Setelah Lone Survivor (2013), Deepwater Horizon (2016), dan Patriots Day (2016), sutradara Peter Berg dan aktor Mark Wahlberg kembali bekerjasama lewat drama aksi, Mile 22. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Lea Carpenter, Mile 22 berkisah mengenai sekelompok agen rahasia Central Intelligence Agency pimpinan James Silva (Wahlberg) yang berusaha untuk membawa seorang mantan anggota pasukan khusus asal Indonesia, Li Noor (Iko Uwais), keluar dari negaranya guna menghindar dari serangan sekelompok orang yang tidak menginginkan informasi yang dimiliki Li Noor jatuh ke tangan orang lain. Bukan sebuah usaha yang mudah. Dalam perjalanan sejauh 22 mil yang harus ditempuh untuk mencapai lokasi dimana sebuah pesawat telah disiapkan untuk menjemput mereka, James Silva dan Li Noor dipaksa menghadapi gabungan polisi-polisi korup dan gembong penjahat kelas berat yang telah disiapkan untuk mencegah Li Noor mendapatkan kebebasannya.
Berg haruslah sangat berterima kasih kepada Uwais. Meskipun dibintangi oleh nama-nama besar Hollywood seperti Wahlberg, John Malkovich, hingga Ronda Rousey, Uwais merupakan bintang utama dari Mile 22 yang berhasil memberikan nyawa dan kehidupan dalam setiap kehadiran karakternya dalam deretan adegan di film ini – sekaligus menjadi satu-satunya alasan mengapa film ini masih layak untuk disaksikan. Tidak seperti film-film lain garapan Berg – yang memang kental dengan kandungan testosteron dalam adegan-adegan pengisahannya, Mile 22 terasa tergarap kurang matang. Naskah cerita garapan Carpenter memang menjadi permasalahan utama film. Datang dari ide cerita yang sebenarnya cukup sederhana, naskah cerita buatan Carpenter gagal mendapatkan pengembangan yang apik untuk mampu membuatnya terasa menarik. Berbicara mengenai korupsi hingga intrik politik – yang dimaksudkan terjadi dalam pemerintahan Indonesia namun tidak pernah (baca: takut?) disebutkan secara eksplisit terjadi dalam pemerintahan Indonesia, pengisahan Carpenter tampil terlalu dangkal, baik dari presentasi konflik, karakter, maupun dialog-dialognya (yang seringkali terdengar begitu menggelikan.)
Tidak berhenti disana. Kualitas produksi film ini juga tampil dengan kualitas yang mengecewakan. Penataan gambar oleh Colby Parker Jr. dan Melissa Lawson Cheung mungkin dimaksudkan untuk menciptakan ritme pengisahan yang cepat dan intens. Sayangnya, daripada menghasilkan menit-menit yang menegangkan dalam alur pengisahan Mile 22, penataan gambar tersebut justru kemudian menciptakan lebih banyak kebingungan tersendiri bagi konflik yang berjalan dalam film ini. Tata sinematografi film juga tampil tidak lebih baik. Pilihan Berg untuk membiarkan kamera mengikuti koreografi aksi yang dilancarkan oleh Uwais dalam banyak adegan terbukti membuat Mile 22 semakin tampil berantakan. Shaky namun tidak dalam kapasitas penggunaan yang berarti. Cukup mengherankan melihat Berg gagal untuk menjaga kualitas produksi filmnya mengingat film-film arahan Berg biasanya selalu hadir dalam kapasitas yang cukup mampu untuk menutupi jejak kelemahan pengisahannya.
Selain konflik yang tidak mampu dikuasai dan diolah dengan baik oleh Carpenter, Mile 22 juga sama sekali gagal untuk membuat penonton merasa peduli dengan karakter-karakter yang berada dalam jalan pengisahan film. Karakter James Silva yang diperankan oleh Wahlberg digambarkan sebagai sosok pria yang memiliki ciri autisme dalam kepribadiannya. Sayangnya, hal tersebut lebih sering dijadikan gimmick belaka dan tidak pernah mendapatkan eksplorasi yang benar-benar memadai. Tidak hanya karakter tersebut, seluruh karakter yang hadir dalam pengisahan film ini juga tampil dalam kedangkalan yang sama. Uwais beruntung karakternya dilibatkan dalam banyak adegan aksi. Melalui adegan-adegan itulah – yang tergarap cukup baik dan akan sanggup mengundang decak kagum dari banyak penonton – Uwais dan karakternya kemudian berhasil mencuri perhatian secara penuh meskipun dengan porsi pengisahan yang sebenarnya juga berkualitas tidak begitu istimewa.
Dengan segala potensi yang dimiliki untuk menjadi sebuah drama aksi yang mengikat, Mile 22 gagal untuk mendapatkan pengembangan yang kuat. Naskah cerita yang lemah ditambah dengan kualitas produksi yang kurang matang akhirnya memojokkan film ini untuk menjadi film terburuk dalam catatan kolaborasi Berg dan Wahlberg. (Dan bahkan mungkin merupakan salah satu film terburuk tahun ini.)
Rating :