Review

Info
Studio : Chanex Ridhall Pictures
Genre : Drama
Director : Erwin
Producer : Rosa Rai Djalal
Starring : Donny Damara, Ence Bagus, Andania Suri, Dodit Mulyanto, Dewi Irawan

Kamis, 29 Maret 2018 - 09:04:22 WIB
Flick Review : Guru Ngaji
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 1778 kali


Enam tahun semenjak merilis debut pengarahan film layar lebarnya, Rumah di Seribu Ombak (2012) – yang berhasil meraih beberapa nominasi Festival Film Indonesia termasuk di kategori Film Terbaik dan Sutradara Terbaik, Erwin Arnada kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk mengarahkan dua film yang dikeluarkan pada paruh awal tahun 2018. Film pertama, sebuah horor berjudul Nini Thowok yang dibintangi Natasha Wilona, menawarkan sebuah premis sederhana tentang sebuah urban legend berbau mistis namun gagal untuk dikembangkan dengan lebih apik. Film kedua, sebuah drama berjudul Guru Ngaji dimana kredit penyutradaraan bagi Arnada dituliskan dengan hanya menggunakan nama depannya, juga hadir dengan premis yang sama sederhana namun, untungnya, berhasil disajikan dengan kualitas pengisahan yang lebih baik. Banyak menghadirkan momen-momen kuat dan menyentuh meskipun masih terasa hadir dengan pengembangan cerita yang cenderung dangkal.

Dengan naskah cerita yang ditulis Erwin bersama dengan Alim Sudio (Ayat-ayat Cinta 2, 2017), Guru Ngaji berkisah mengenai kehidupan seorang guru ngaji bernama Mukri (Donny Damara) bersama dengan istri, Sopiah (Dewi Irawan), dan anaknya, Ismail (Akinza Chevalier). Karena himpitan ekonomi yang dialami keluarganya, Mukri kemudian mengambil pekerjaan sampingan menjadi seorang badut di pasar malam yang dikelola oleh Koh Alung (Verdi Solaiman). Walau senang dengan pekerjaannya sebagai seorang badut, Mukri terpaksa merahasiakan pekerjaan sampingannya tersebut karena takut hal tersebut akan membuat istri dan anaknya merasa malu sekaligus karena tidak ingin agar profesi guru ngaji yang diembannya kemudian dipandang tercela oleh orang banyak. Dilema kemudian datang ketika Kepala Desa (Tarzan) tempat Mukri dan keluarganya tinggal meminta Koh Alung untuk mengirimkan hiburan badut untuk acara ulang tahun anaknya. Mukri dapat saja menolak pekerjaan tersebut. Namun, rasa segannya pada Koh Alung, serta jumlah bayaran besar yang akan diterimanya, membuat Mukri akhirnya menerima resiko untuk tampil di hadapan orang-orang yang kemungkinan besar akan mengenal identitasnya.

Harus diakui, naskah cerita Guru Ngaji memang tidak menawarkan sesuatu yang baru ataupun istimewa dalam guratan pengisahannya. Kisah mengenai usaha sekelompok karakter dari golongan ekonomi terbatas untuk meraih mimpi dan harapan mereka yang kemudian dibalut dengan deretan konflik yang sarat akan muatan berbagai isu sosial jelas juga telah terasa familiar dan dieksplorasi oleh banyak film-film sejenis. Meskipun begitu, presentasi pengisahan Guru Ngajimasih mampu disokong oleh kemampuan pengarahan Erwin yang menghadirkan filmnya dalam ritme cerita yang tertata cukup baik. Sebagai film yang sepenuhnya berkisah tentang karakter-karakter yang berasal dari ekonomi kelas bawah, Erwin dan Sudio juga tidak lantas mengeksploitasi karakter maupun kondisi tersebut untuk tampil menyentuh atau memberikan rasa haru pada penontonnya. Sebuah pilihan yang cukup layak diberikan kredit pujian tersendiri.

Namun, di saat yang bersamaan, cukup sulit untuk mengelak dari fakta bahwa Guru Ngaji disajikan dengan pengembangan plot dan karakter yang tergolong lemah. Banyak konflik maupun plot yang tampil terasa dihadirkan sebagai jembatan bagi Erwin untuk menyampaikan pandangannya tentang beberapa isu sosial tertentu. Dan mengingat padatnya isu sosial yang berusaha dipaparkan dalam 104 menit durasi tayang film ini – mulai dari perundungan, toleransi dan kerukunan antar umat beragama, hingga beberapa sentilan politik, kesan bahwa Guru Ngaji adalah sebuah “khutbah” panjang Erwin tentang kehidupan sosial jelas tidak dapat dihindari begitu saja. Rentetan masalah demi masalah yang dihadapi dan harus diselesaikan oleh sang karakter utama juga tidak mampu ditampilkan sebagai pengisahan yang meyakinkan, terlebih ketika Guru Ngaji lantas secara terburu-buru berusaha untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut pada paruh akhir penceritaannya. Sebuah plot sampingan yang cenderung bernada komedi yang melibatkan kehadiran Dodit Mulyanto dan Ence Bagus juga lebih sering tereksekusi dengan datar daripada berhasil memberikan hiburan.

Penampilan para pengisi departemen akting jelas menjadi elemen dengan kualitas terkuat dari presentasi keseluruhan film ini. Berperan sebagai karakter sentral, Damara mampu menunjukkan penampilan dengan sentuhan sensitivitas yang tinggi – mudah untuk menyukai karakternya sekaligus terhubung dengan perjuangan yang harus dilalui karakter yang diperankannya. Penampilan Irawan, Solaiman, dan Tarzan juga hadir dengan kualitas yang solid terlepas dari minimnya pengembangan kisah yang diberikan pada karakter-karakter yang mereka perankan. Namun, jelas adalah penampilan Bagus yang mampu tampil mencuri perhatian dalam setiap kehadirannya. Pengisahan yang diberikan bagi karakter yang diperankan Bagus memang cukup terbatas. Pun begitu, Bagus mampu memberikan sentuhan drama serta komedi yang mampu membuat karakternya tampil begitu kuat.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.