Ada banyak hal yang terjadi dalam pengisahan film terbaru arahan Wim Wenders (Every Thing Will Be Fine, 2015), Submergence. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Erin Dignam (The Last Face, 2016) berdasarkan novel berjudul sama karangan novelis J. M. Ledgard, Submergence merupakan sebuah kisah romansa yang berpadu dengan kisah petualangan di bawah laut, situasi iklim politik dunia, terorisme, misi rahasia seorang agen rahasia, hingga beberapa sentuhan cerita tentang perubahan suhu Bumi yang secara perlahan menjebak orang-orang yang tinggal diatasnya. Cukup gampang ditebak, dengan begitu banyaknya hal yang ingin disajikan dalam 112 menit durasi penceritaan film ini, Submergence kemudian terasa kelimpungan dalam menyalurkan berbagai ide yang dimilikinya meskipun pada beberapa bagian tetap mampu hadir dengan sentuhan-sentuhan emosional yang kerapkali turut menghanyutkan penontonnya.
Jalan cerita Submergence sendiri dimulai ketika seorang profesor dari bidang biomatematika, Danielle Flinders (Alicia Vikander), secara tidak sengaja bertemu dengan seorang tentara bernama James More (James McAvoy) ketika keduanya sedang berada di Perancis. Saling tertarik satu sama lain, keduanya lantas memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama sebelum mereka kemudian dipisahkan oleh pekerjaan mereka masing-masing: Professor Danielle Flinders akan melakukan penyelaman di Laut Greenland yang misterius sementara James More akan menjalankan misinya untuk menghadapi sekelompok pasukan teroris di wilayah Kenya. Tidak lupa, keduanya berjanji untuk terus saling bertukar kabar dan kemudian bertemu kembali setelah menyelesaikan tugas mereka masing-masing. Sebuah janji yang cukup manis sebelum Professor Danielle Flinders akhirnya menyadari bahwa setelah beberapa saat berpisah James More tidak lagi mau menghubungi maupun dapat dihubungi olehnya.
Submergence sebenarnya memiliki banyak elemen pendukung yang mampu membuatnya menjadi sebuah drama romansa yang tidak hanya menyentuh namun juga hadir dengan kemasan yang cukup cerdas – beberapa elemen film bahkan akan menyiapkan penontonnya untuk dapat merasakan kesedihan yang sama seperti saat mereka menyaksikan Atonement (Joe Wright, 2007) dahulu. Sayangnya, seluruh keunggulan tersebut kemudian gagal untuk dapat disatukan menjadi sebuah kesatuan pengisahan yang kuat. Sedari awal, naskah cerita garapan Dignam telah terasa berjuang untuk menyeimbangkan kepingan-kepingan kisah yang ingin ia sajikan lewat film ini. Pilihan untuk menyajikan linimasa penceritaan Submergence secara tidak linear mungkin bukanlah sebuah problema besar. Namun, deretan dialog yang terbangun antara karakter Professor Danielle Flinders dan James More yang berusaha digarap dengan sentuhan kata maupun kalimat puitis justru kemudian membangun halangan tersendiri bagi penonton untuk dapat menyelami kedua karakter tersebut secara lebih mendalam.
Hilangnya keseimbangan dalam penceritaan Submergence juga dapat dirasakan ketika kedua karakter utama dikisahkan tenggelam dengan aktivitas mereka masing-masing. Jika pada awal film hubungan romansa kedua karakter menjadi perekat bagi deretan konflik dalam film ini, elemen tersebut kemudian memudar secara cepat dan membuat porsi pengisahan dari karakter James More menjadi jauh lebih menarik dari bagian pengisahan untuk karakter Professor Danielle Flinders. Kisah tentang James More yang berusaha untuk bertahan ketika dirinya sedang diinterogasi oleh para tentara teroris berhasil disajikan dengan unsur ketegangan yang kuat serta pengisahan yang kompleks namun dapat tersampaikan dengan baik. Polesan tentang pandangan mengenai agama, kepercayaan, hingga isu mengenai jihad semakin menjadikan plot kisah milik karakter James More semakin menggigit. Sementara itu, karakter Professor Danielle Flinders hanya ditampilkan dengan segala keresahannya akibat dirinya tidak dapat menghubungi karakter James More yang disukainya. Elemen romansa yang penting namun tampil datar ketika disandingkan dengan kisah milik karakter James More yang dipenuhi intrik dan momen-momen yang mendebarkan.
Keputusan Wenders untuk menghadirkan Submergence dalam ritme pengisahan yang berjalan lamban sendiri bukanlah keputusan yang buruk. Pilihan tersebut secara perlahan berhasil mengupas kulit demi kulit berbagai ide yang ingn disampaikan oleh Owen. Di saat yang bersamaan, Submergence kemudian terasa bertele-tele dalam pengisahannya. Film ini mulai menemukan ritme pengisahan yang lebih baik ketika jalan cerita mulai menginjak paruh ketiga film: Wenders terus menekan rasa penasaran penonton dengan apa yang akan terjadi pada hubungan romansa kedua karakternya sekaligus secara lancar mulai menyampaikan ide-ide krusialnya – yang tetap dibalut dengan kata-kata sendu nan puitis. Iringan musik buatan Fernando Velazquez juga begitu membantu untuk mendorong kekuatan emosional jalan cerita film. Gambar-gambar yang diambil sinematografer Benoit Debie juga secara menakjubkan mampu menangkap keindahan alam Greenland yang begitu mempesona serta ketandusan wilayah Kenya yang terasa memilukan.
Tentu saja, kekuatan utama Submergence berasal dari penampilan yang begitu mengikat dari Vikander dan McAvoy. Ketika keduanya tampil bersama sebagai pasangan, Vikander dan McAvoy menghasilkan chemistry yang luar biasa mengikat dan akan dengan mudah membuat setiap penonton berharap agar hubungan mereka terus berlangsung. Di momen lainnya, ketika kedua aktor berada dalam dunia karakternya masing-masing, keduanya juga berhasil menghantarkan penampilan akting yang meyakinkan. McAvoy, khususnya, begitu lihai menempatkan karakternya sebagai sosok tangguh namun dengan sisi sensitif yang menjadikan kisahnya menjadi begitu menyentuh. Jika saja Wenders mau berbesar hati untuk menyederhanakan pengisahan yang ingin ia sampaikan pada Submergence, film ini mungkin mampu tampil menjadi sebuah pengisahan yang tampil dengan ikatan emosional yang lebih kuat. Bukan presentasi yang buruk namun jelas akan membutuhkan sedikit kesabaran lebih agar film ini dapat terasa bekerja dengan lebih efektif.
Rating :