Tahun lalu, Joko Anwar memberikan “kuliah singkat” kepada para pembuat film horor Indonesia modern bagaimana cara untuk menggarap sebuah horor yang efektif meskipun dengan menggunakan premis cerita yang sebenarnya telah banyak diangkat oleh film-film horor sebelumnya. Pengabdi Setan arahan Anwar, yang merupakan versi teranyar dari film horor legendaris berjudul sama garapan Sisworo Gautama Putra, lantas berhasil meraih pujian luas dari kalangan kritikus film, mendapatkan 13 nominasi di ajang Festival Film Indonesia 2017 – termasuk nominasi Film Terbaik dan Sutradara Terbaik, sekaligus memberikan Anwar kesuksesan komersial perdananya ketika Pengabdi Setan kemudian ditonton lebih dari empat juta penonton yang menjadikannya sebagai film horor Indonesia tersukses sepanjang masa hingga saat ini. Jelas sebuah standar kesuksesan baru – baik dari segi kualitas maupun dari segi komersial – bagi film-film horor Indonesia yang hadir setelahnya.
Well… standar kualitas pengisahan yang telah ditetapkan oleh Pengabdi Setan tersebut mungkin telah berhasil disamai – dan bahkan sedikit dilewati – oleh film horor garapan Azhar Kinoi Lubis (Jokowi, 2013), Kafir. Merupakan film horor pertama yang diarahkan oleh Lubis, Kafir menawarkan pengisahan yang beberapa potongan kisahnya jelas akan mendapatkan perbandingan langsung dengan Pengabdi Setan. Meskipun begitu, jika Pengabdi Setan dikemas Anwar sebagai sebuah horor kekinian dengan sentuhan film-film horor arahan James Wan seperti Insidious (2011) dan The Conjuring (2013), maka Lubis menyajikan Kafir sebagai sebuah film horor yang bergerak secara tenang dalam menyampaikan unsur misteri dalam kisahnya dan tidak terlalu bergantung pada adegan-adegan pemberi kejutan horor pada penontonnya – bayangkan saja atmosfer pengisahan Hereditary (Ari Aster, 2018) atau Pengabdi Setan jika Anwar mengarahkannya sebagai sebuah film horor dengan identitas penyutradaraan sejatinya.
Dengan naskah cerita yang digarap oleh Rafki Hidayat bersama dengan Upi (#TemanTapiMenikah, 2018) – dan bukan merupakan versi buat ulang dari film berjudul sama garapan Mardali Syarief yang juga dibintangi Sujiwo Tejo pada tahun 2002, Kafir berkisah mengenai Sri (Putri Ayudya) dan kedua anaknya, Andi (Rangga Azof) dan Dina (Nadya Arina), yang sedang dirundung rasa duka setelah kematian mendadak suami dan ayah mereka, Herman (Teddy Syach). Rasa duka tersebut berkembang menjadi awan kelam yang membayangi kehidupan Andi dan Dina ketika Sri tidak mampu keluar dari rasa dukanya dan malah secara perlahan menarik diri dari anak-anak dan lingkungannya. Tak disangka, kemuraman yang timbul setelah kematian Herman ternyata kemudian membawa sesuatu hal yang misterius dan jahat ke rumah tempat tinggal Sri dan kedua anaknya. Sesuatu hal yang semakin lama terus meneror kehidupan seisi rumah dan bahkan mengancam nyawa mereka.
Naskah cerita garapan Hidayat dan Upi memang tidak menawarkan guratan konflik maupun karakter yang kompleks penampilannya. Meskipun begitu, setiap konflik dan karakter yang dihadirkan dalam pengisahan Kafir berhasil dikembangkan dengan baik serta dapat berakhir sebagai pengisahan yang utuh. Berbeda dengan Pengabdi Setan atau mayoritas film horor Indonesia lainnya, Kafir juga tidak mengandalkan efek kejutan horor atau tampilan makhluk-makhluk supranatural untuk memberikan rasa takut bagi para penontonnya. Lubis lebih memilih untuk menggulirkan pengisahan film secara perlahan, menampilkannya dengan pilihan warna-warna kelam yang tegas, serta dukungan tata musik, sinematografi dan gambar yang sangat mendukung atmosfer kemuraman dan keseraman jalan cerita Kafir. Pilihan inilah yang kemudian membuat Kafir mampu merasuk dengan kuat ke benak para penontonnya, menanamkan ketakutan demi ketakutan, sekaligus sukses menjadi sajian horor yang efektif.
Sayangnya, Kafir kemudian terasa kebingungan untuk menemukan jalan yang tepat untuk menyelesaikan segala konflik yang dihadapi oleh karakternya. Hal ini yang kemudian membuat ritme pengisahan film pada paruh akhirnya terasa berubah secara drastis – yang sedari awal tampil sebagai slow burn horror kemudian mendadak menjadi thriller yang bergerak secara cepat. Beberapa konflik yang telah diolah pada paruh awal cerita juga terkesan dimatangkan secara terburu-buru yang kemudian jelas membuat kehadiran solusi konflik tersebut menjadi kurang meyakinkan. Bukan sebuah kesalahan yang fatal – khususnya ketika Lubis masih mampu mengeksekusinya dengan sentuhan ketegangan yang tetap terjaga – namun jelas terasa berbeda warna dengan paruh pengisahan sebelumnya.
Sentuhan yang jelas cukup esensial dalam kesuksesan pengisahan Kafir adalah kualitas penampilan akting para pemerannya. Departemen akting film ini tampil nyaris tanpa cela – mulai dari Azof dan Arina yang hadir begitu meyakinkan sebagai pasangan kakak beradik yang berusaha untuk menyelamatkan keluarga mereka, Indah Permatasari dan Nova Eliza yang hadir dengan penampilan yang misterius – walau kadang terasa terlalu bernuansa teatrikal, hingga penampilan dari Tejo yang singkat namun jelas akan sangat banyak dibicarakan penonton seusai mereka menyaksikan film ini. Sebagai sosok Sari, Ayudya memegang peranan sentral dalam membangun dan menjaga keutuhan alur misteri yang ingin disampaikan oleh Kafir. Dan Ayudya mengeksekusi tugasnya dengan sempurna. Perubahan nada penampilannya dari sosok yang ceria di awal cerita dan secara perlahan terus menjelma menjadi sosok perempuan yang tenggelam dalam tingkat depresi yang mendalam disajikan dengan apik dan begitu mengikat.
Secara keseluruhan, Kafir adalah sebuah progres yang sangat menyenangkan bagi kualitas pengisahan film horor Indonesia. Bukan saja karena keberanian untuk memilih alur dan nada pengisahan yang berbeda namun juga karena kemampuan untuk menghadirkannya dalam sentuhan kualitas yang benar-benar terjaga secara menyeluruh. Pengalaman horor yang jelas menyenangkan.
Rating :