Merupakan debut pengarahan Mike Wiluan setelah menjadi produser bagi film-film seperti Meraih Mimpi (Phillip Stamp, 2009), Dead Mine (Steven Sheil, 2013), dan Headshot (Mo Brothers, 2016), Buffalo Boys yang berlatar kisah di tahun 1860 ini berkisah mengenai seorang pria bernama Arana (Tio Pakusadewo) yang bersama dengan dua keponakannya, Jamar (Ario Bayu) dan Suwo (Yoshi Sudarso), kembali ke Indonesia dari tempat pengasingan mereka di California, Amerika Serikat, untuk membalaskan dendam kematian keluarga mereka oleh pasukan kolonia Belanda yang dipimpin oleh Van Trach (Reinout Bussemaker). Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Kiona (Pevita Pearce), Sri (Mikha Tambayong), serta sejumlah penduduk desa yang seringkali harus menderita akibat kekejaman para penjajah yang merebut harga dan tidak segan untuk membunuh mereka. Pertemuan tersebut lantas membuka mata Arana, Jamar, dan Suwo: kedatangan mereka tidak hanya untuk membalaskan dendam keluarga mereka namun juga untuk membantu rakyat Indonesia terbebas dari jajahan pihak kolonial Belanda.
Buffalo Boys jelas terasa sebagai karya yang ambisius bagi Wiluan. Tidak hanya berusaha menghantarkan drama aksi dengan balutan nuansa western, film ini juga mencoba untuk menyajikan kisah bernuansa sejarah berupa gambaran ketika rakyat Indonesia sedang berada dalam cengkeraman jajahan Belanda – walau jalinan cerita maupun karakter dalam Buffalo Boys merupakan sebuah fiksi. Jika ingin memberikan perbandingan, Buffalo Boys mungkin berada di tingkatan ambisi yang sama dengan film arahan Quentin Tarantino, Django Unchained (2012), yang juga merupakan sajian western dengan balutan kisah fiksi berlatar masa dimana orang-orang berkulit warna di Amerika Serikat dianggap sebagai warga kelas bawah dan sering dijadikan budak pekerja bagi mereka yang berkulit putih. Ambisius, namun Wiluan sepertinya memiliki tekad yang cukup besar dan kuat untuk mewujudkan berbagai visi ceritanya tersebut.
Hal ini dapat dirasakan dari penampilan Buffalo Boys yang berhasil ditata dengan baik untuk memberikan atmosfer pengisahan western yang kental kepada para penonton. Desain produksi serta tata musik yang mengiringi setiap adegan cukup mampu memberikan kesan a la film-film koboi Hollywood buatan John Ford atau Sergio Leone – meskipun kadang terasa kurang megah maupun bergairah untuk benar-benar mampu mencapai posisi tersebut. Jika film ini masih cukup berhasil tampil kuat di penampilannya, sayangnya, pengarahan Wiluan yang terasa begitu kekurangan tenaga. Dengan durasi pengisahan yang sebenarnya “hanya” sepanjang 102 menit, Buffalo Boys sering terasa berjalan lebih lama dan lebih panjang akibat ketiadaan pengarahan Wiluan yang tidak pernah mampu untuk menjaga ritme pengisahan filmnya dengan seksama. Film ini nyaris berjalan datar di sepanjang presentasinya dan baru terasa benar-benar berusaha untuk tampil hidup di paruh ketiga cerita ketika adegan-adegan aksi film ini dieksekusi dan disajikan secara total.
Lemahnya pengarahan Wiluan jelas tidak lepas dari kualitas penulisan naskah cerita film yang ia tulis bersama dengan Raymond Lee (Operation Wedding, 2013) dan Rayya Makarim (Jermal, 2008). Sebagai sebuah western yang menumpukan kisah pada perjalanan yang dilakukan oleh ketiga karakter utamanya, Wiluan, Lee, dan Makarim tidak pernah mampu memberikan karakterisasi yang kuat bagi ketiga karakter tersebut untuk mampu terlihat menarik maupun mengikat kepribadiannya. Hal yang lebih buruk bahkan terjadi pada karakter-karakter pendukung di film ini. Karakter antagonis yang harusnya mampu menjadi antitesis bagi deretan karakter protagonis tampil dengan arahan cerita yang dangkal. Buffalo Boys menghadirkan cukup banyak karakter antagonis untuk menemani kehadiran karakter antagonis utama, Van Trach. Namun, karakter-karakter tersebut kebanyakan hanya disajikan sebagai pemanis, diam berdiri di berbagai sudut pengisahan tanpa pernah diberikan ruang pengisahan yang jelas. Jangan ditanyakan mengenai pengembangan konflik cerita.
Buffalo Boys dihadirkan nyaris tanpa kehadiran konflik yang berarti. Kebanyakan konflik tersebut hanya tampil untuk memicu adegan-adegan aksi dalam film untuk kemudian menguap dan menghilang begitu saja dari dalam pengisahan. Dan mungkin rasanya lebih baik untuk tidak membicarakan kualitas penulisan deretan dialog dalam naskah cerita film ini yang terasa kaku bagaikan terjemahan literal dari sebuah naskah cerita yang awalnya ditulis dalam Bahasa Inggris. Tidak mengherankan jika film ini terasa begitu membosankan dan tampil tanpa denyut emosional yang berarti.
Dengan dangkalnya gambaran karakter yang mereka perankan, tidak mengherankan jika departemen akting film ini turut terasa hadir dengan penampilan yang setengah hati. Bayu dan Sudarso sama sekali tidak pernah mampu menjalin chemistry yang erat dan kuat untuk kedua karakter yang mereka perankan. Sudarso bahkan tampil dalam penampilan akting yang hadir begitu seadanya. Kehadiran Pearce dan Tambayong terasa begitu sia-sia akibat karakter mereka yang tampil tanpa fungsi. Sama halnya dengan Hannah Al Rashid, Zack Lee, dan Alex Abbad yang sebenarnya diberkahi sosok karakter antagonis yang begitu potensial untuk mencuri perhatian namun kemudian dihilangkan dan tenggelam begitu saja dalam penceritaan. Beberapa titik cerah dalam departemen akting film hadir lewat penampilan Happy Salma – lewat karakter yang juga begitu disia-siakan kehadirannya, Donny Alamsyah, Pakusadewo, dan Bussemaker yang cukup mampu menyajikan karakter antagonisnya untuk terlihat begitu mengesalkan.
Rating :