Walau mendapatkan penilaian yang kurang begitu menyenangkan dari banyak kritikus dan penikmat film Indonesia, namun raihan jumlah penonton yang mencapai angka lebih dari 2.5 juta penonton dari Jailangkung (Jose Poernomo, Rizal Mantovani, 2018) jelas menjadi penentu bagi Screenplay Films – yang kini mendelegasikan tugas produksi ke divisi horor mereka, Sky Media – dan Legacy Pictures untuk memproduksi sekuel film tersebut. Jika dibandingkan dengan seri pendahulunya, tidak begitu banyak hal yang berubah pada Jailangkung 2. Poernomo dan Mantovani kembali duduk di kursi penyutradaraan. Jefri Nichol, Amanda Rawles, Lukman Sardi, dan Hannah Al Rashid juga masih memberikan penampilan akting mereka dengan Naufal Samudra, Ratna Riantiarno, dan Deddy Sutomo – dalam penampilan terakhirnya sebelum meninggal dunia pada April lalu – hadir memperkuat departemen akting film ini. Sementara itu, Baskoro Adi Wuryanto, sayangnya, kembali dipercaya untuk mengerjakan naskah film dengan bantuan dari Ve Handojo (Cewek Gokil, 2011). Because why would you mess with a winning formula, right?
Jalan cerita Jailangkung 2 sendiri melanjutkan secara langsung pengisahan dari sebelumnya. Angel (Rashid) kini telah melahirkan bayi dari kandungannya yang muncul secara misterius. Bayi tersebut dengan cepat tumbuh menjadi sosok jelmaan makhluk supranatural dengan wujud gadis remaja yang disebut sebagai Matianak. Tidak ingin Matianak terus mengganggu kehidupan sang kakak, Bella (Rawles) kemudian mengajak Rama (Nichol) untuk mencari sebuah jimat yang dapat digunakan untuk melenyapkan sosok Matianak dan hanya dapat ditemukan di reruntuhan kapal kargo milik Belanda bernama Ourang Medan yang diperkirakan telah karam di perairan Selat Malaka pada tahun 1947. Sementara itu, adik Angel dan Bella, Tasya (Gabriella Quinlyn), yang merasa rindu dan kekurangan kasih sayang dari ibunya, akhirnya belajar untuk menggunakan permainan Jailangkung untuk memanggil arwah sang ibu. Kesalahan fatal, tentu saja, yang kemudian membawa Tasya terjebak dalam sebuah dunia gaib.
Sejujurnya, Anda dapat dengan mudah menilai bagaimana kualitas Jailangkung 2 berdasarkan penampilan akting yang diberikan oleh segenap pengisi departemen akting film ini. Nichol, Rawles, Rashid, dan Sardi yang di seri terdahulu masih berusaha untuk memberikan penggambaran yang cukup kuat pada karakter-karakter yang mereka perankan kini terlihat tampil setengah hati bahkan hanya untuk sekedar menahan tawa ketika mereka diharuskan berakting melafalkan deretan dialog maupun konflik yang berkualitas begitu menggelikan. Those half-hearted performances, however, are the best part about Jailangkung 2. Walaupun bukanlah tergolong penampilan yang istimewa namun setidaknya jajaran pengisi departemen akting film ini masih mampu membuat para penonton merasa peduli dengan berbagai tindakan (dan kebodohan) absurd yang dilakukan oleh karakter-karakter yang mereka perankan.
Handojo dan Wuryanto sebenarnya memiliki niatan yang ambisius untuk pengisahan Jailangkung 2. Really. Ide mengenai menyelami Selat Malaka untuk mencari sebuah jimat yang hilang dalam reruntuhan kapal kargo Ourang Medan yang misteri kisahnya telah begitu melegenda – dan harusnya telah memiliki pengisahan film tersendiri – jelas terasa begitu cerdas diatas kertas. Sayangnya, sekelumit ide segar tersebut kemudian ditutupi dengan rangkaian plot dan konflik kacangan yang kualitasnya hampir sejajar dengan kualitas deretan film horor buruk buatan industri film Indonesia yang dahulu pernah menguasai layar bioskop negeri ini dan akhirnya meninggalkan kenangan dan imej buruk pada keseluruhan film Indonesia hingga saat ini.
Poernomo dan Mantovani sendiri mencoba mengemas Jailangkung 2 dengan kemasan yang sedikit lebih mewah dari film sebelumnya. Lebih banyak tata sinematografi yang memanjakan mata, tata suara yang lebih menggelegar, adegan kejutan yang mewarnai lebih banyak adegan, hingga tampilan efek khusus yang terlihat lebih meyakinkan. Tetap saja, berbagai capaian tersebut tidak akan berarti banyak ketika Poernomo dan Mantovani hanya terasa bekerja dalam sistem autopilot tanpa pernah sekalipun berniat untuk setidaknya menghadirkan energi penceritaan yang cukup bagi film ini. Both Poernomo and Mantovani should be ashamed of this.
Rating :