Jangan merasa heran jika melihat penampilan Bront Palarae atau Chew Kin Wah yang jauh lebih muda daripada penampilan mereka di Pengabdi Setan (Joko Anwar, 2017) atau Susah Sinyal (Ernest Prakasa, 2017) ketika Anda menyaksikan Dukun. Film thriller arahan Dain Iskandar Said (Interchange, 2016) tersebut sebenarnya telah menyelesaikan masa produksinya lebih dari satu dekade lalu dan sempat dijadwalkan rilis pada Desember 2006. Namun, akibat pengaruh situasi sosial dan politik yang kurang mendukung – jalan cerita Dukun didasari pada peristiwa nyata mengenai terbunuhnya seorang politikus ternama Malaysia pada tahun 1993 dan memiliki pengisahan yang kental dengan nuansa magis – film yang seharusnya menjadi debut pengarahan Said tersebut baru dapat ditayangkan di negara asalnya pada April yang lalu. Walau 12 tahun telah berlalu namun kualitas Dukun sebagai sebuah thriller, untungnya, tetap mampu bertahan dengan cukup baik. Pengarahan Said yang apik ditambah dengan penampilan para pengisi departemen akting yang meyakinkan menjadikan Dukun berhasil hadir dengan banyak momen mencekam.
Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Huzir Sulaiman, Dukun berkisah mengenai seorang pengacara, Karim (Faizal Hussein), yang sedang dihadapkan pada kasus pembunuhan seorang pengusaha bernama Datuk Jefri (Adlin Aman Ramlie) oleh seorang dukun wanita, Diana Dahlan (Umie Aida), yang didatanginya. Karim sendiri sebenarnya tidak begitu berminat untuk terlibat dalam kasus yang sedang menjadi perhatian banyak masyarakat Malaysia tersebut. Rasa duka dan khawatir masih menyelimuti dirinya setelah istri dan anaknya memilih pergi meninggalkannya. Namun, tawaran bantuan dari pihak kepolisian untuk mencari sang anak, Nadia (Elyana), akhirnya membuat Karim mau menangani kasus tersebut dan menjadi pengacara bagi Diana Dahlan. Tidak disangka, perkenalannya dengan dukun dan tersangka pembunuh tersebut justru membuka lembaran kelam dari kehidupan Karim di masa lampau.
Walau memiliki kandungan cerita yang kental dengan aroma mistis – termasuk dengan menyertakan sentuhan mistis tradisional dari tanah Batak, Sumatera, Indonesia – namun Dukun digarap dengan elemen pengisahan yang jauh lebih kaya dari sekedar penceritaan yang berniat untuk menakut-nakuti maupun memberikan kejutan bagi para penontonnya. Dengan latar belakang kisah nyata yang dimilikinya, naskah cerita garapan Sulaiman mampu menyentuh kisah proses hukum dan peradilan yang dijalani oleh karakternya sekaligus aspek sosial dan budaya yang terpengaruh atas keberadaan kasus tersebut. Memang, Dukun bukanlah reka ulang yang sesungguhnya atas kisah nyata yang mendasarinya. Meskipun begitu, pengisahan film ini jelas mendapatkan sokongan kisah yang cukup berwarna yang mampu menjadikannya sebagai suatu presentasi cerita yang menarik – khususnya jika dibandingkan dengan kebanyakan film-film thriller bernuansa horor yang banyak dirilis belakangan.
Sayangnya, keunggulan hadirnya banyak elemen pengisahan yang mengisi naskah cerita Dukun justru menjadi kelemahannya sendiri ketika Sulaiman gagal untuk memberikan pengembangan yang baik atas deretan konflik maupun karakter yang mengisi porsi pengisahan-pengisahan tersebut. Selain sekelumit penggalian atas karakter Karim, nyaris tidak ada karakter yang benar-benar mampu ditampilkan utuh di sepanjang 108 menit durasi penceritaan Dukun. Hal yang sama juga dapat dirasakan pada tumpukan konflik yang seringkali tersaji kurang matang. Ditambah dengan penataan gambar yang kurang begitu rapi – dimana adegan dari linimasa pengisahan yang berbeda dibenturkan dengan adegan dari linimasa yang lain, jalan cerita Dukun berakhir gagal untuk mendapatkan atensi penuh penonton dan cenderung membingungkan. Pilihan untuk menghadirkan sebuah pelintiran kisah di paruh akhir film tampil cukup efektif dan mampu mendorong Dukun untuk hadir dengan nuansa kelam yang memang sesuai dengan warna penceritaan film ini.
Terlepas dari kelemahan garapan penulisan naskahnya, Dukun tetap berhasil tampil dengan atmosfer misterius yang kuat berkat pengarahan Said yang cukup handal. Dengan bantuan tata sinematografi dan musik yang mendukung, Said semenjak awal telah menggiring penontonnya untuk dapat merasakan nuansa mistis nan mencekam dari jalan cerita maupun karakter Diana Dahlan. Pengarahan tersebut berhasil terus dipertahankan – dan bahkan disajikan dengan intensitas yang lebih meningkat pada beberapa adegan film – hingga akhir film.
Dan, tidak dapat disangkal, dukungan penampilan para pengisi departemen akting film juga berhasil memberikan dukungan kuat bagi kualitas penampilan Dukun secara keseluruhan. Aida, yang berperan sebagai sang dukun pembunuh, hadir dengan penampilan ikonik yang akan lama membekas di benak para penontonnya. Hussein juga mampu menampilkan sosok pengacara yang ia perankan menjadi sesosok karakter yang dapat dengan mudah untuk disukai terlepas dari gambarannya yang penyendiri. Dukungan penampilan para pemeran lainnya juga semakin mempersolid kualitas Dukun yang, terlepas dari kelemahannya, tetap akan mampu meninggalkan kesan yang mendalam akan pengisahannya yang brutal – dan bayangan akan betapa manusia rela melampaui batasan apa saja demi mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Rating :