First of all, The Meg adalah sebuah film tentang keberadaan seekor hiu berukuran raksasa yang dibintangi oleh Jason Statham. You better know what you’re getting into. Diadaptasi dari novel berjudul Meg: A Novel of Deep Terror karangan Steve Alten, film yang diarahkan oleh Jon Turteltaub (Last Vegas, 2013) ini berkisah mengenai seorang ilmuwan sekaligus penyelam bernama Jonas Taylor (Statham) yang diminta untuk membantu menyelamatkan sekelompok ilmuwan yang terjebak di kedalaman laut ketika kapal yang mereka gunakan diserang oleh seekor ikan berukuran raksasa yang belum pernah dikenali sebelumnya. Walau awalnya merasa enggan untuk mengikuti misi penyelamatan tersebut – mengingat sebuah kenangan buruk yang pernah terjadi di masa lalunya, Jonas Taylor akhirnya berangkat dan melaksanakan misi penyelamatannya. Misi tersebut mampu dieksekusi dengan baik namun, di saat yang bersamaan, masuknya Jonas Taylor dan kapal selamnya ke kedalaman laut tersebut kemudian membuka sebuah kesempatan untuk ikan berukuran raksasa tersebut untuk keluar dari wilayah hidup biasanya dan bergerak menuju lautan luas yang jelas akan menimbukan kekacauan dalam kehidupan manusia.
Tidak banyak hal yang dapat diungkapkan dari The Meg. Mereka yang dengan sadar membeli tiket untuk menyaksikan film ini jelas tidak akan mengharapkan kehadiran balutan pengisahan konflik dan karakter yang dinamis maupun penampilan akting yang memukau. Dan Turteltaub cukup mengerti akan hal ini. Lihat saja bagaimana film ini dimulai. Daripada menghabiskan waktu untuk memberikan dramatisasi yang bertujuan untuk mengenalkan karakter-karakter yang hadir dalam jalan cerita film – seperti yang sering dilakukan oleh film-film sejenis dalam paruh pengisahan pertama mereka, naskah cerita garapan Dean Georgaris, Jon Hoeber, dan Erich Hoeber lebih memilih untuk menenggelamkan karakter utamanya dalam permasalahan yang nantinya akan terus dikembangkan. Efisien, dan jelas memberikan daya tarik sendiri bagi The Meg.
Namun, adrenalin tinggi yang disajikan pada awal pengisahan, sayangnya, kemudian tidak mampu dipertahankan dengan baik oleh Turteltaub. Pengembangan sekaligus penambahan konflik yang hadir seiring dengan berjalannya durasi penceritaan film justru kemudian membuat elemen ketegangan dalam The Meg secara perlahan menjadi hilang. Tidak dapat disangkal, keputusan untuk menghadirkan film ini dalam rating yang lebih aman untuk disaksikan penonton dari berbagai kalangan usia – daripada menyajikannya sebaagai sebuah film yang dihiasi lumuran darah dan potongan-potongan tubuh manusia – juga menjadi penyebab mengapa The Meg akhirnya kurang mampu tampil menggigit. Turteltaub mencoba meningkatkan kembali intensitas pengisahan film pada paruh akhir. Tidak begitu bermanfaat. Kompilasi dari karakter-karakter yang tidak menarik, konflik yang cenderung datar, dan sosok monster yang justru gagal untuk diberikan perhatian lebih membuat film ini berakhir tanpa kesan berarti.
Statham sendiri terlihat begitu membosankan (atau kebosanan?) di sepanjang penceritaan film. Memang, tidak seperti kebanyakan film yang dibintangi Statham lainnya, karakter yang ia perankan dalam film ini tidak diberikan keleluasaan yang lebih untuk menampilkan kehandalan fisiknya. Tidak mengherankan jika kemudian, meskipun berada sebagai sosok pemeran utama, kehadiran Statham tidak begitu mampu untuk tampil menarik. Para pengisi departemen akting film lainnya sebenarnya tampil tidak mengecewakan. Li Bingbing, Cliff Curtis, Winston Chao, hingga aktris muda, Sophia Cai, cukup mampu untuk menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan. Mungkin penampilan dari Ruby Rose dan Rainn Wilson yang tampil cukup mencuri perhatian berkat penulisan karakter mereka yang lebih berwarna jika dibandingkan dengan karakter-karakter lain yang hadir dalam pengisahan film ini.
Rating :