Sekitar satu dekade lalu, siapa sih yang menyangka tokoh pahlawan kurang populer seperti Guardians of the Galaxy, Doctor Strange atau Ant-Man dari Marvel Comics bisa membawa penonton berduyun-duyun ke bioskop? Jangankan membayangkan laris, membayangkan judul-judul tersebut diboyong ke layar lebar saja nyaris tak terbersit di pikiran. Saya bahkan tak familiar dengan mereka sebelum diperkenalkan kembali melalui medium film. Berkat menjulangnya popularitas film superhero seperti sekarang ini, superheromanapun berkesempatan besar untuk memiliki filmnya sendiri. Marvel telah melakukannya berulang kali sedari semesta filmnya terbentuk, sementara DC Comics masih berkutat dengan nama-nama populer seperti Batman, Superman, hingga Wonder Woman. Belum berani menempuh gebrakan signifikan pada divisilive action, DC menjajalnya via divisi animasi. Upaya mereka memperkenalkan ‘pahlawan kecilnya’ kepada khalayak ramai ditempuh dalam film bertajuk Teen Titans Go! To the Movies yang disadur dari serial animasi populer dengan judul senada yang ditayangkan di kanal Cartoon Network. Di sini, penonton dipertemukan dengan kelompok superhero bernama Teen Titans yang pertama kali nongol di seri ke 54 dari komik The Brave and the Bold yang diluncurkan pada tahun 1964.
Konfigurasi Teen Titans sendiri tersusun dari Robin (disuarakan oleh Scott Menville), Beast Boy (Greg Cipes), Starfire (Hynden Walch), Cyborg (Khary Payton), serta Raven (Tara Strong). Tidak seperti Justice League yang dielu-elukan oleh banyak pihak, Teen Titans kerapkali dipandang sebelah mata. Kebiasaan kelima remaja berkekuatan khusus ini selama memberantas kejahatan yang diselingi dengan bercanda, menyanyi, serta menari, membuat mereka dianggap sebatas bocah ingusan yang tidak pernah bisa serius memandang persoalan. Terlebih lagi, kelompok yang sering disindir sebagai ‘superhero pendamping’ ini tidak memiliki musuh bebuyutan yang tangguh. Apa menariknya seorang superhero jika mereka hanya melawan penjahat-penjahat kecil dan tidak mempunyai relasi benci-cinta dengan seorang supervillain? Itulah mengapa ketika Robin melontarkan permintaan kepada sutradara Hollywood papan atas yang menggarap sederet film superhero bernama Jade Wilson (Kristen Bell) untuk dibuatkan film tentang dirinya dan Teen Titans, Jade menolak. Dia hanya bisa menyanggupi setelah Robin beserta konco-konconya menemukan supervillain yang melawan mereka. Awalnya terdengar mustahil, sampai kemudian Slade (Will Arnett) yang menyerupai Deadpool membobol sebuah laboratorium di saat para superhero sedang menghadiri pemutaran perdana film tentang Batman. Teen Titans yang tidak diundang karena dianggap tidak cukup terkenal pun mencoba membuktikan diri dengan berusaha menghentikan Slade.
Dinahkodai oleh Aaron Horvath bersama Peter Rida Michail yang bertindak selaku produser di versi serial televisinya, Teen Titans Go! To the Movies masih mengaplikasikan semangat sama yang diusung oleh materi sumbernya. Jika kamu pernah menengok satu-dua episodenya, atau malah mengikutinya, tentu mengetahui gelaran seperti apa yang akan dikedepankan di sini. Ya, ini tetaplah sebuah tontonan animasi dengan visual cerah ceria dan sarat guyonan receh nirfaedah yang (sesuai dengan pasar utamanya) cenderung kekanak-kanakkan. Tentu saja kamu tidak akan menemukan kompleksitas dalam jalinan pengisahan atau menjumpai nada penceritaan yang gelap-gelapan seperti siluman di sini. Sebaliknya, kamu akan memperoleh narasi cenderung suka-suka gue tapi terbilang imajinatif sekaligus berpesan moral yang berkenaan dengan persahabatan dan mendapati banyak sekali lawakan yang berhubungan dengan pantat, buang air besar, sampai kentut. Terdengar seperti tontonan yang cocok untukmu… atau tidak? Well, melalui Teen Titans Go! To the Movies, duo sutradara memang pada dasarnya ingin mengajak penonton cilik untuk bersenang-senang dengan gelaran superhero mengingat sebagian besar tontonan jenis ini yang dirilis di bioskop kurang ramah anak. Tapi di saat bersamaan, mereka juga berniat mengajak penonton dewasa yang sudah terlanjur serius dalam memandang segala-gala hal (termasuk film yang sejatinya diniatkan sebagai media pelepas penat) untuk membangkitkan kembali jiwa kanak-kanak yang mungkin sudah terkubur dalam-dalam. Kita diajak bergembira dengan menertawakan sesuatu yang sepele, lalu bernyanyi beserta menari mengikuti rentetan tembang pengisi yang catchy.
Asyik sih, cuma, hmmm… kanak-kanak banget ya? Jangan risau, Teen Titans Go! To the Movies masih menyimpan amunisi tambahan sehingga penonton dewasa tidak merasa salah memasuki studio. Seperti halnya Deadpool (2016) dan The Lego Batman Movie (2017), Teen Titans Go! To the Movies tergolong sebagaimetacinema yang secara sesuka hati mengolok-olok produk hiburan yang mengedepankan superhero. Jangankan dari sesama produk keluaran DC seperti Green Lantern yang versi layar lebarnya berusaha dilupakan oleh semua orang, kisah asal muasal para superhero, atau twist ‘pertemuan dua Martha’ di Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) yang menghenyakkan penonton, produk milik Marvel pun kena sasaran. Beberapa diantaranya melibatkan Deadpool, Guardians of the Galaxy, sampai kegemaran Stan Lee, salah satu kreator inti di Marvel Comics, mejeng sebagai cameo di film rilisan Marvel Studios. Ini masih belum ditambah referensi lebih luas ke budaya populer yang turut menyeretBack to the Future (1985) dan The Lion King (1994) sebagai ‘korban’ dan easter egg (printilan tersembunyi) yang rasa-rasanya akan membuat para geekbersuka cita di sepanjang durasi. Setidaknya, jika kamu merasa kesulitan untuk ikut tergelak-gelak bersama para bocah saat sebuah robot balon mengeluarkan suara menyerupai kentut, materi sarat referensi berikut cemoohan ke budaya populer ini akan memantik gelak tawamu. Jika masih belum juga berhasil, Teen Titans Go! To the Movies jelas bukan untukmu.
Rating :