Dalam film terbaru arahan Andreas Sullivan (Revan & Reina, 2018), Dimsum Martabak, penonton diperkenalkan kepada dua karakter utama, Mona (Ayu Ting Ting) dan Soga (Boy William). Walau keduanya berasal dari dua lingkungan ekonomi yang berbeda namun baik Mona maupun Soga sedang berada dalam usaha mereka masing-masing untuk membuktikan kemampuan diri mereka: Mona berusaha menunjukkan pada sang ibu (Meriam Bellina) bahwa dirinya dapat menjadi sosok tulang punggung keluarga yang bertanggungjawab semenjak meninggalnya sang ayah sementara Soga sedang membangun usahanya sendiri untuk keluar dari bayang-bayang sang ayah, Eric Guntara (Ferry Salim), yang merupakan salah seorang pengusaha sukses di Indonesia. Keduanya kemudian bertemu ketika Mona baru saja kehilangan pekerjaannya sebagai seorang pramusaji di restoran milik Koh Ah Yong (Chew Kin Wah) dan lantas mendapatkan pekerjaan di foodtruck martabak yang dikelola Soga bersama sahabatnya, Dudi (Muhadkly Acho) – yang, dapat dengan mudah ditebak, lantas turut menebar benih romansa antara keduanya.
Sama sekali tidak ada sesuatu yang baru maupun istimewa dalam naskah cerita yang digarap oleh Alim Sudio (Kuntilanak, 2018). Pengisahan Dimsum Martabak mengikuti formula tentang “pertemuan antara seorang gadis jelata dengan sosok pangeran yang lantas berkembang menjadi sebuah jalinan hubungan asmara” dengan patuh – meski, tentu saja, dengan beberapa penyesuaian yang dilakukan pada sosok karakter, latar belakang kisah, hingga konflik yang mengikuti perkembangan modernitas zaman. Sesungguhnya, tidak ada yang salah dalam mengikuti atau mengulang formula penceritaan yang telah begitu familiar. Namun, ketika formula pengisahan tersebut disajikan dalam pengembangan yang berjalan terlalu monoton, jelas kualitas monoton pula yang kemudian dapat dirasakan di sepanjang presentasi sebuah film. Hal itulah yang, sayangnya, terjadi pada racikan rasa Dimsum Martabak.
Dimsum Martabak sebenarnya memulai pengisahannya dengan tidak begitu buruk. Seusai memperkenalkan salah satu karakter utamanya – yang kemudian langsung dijerumuskan pada sebuah konflik besar bagi jalinan penceritaannya, film ini bergerak dengan ritme yang sederhana namun secara perlahan membuka barisan konflik-konflik lain dalam ceritanya. Di saat yang bersamaan, setelah beberapa saat film berjalan, Dimsum Martabak kemudian terjebak dalam sebuah pola pengisahan yang terasa berjalan datar dengan tanpa kehadiran sentuhan emosi apapun. Karakter-karakternya tampil dengan satu penggambaran yang sama di sepanjang presentasi film. Konflik yang dikisahkan juga gagal untuk berkembang dengan baik – berjalan di tempat tanpa pernah benar-benar mampu berkisah dengan seksama.
Berantakannya pengisahan Dimsum Martabak lantas semakin dapat dirasakan pada paruh akhir film ketika karakter Mona dikisahkan bertemu dengan keluarga dari karakter Soga. Ritme pengisahan yang awalnya bergerak perlahan kemudian mulai bergerak terburu-buru untuk memberikan penyelesaian bagi setiap konflik yang telah dikisahkan di paruh cerita sebelumnya – bahkan dengan memberikan simpulan kisah yang mengkhianati bangunan cerita yang telah ditetapkan di awal film. Lihat saja bagaimana karakter Soga yang awalnya dikisahkan ingin mandiri dalam membangun usahanya kemudian menyerah begitu saja di akhir film dan meminta/menerima investasi yang diberikan sang ayah. Yikes.
Presentasi karakter dan konflik Dimsum Martabak yang terasa hambar mungkin saja dapat terasa sedikit lebih renyah jika disajikan dengan chemistry yang kuat antara kedua pemeran utamanya. Sayangnya, penampilan Ting Ting dan William gagal untuk menghasilkan ikatan tersebut. Selain penampilan akting keduanya yang terasa masih belum meyakinkan untuk memerankan karakter yang mereka perankan masing-masing, Ting Ting dan William juga lebih sering terasa kaku dan canggung ketika dihadapkan antara satu dengan yang lain. Kedua penampilan tersebut jelas kemudian terasa begitu hampa ketika penampilan mereka disandingkan dengan penampilan-penampilan dari para pengisi departemen akting lain seperti Bellina, Acho, Wah, dan Olga Lydia yang hadir dengan kapasitas penampilan yang lebih meyakinkan. Dimsum Martabak kemudian berakhir tak semenggugah selera seperti yang ditampilkan oleh judulnya. Hambar dan membosankan.
Rating :