First of all… Nope. Meskipun memiliki kesamaan judul dan sutradara (dan rumah produksi), versi terbaru dari Kuntilanak ini sama sekali tidak memiliki keterikatan cerita dengan trilogi Kuntilanak arahan Rizal Mantovani yang dibintangi Julie Estelle dan sempat begitu popular ketika dirilis pada tahun 2006, 2007, dan 2008. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Alim Sudio (Guru Ngaji, 2018), Kuntilanak versi terbaru ini bahkan memberikan perubahan yang cukup radikal dengan menempatkan lima karakter anak-anak sebagai karakter utama cerita serta memberikan sentuhan komedi dan petualangan pada berbagai sudut pengisahannya – meskipun masih tetap menggunakan beberapa formula lama seperti keberadaan cermin antik yang misterius serta tembang berbahasa Jawa berjudul Lingsir Wengi untuk mempertahankan aroma mistis di dalam jalan penceritaan. Pengembangan kisah tersebut sebenarnya dapat saja menjadikan Kuntilanak tampil sebagai horor yang berbeda dan terasa menyegarkan diantara belantara film horor Indonesia. Sayangnya, pengelolaan kisah dan pengarahan yang setengah matang lebih sering menjadikan film ini terasa kebingungan dalam bercerita daripada mampu tampil menjadi sebuah presentasi horor yang menarik.
Jalan cerita Kuntilanak dimulai ketika lima anak yatim piatu, Kresna (Andryan Bima), Dinda (Sandrinna Michelle Skornicki), Panji (Adlu Fahrezy), Miko (Ali Fikry), dan Ambar (Ciara Nadine Brosnan), ditinggal sementara oleh ibu asuh mereka, Dona (Nena Rosier), yang akan bepergian ke Amerika Serikat untuk mengunjungi anak kandungnya. Untuk menjaga kelima anak asuhnya tersebut, Dona lantas mempercayakan mereka pada keponakannya, Lydia (Aurelie Moeremans). Awalnya, tugas Lydia untuk mengawasi kelima anak tersebut berjalan dengan lancar. Namun, ketika kekasih Lydia, Glenn (Fero Walandouw), membawa sebuah cermin antik yang diniatkan akan menjadi kejutan bagi Dona, kondisi rumah tempat tinggal kelima anak tersebut mulai mengalami berbagai gangguan yang tidak dapat dijelaskan secara akal sehat. Berbekal sebuah buku misteri yang dibaca oleh Miko, kelima anak tersebut kemudian menduga tentang adanya kehadiran sosok kuntilanak di rumah mereka. Walau merasa takut, Kresna, Dinda, Panji, Miko, dan Ambar mulai mencari tahu berbagai cara untuk mengusir sosok kuntilanak tersebut dari kehidupan mereka.
Para penikmat horor jelas tidak akan dapat menutup mata dari kuatnya pengaruh It (Andy Muschietti, 2017) pada kerangka pengisahan Kuntilanak. Lihat saja bagaimana Kuntilanak memulai pengisahannya – dengan tragedi yang dialami oleh sesosok karakter yang nantinya akan terus dibawa dan diangkat di sepanjang penceritaan film, karakterisasi dari masing-masing dari karakter anak, hingga petualangan yang mereka tempuh dengan tanpa kehadiran sosok karakter dewasa dalam mendampingi perjalanan mereka. Mereka yang jeli juga dapat merasakan kehadiran referensi dari Poltergeist (Tobe Hooper, 1982) dan The Conjuring (James Wan, 2013) pada beberapa adegan Kuntilanak. Bukan sebuah masalah besar. Toh Mantovani mampu “mengadaptasi” berbagai referensi film horor tersebut dengan baik untuk memberikan beberapa momen horor yang cukup menyenangkan dalam Kuntilanak.
Permasalahan lebih besar justru muncul dari kualitas penulisan naskah dan pengarahan film ini. Tidak seperti It yang memutuskan untuk tetap menjadi sebuah presentasi horor dengan rating dewasa meskipun karakter-karakter utamanya diisi oleh deretan karakter anak-anak, Kuntilanak terasa kebingungan untuk menapakkan arah langkah penceritaannya. Di beberapa bagian, Kuntilanak tampil layaknya film keluarga yang menghadirkan deretan dialog bernuansa komedi yang sebenarnya terasa kurang esensial kehadirannya dan dapat dibuang begitu saja. Mantovani bahkan memberikan tambahan efek suara setiap kali karakter-karakter anak dalam filmnya melontarkan dialog yang (diniatkan) bernuansa komedi. Entah untuk apa kegunaannya. Kuntilanak baru benar-benar dapat melangkah dengan leluasa ketika film ini murni tampil sebagai sebuah horor dan melupakan usahanya untuk melucu. Beberapa inkonsistensi hadir pada penataan konflik dan karakter yang seringkali membuat Kuntilanak gagal untuk mencapai tujuannya sebagai sajian horor yang mencekam maupun nyaman untuk diikuti pengisahannya.
Pengarahan Mantovani sendiri masih tampil pada kualitas pengarahan yang begitu monoton. Kesempatan untuk menghadirkan Kuntilanak sebagai sebuah film horor yang berada pada ruangan yang sama dengan It dengan memanfaatkan karakter-karakter anak sebagai pengendali jalan cerita gagal untuk terlaksana dengan baik akibat ritme penceritaan yang dihadirkan Mantovani tampil berantakan pada banyak adegan. Beberapa kualitas gambar bahkan hadir dengan kualitas yang terkesan kurang fokus pengambilannya – dan, sialnya, malah lolos masuk ke produk akhir film. Begitu pula dengan tata musik arahan Igor Saykoji yang sepertinya hanya sekedar tampil untuk memberikan terapi kejut pada penonton tanpa pernah benar-benar mampu mengisi adegan-adegan film dengan atmosfer horor yang kuat. Desain produksi film, setidaknya, cukup berhasil untuk tampil tidak mengecewakan. Tidak istimewa namun masih mampu mendorong elemen horor pengisahan untuk dapat terus terasa pada setiap gambar.
Jika Mantovani terasa gagal dalam mengarahkan elemen-elemen lain dalam film ini, sutradara film Jailangkung (2017) tersebut berhasil mengarahkan para aktor dan aktris muda yang berada dalam departemen akting filmnya untuk memberikan penampilan terbaik mereka. Daya tarik Kuntilanak yang memang terletak pada karakter anak-anak yang berusaha memecahkan sendiri misteri supranatural yang mereka hadapi tampil semakin gemilang oleh penampilan Bima, Skornicki, Fahrezy, Fikry, dan Brosnan. Hal yang sama, sayangnya, tidak dapat disematkan pada penampilan para pemeran dewasa film ini. Bukan kesalahan mereka seluruhnya. Karakterisasi yang benar-benar terbatas pada karakter yang mereka perankan memang tidak memberikan kesempatan luas bagi Moeremans, Walandouw, Rosier, maupun Aqi Singgih untuk berbuat lebih banyak.
Rating :