Sama seperti di film kita sekarang, komedian yang beralih menjadi sutradara adalah sebuah trend di sinema Jepang terutama dari film-film yang di-support oleh Yoshimoto Kogyo sebagai pemain terbesar di industrinya. Selain memang jadi orang yang paling tahu mengarahkan gaya dan gagasan-gagasan komedi mereka, sebagian besar talenta-talenta komedi ini mungkin memang harus diakui punya kemampuan lebih dalam pengaturan comedy timing sebagaimana yang biasa mereka lakukan di atas panggung.
Sedikit berbeda, Toshiyuki Teruya yang di publik Jepang sangat dikenal sebagai komedian dengan stage name Gori dari duo komedi manzai Garage Sale, juga mendaki karirnya sebagai bagian dari komedian-komedian Yoshimoto, menggagas versi feature/panjang dari film pendek karyanya yang memenangkanAudience Award di Skip City International D-Cinema Festival 2017 dan Grand Prix di Short Shorts Film Festival & Asia 2017, Teruya memilih hanya untuk berada di belakang layar meskipun juga dikenal sebagai aktor. Mengganti judulnya dari Bone Born Boon menjadi Born Bone Born, versi ini juga menjadi seleksi resmi di Moscow International Film Festival ke-40 yang sedang berlangsung sekarang, selainOkinawa International Movie Festival (OIMF) ke-10 yang baru saja berakhir.
Premisnya sendiri serupa dengan sumber film pendeknya, juga sama-sama budaya ritual Senkotsu (bone washing/pencucian tulang) yang datang dari kota kelahirannya di Naha, Okinawa, di mana setelah dikubur sekian lama, tulang belulang mayat itu kembali di-exhumasi oleh keluarga terdekat untuk dicuci dengan air laut atau sake, kemudian dikubur kembali dengan tujuan menyucikan jiwa yang akan diberangkatkan ke akhirat. Budaya pencucian tulang ini juga sebenarnya dikenal di banyak suku bangsa lain termasuk di antaranya budaya Toraja dan dalam tujuan berbeda dalam adat Batak.
Keluarga Shinjo yang berasal dari sebuah desa di pulau Aguni, Okinawa, kembali berkumpul 4 tahun sepeninggal ibu mereka, Emiko (Mariko Tsutsui), untuk upacara Senkotsu. 4 tahun itu bukanlah masa yang mudah karena keluarga ini sudah terpecah belah dengan masalah mereka masing-masing. Nobutsuna (Eiji Okuda dari Rurouni Kenshin), sang kepala keluarga menjadi alkoholik linglung karena menyalahkan dirinya atas meninggalnya sang istri, sementara anak tertuanya, Tsuyoshi (Michitaka Tsutsui dari 64) kehilangan respek terhadap Nobutsuna sehubungan dengan hutang keluarga semasa Emiko hidup. Masalah tak lantas berhenti di sana karena putri bungsu Yuko (Ayame Misaki dari Radiance) datang dalam keadaan hamil 9 bulan dari seorang lelaki (Kyutaro Suzuki) yang dianggap Tsuyoshi tak cukup mapan. Konflik intern antar keluarga ini perlahan meruncing dan meledak tepat menjelang ritual itu harus dilaksanakan.
Menulis sendiri skripnya, Teruya tak lantas mengarahkan Born Bone Born menjadi sebuah komedi biasa namun berdiri di atas sebuah dramatisasi kuat dengan motivasi jelas di antara karakternya. Masing-masing punya penelaahan sebab akibat untuk kemudian dibenturkan satu dengan yang lain dengan sangat rapi dan tak sekalipun terjebak dalam komedi slapstick.
Elemen-elemen chaos-nya dengan leluasa digelar Teruya dengan akting kuat aktor-aktor A-list yang dipilihnya menjadi sesuatu yang unik, yang tak bisa selalu kita dapatkan di film-film komedi biasa. Bahwa semua aktornya berakting menerjemahkan konflik intern masing-masing tanpa melucu, tapi di tengah situasi itu kita sebagai penontonnya berkali-kali bisa tertawa lepas. Dalam konsep komedi yang banyak dianggap paling baik,.Teruya membawa tawa tadi di tengah mata berkaca-kaca atas dramatisasi yang digelarnya, tanpa harus meledak-ledak jatuh ke dalam situasi melodrama cemen ataupun oversimplifikasi konflik yang mengada-ada.
Penggarapan teknisnya pun tergolong sangat baik. Memanfaatkan set panoramik pantai Okinawa yang hadir lewat shot-shot bagus dari DoP Takahiro Imai, Born Bone Born sekaligus menjadi sebuah ‘show of culture’ yang kuat serta penuh informasi atas budaya Okinawa yang berbeda dengan daerah Jepang lainnya. Dukungan scoring dan theme song masing-masing dari Kazuya Sahara dan Koja Misako juga menonjolkan musik khas Okinawa dengan instrumen Sanshin, Banjo ala Okinawa yang punya soundberbeda. Detil medis yang mereka selipkan – jarang sekali sebuah komedi mau tampil detil dalam hal ini, juga tampil dengan akurasi tinggi di adegan klimaksnya.
Semua aspek-aspek yang menjadi pencapaian monumental bagi Teruya ini pada akhirnya mengarah ke sebuah konklusi menggetarkan tentang gagasannya mengangkat ritual tanah kelahirannya, bahwa kita tak lagi melihat komedi dan dramatisasinya melainkan sebuah momen untuk berkaca dan melihat balik hubungan-hubungan intern dalam keluarga dan betapa penting arti silsilah keluarga dalam penghormatan terhadap generasi di atasnya. Bukan semata untuk mereka, tapi justru sebagai pengingat untuk penerusnya. Bagus sekali.
Rating :