Diarahkan oleh sutradara Jeff Wadlow (Kick-Ass 2, 2013), Truth or Dare memulai pengisahannya dengan perjalanan yang dilakukan oleh sekelompok sahabat, Olivia Barron (Lucy Hale), Markie Cameron (Violett Beane) dan kekasihnya, Lucas Moreno (Tyler Posey), Brad Chang (Hayden Szeto), serta Tyson Curran (Nolan Gerard Funk) dan kekasihnya, Penelope Amari (Sophia Ali), untuk berliburan ke Meksiko. Liburan tersebut awalnya berjalan dengan mulus hingga kemudian Olivia Barron dan teman-temannya berkenalan dengan Carter (Landon Liboiron) yang mengajak mereka untuk menghabiskan malam bersama sembari memainkan permainan Truth or Dare. Terdengar sebagai sebuah ajakan yang bersahabat. Namun, ketika permainan sedang berlangsung, Carter mengungkapkan bahwa Truth or Dare yang mereka mainkan adalah sebuah permainan supernatural dan Olivia Barron serta teman-temannya harus memenuhi setiap aturan permainan jika tidak ingin kehilangan nyawa mereka.
Diproduksi oleh Blumhouse Productions yang juga memproduksi tiga horor paling menyenangkan dan cukup berkesan sepanjang tahun lalu – Split (M. Night Shyamalan, 2017), Get Out (Jordan Peele, 2017), dan Happy Death Day (Christopher B. Landon, 2017), Truth or Dare sayangnya hanya mampu tampil dengan pengisahan yang berkualitas medioker. Filmnya sendiri sebenarnya menawarkan sebuah premis yang tidak terlalu buruk – walaupun jelas terasa mengadopsi konsep yang sebelumnya telah dibuat oleh seri film Final Destination (2000 – 2011). Namun, permasalahan utama dari Truth or Dare jelas berasal dari pengembangan naskah ceritanya yang terlalu dangkal. Naskah cerita film yang digarap oleh Wadlow bersama dengan Michael Reisz, Jillian Jacobs, dan Chris Roach terasa begitu berfokus pada permainan Truth or Dare yang menjadi perhatian utama para karakter di film ini tanpa pernah berniat untuk berinvestasi pada pengembangan elemen-elemen cerita lain yang berada di sekitar permainan tersebut.
Lihat saja bagaimana naskah cerita Truth or Dare gagal untuk memberikan pendalaman yang kuat pada aturan permainan dari Truth or Dare – yang di tengah penceritaan film dapat berubah begitu saja. Atau mengenai keberadaan mitos yang menjadi akar atau pemula dari permainan mematikan tersebut. Tentu, seorang karakter dalam penceritaan film kemudian bertugas untuk menjelaskan rincian aturan maupun penyebab terjadinya seluruh konflik yang dipaparkan oleh film ini. Namun, ketika naskah cerita menempatkan bagian tersebut menjelang penghujung pengisahan film, Truth or Dare jelas tidak akan dapat menghilangkan rasa kebosanan yang telah dialami penonton begitu saja sebelum akhirnya mereka mendapatkan kejelasan tersebut. Pengarahan Wadlow juga tidak memberikan kontribusi yang berarti. Truth or Dare berjalan nyaris hanya dengan menghadirkan tantangan demi tantangan yang harus dihadapi oleh karakter-karakternya tanpa pernah mampu untuk mengolah adegan-adegannya menjadi sebuah sajian yang lebih menarik maupun mengikat.
Datar dan monotonnya Truth or Dare juga dapat dirasakan pada penggambaran karakter-karakter yang mengisi jalan cerita film ini. Masih ingat dengan The Cabin in the Woods (Drew Goddard, 2012) yang mengolok-olok para karakter yang terdapat dalam berbagai film horor karena terasa serupa antara satu dengan yang lain? Well… Truth or Dare juga terjebak dengan pakem karakter yang familiar: seorang gadis perawan, seorang perempuan dengan aktivitas seksual yang tinggi, seorang pria yang akan menjadi jodoh sang gadis perawan, seorang kutu buku, seorang pria tampan dengan tubuh atletis, hingga seorang gadis penggemar pesta. Cukup miris jika mengingat setelah sejumlah horor yang mampu menawarkan banyak formula pengisahan yang baru dan segar, Truth or Dare masih terpaku dengan formula usang yang bahkan kemudian gagal diolah untuk dapat tampil dengan presentasi yang lebih baik dari ratusan film sejenis pendahulunya.
So the real truth about Truth or Dare? It’s one of Blumhouse’s worst movies and definitely will be one of the year’s worst too. Dare you to spend your hard-earned money to watch this crap?
Rating :