dengan durasi yang mencapai 148 menit(!), Sultan Agung tidak pernah mampu untuk benar-benar memberikan penjelasan mengenai apa sebenarnya tujuan pengisahan film ini.
Departemen akting Sultan Agung sendiri hadir dengan kualitas yang memuaskan. Chemistry yang terjalin antara Lio dan Marino jelas membuat hubungan antara karakter Raden Mas Rangsang dan Lembayung menjadi pemikat utama bagi paruh pertama penceritaan Sultan Agung. Sebagai sosok dewasa, Bayu sebenarnya tampil apik. Dangkalnya karakterisasi pada peran yang disajikannya memang menghalangi Bayu untuk memberikan penampilan yang lebih kuat lagi. Para pemeran lain, mulai dari Wirasti, Lukman Sardi, Deddy Sutomo, Teuku Rifnu Wikana, dan Christine Hakim juga tampil apik meskipun, sekali lagi, dihambat oleh gambaran karakter yang cukup terbatas.
Sultan Agung akhirnya tampil sebagai sebuah epik sejarah yang tersaji setengah matang. Terlalu banyak hal yang ingin dikisahkan namun tidak pernah mampu mendapatkan penataan cerita yang efektif. Ironisnya, setelah 148 menit film ini berjalan, penonton malah mendapatkan deskripsi cerita yang lebih akurat mengenai kisah dari karakter Sultan Agung melalui serangkaian teks yang menjadi epilog bagi film ini.
Rating :