Review

Info
Studio : Walt Disney Pictures
Genre : Animation, Adventure, Comedy
Director : Marc Forster
Producer : Brigham Taylor, Kristin Burr
Starring : Ewan McGregor, Hayley Atwell, Bronte Carmichael, Jim Cummings, Brad Garrett

Minggu, 26 Agustus 2018 - 21:42:01 WIB
Flick Review : Christopher Robin
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 1492 kali


Jika Goodbye Christopher Robin (Simon Curtis, 2017) memiliki cerita yang berlatar kisah nyata mengenai sekelumit kisah kehidupan sang penulis seri buku Winnie-the-Pooh, Alan Alexander Milne, dan bagaimana sang putera, Christopher Robin Milne, menginspirasi dirinya untuk menuliskan berbagai cerita dalam seri buku tersebut, maka film terbaru arahan Marc Forster (World War Z, 2013), Christopher Robin, adalah sebuah kisah fiksi yang mengadaptasi deretan karakter yang telah dituliskan oleh Milne. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Alex Ross Perry (Queen of Earth, 2015), Tom McCarthy (Spotlight, 2015), dan Allison Schroeder (Hidden Figures, 2016), Christopher Robin hadir selayaknya film drama keluarga klasik garapan Walt Disney Pictures yang tampil dengan esensi kehangatan pengisahan yang begitu familiar dan, tentu saja, akan mudah untuk disukai oleh berbagai kalangan. Manis dan emosional meskipun dengan pengisahan Forster yang sering hadir terbata-bata dalam perjalanannya. 

Jalan cerita Christopher Robin dimulai dengan pengisahan Christopher Robin (Ewan McGregor) yang kini telah menjelma menjadi sesosok pria dewasa dan, layaknya para pria dewasa lainnya, telah melupakan teman-teman khayalan yang dahulu senantiasa menemani masa kecilnya. Kehidupan sebagai seorang pria dewasa jelas tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan. Dengan tanggungjawab sebagai seorang kepala keluarga bagi istri, Evelyn Robin (Hayley Atwell), dan puteri mereka, Madeline Robin (Bronte Carmichael), Christopher Robin kini hanya berfokus untuk bekerja keras sehingga seringkali melupakan masa-masa istirahat yang harusnya dapat ia habiskan bersama istri dan anaknya. Di tengah kesibukannya, Christopher Robin mendapat kejutan ketika salah seorang teman khayalannya di masa kecil, Winnie the Pooh (Jim Cummings), datang dan meminta bantuannya untuk mencari teman-temannya yang menghilang. Walau merasa terkejut atas kedatangan Winnie the Pooh – bahkan mulai merasa bahwa ia sedang mengalami halusinasi atau gangguan kejiwaan, Christopher Robin akhirnya mau membantu Winnie the Pooh. Dan sebuah petualangan baru pun dimulai.

Harus diakui, sama sekali tidak ada yang istimewa dalam pengisahan Christopher Robin. Jalan ceritanya yang berfokus pada hubungan ayah dan anak yang kemudian merenggang akibat kesibukan sang ayah jelas bukanlah sebuah tata cerita yang berkesan baru. Keberadaan dua seri Paddington (Paul King, 2014 – 2017) – yang juga menampilkan sosok boneka beruang yang dapat berinteraksi dengan manusia sebagai daya tarik utamanya – dengan kualitas penceritaan yang lebih superior bahkan semakin menonjolkan kelemahan tersebut. Meskipun begitu, pengembangan kisah yang diberikan Perry, McCarthy, dan Schroeder pada Christopher Robin jelas jauh dari kesan berkualitas buruk. Pada banyak bagian, Christopher Robin lebih sering bersandar pada elemen nostalgia akan karakter-karakter Winnie-the-Pooh daripada berusaha menggariskan sebuah pengisahan baru yang lebih segar. Elemen inilah yang lantas mampu memberikan momen-momen emosional pada jalan cerita film dan, beruntung, lantas berhasil membawa Christopher Robin untuk mengalir dengan baik.

Dengan jalan cerita yang lebih sering menampilkan kisah sang karakter utama ketika berhadapan kembali dengan sosok-sosok dari masa lalunya, Christopher Robin juga sering terasa melupakan banyak karakter-karakter pendukung dalam film ini. Karakter Evelyn Robin dan Madeline Robin yang sebenarnya menjadi pendorong bagi konflik film ini untuk tetap dapat berjalan seringkali terasa hanya hadir sebagai plot device untuk kemudian dilupakan begitu saja di bagian lainnya. Pengarahan Forster juga seringkali terasa monoton dan tidak pernah benar-benar berguna untuk memberikan kehidupan yang lebih kuat pada penceritaan film. Untungnya, dukungan kualitas produksi film berhasil memberikan tampilan yang apik. Mulai dari tata sinematografi hingga arahan musik yang mengiringi setiap adegan film mampu memberikan atmosfer pengisahan yang dibutuhkan. Karakter Winnie the Pooh dan rekan-rekannya, mulai dari Tigger (Cummings), Eeyore (Brad Garrett), Piglet (Nick Mohammed), Rabbit (Peter Capaldi), Kanga (Sophie Okonedo), Roo (Sara Sheen), dan Owl (Toby Jones), yang kini disajikan dalam bentuk live action juga tampil apik – dan jelas selalu berhasil mencuri perhatian berkat dialog dan eksekusi vokal yang diberikan pada karakter-karakter tersebut.

Selain menghadirkan deretan vokal yang benar-benar mampu menghidupkan karakter-karakter “boneka berbicara” dalam film ini, deretan pengisi departemen akting Christopher Robin juga tampil dalam penampilan yang sangat meyakinkan. Sebagai pemeran sang karakter utama, McGregor berhasil mendorong karakternya menjadi sosok humanis yang akan begitu mudah disukai oleh setiap penontonnya. Kemampuan McGregor, baik ketika film ini berada dalam nada komedi maupun berusaha membangun atmosfer dramanya, menjadikan Christopher Robin terus bergerak secara dinamis. Dan terlepas dari terbatasnya karakterisasi yang diberikan pada karakter yang mereka perankan, Atwell, Carmichael, dan para pemeran lain dalam film ini tetap mampu memberikan penampilan terbaik mereka. Chemistry yang erat antara pemain menjadi elemen pendukung yang membuat Christopher Robin tetap tampil manis dalam berbagai kondisi kelemahan pengisahannya.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.