Review

Info
Studio : Fourcolours Films
Genre : Drama
Director : Kamila Andini
Producer : Gita Fara, Ifa Isfansyah, Kamila Andini
Starring : Ni Kadek Thaly Titi Kasih, Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena, Ayu Laksmi, I Ketut Rina, Happy Salma

Senin, 12 Maret 2018 - 20:38:41 WIB
Flick Review : Sekala Niskala
Review oleh : Haris Fadli Pasaribu (@oldeuboi) - Dibaca: 2493 kali


Kamila Andini sukses mencuri atensi berkat debutnya, The Mirror Never Lies atau Laut Bercermin (2011). Tidak heran jika kemudian muncul rasa penasaran gerangan apa sajian kisah dalam film panjang berikutnya. Beberapa tahun kemudian, kini hadir Sekala Niskala (The Seen and Unseen), yang bertugas untuk menjawab rasa penasaran tadi.

Jika Laut Bercermin mengambil Wakatobi sebagai latar, maka Bali adalah pilihan dalam Sekala Niskala. Sudut pandang masih diambil dari karakter anak-anak dengan kultur lokal menjadi balutan cerita. Meski begitu, bukan berarti mereka adalah dua film sama dengan sekedar pergantian atribut, karena Andini memilih gaya tutur yang bisa dikatakan jauh berbeda dalam Sekala Niskala.

Dikisahkan Tantri (Ni Kadek Thaly Titi Kasih) dan Tantra (Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena) sepasang kakak-beradik kembar buncing berusia 10 tahun yang selalu bersama. Kebersamaan kemudian terusik karena Tantra jatuh sakit. Kondisinya tak kunjung membaik membuat Tantra resah.

Keresahan Tantra kemudian dituangkan dalam imajinasi di mana ia kerap menari di remangnya malam. Ia tidak sendiri, karena ada kawanan anak-anak lain menemani. Meski anak-anak ini bukan datang dari “jenis” mereka, tapi Tantri tidak peduli.

Bersama para mahluk tak kasat mata ini Tantri mengadah pada rembulan yang membulat penuh dan bercerita tentang semua gundah-gulana. Ia menjadi begitu ekspresif, menari dengan enerjik dan antusias. Di kala lain, Tantri juga mengajak Tantra untuk juga menari bersama dirinya.

Sekala Niskala dibungkus Andini dalam kemasan perpaduan antara dongeng dan realisme. Hasilnya terkadang magis, terkadang juga sureal, menimbulkan rasa menghantui mencekam, meski Sekala Niskala bukanlah sebuah film horor.

Meski demikian, layaknya film horor, Sekala Niskala berbicara dalam konteks psikis: rasa takut. Sebuah perasaan yang mengantui Tantri dan kemudian mengungkapkan kecemasan dan gelisahnya melalui curahan daya imajinasi. Mengingat sepertinya ia berasal dari keluarga dengan darah seni kental, maka ia mencurahkan peraaan tadi melalui sesuatu yang dikenalnya baik; menari.

Sebagaimana disebut oleh Andini (sumber: rappler.com), meski tidak menafikan jika kepercayaan kepada sesuatu yang gaib masih jamak dalam kultur Indonesia, ia memilih Bali sebagai latar dengan alasan di kawasan ini tradisi kebersamaan antara kaum kasat dan tidak kasat mata masih terjalin kuat dalam keseharian penduduknya. Oleh karenanya film memiliki keleluasaan dalam mengeksplorasi sisi mistikal sebagai bagian imajinasi Tantri, sekaligus memberi penghormatan pada sisi tradisinya.

Dan sesuai judulnya, narasi film dihadirkan dalam dua pendekatan, sekala (selalu/sewaktu-waktu/sediakala) dan niskala (tak berwujud/abstrak). Jadi, plot dibagi menjadi dua gaya tutur, realisme dan fantasi. Keduanya bertugas untuk membandingkan beban emosional karakter utamanya.

Dalam realitanya, Tantri cenderung tidak tahu bagaimana menyikapi kemalangan yang menimpa saudara-nya. Berbeda dengan bunda mereka (diperankan dengan bagus oleh Ayu Laksmi, sang ibu di Pengabdi Setan), di mana secara perlahan namun pasti harus merelakan kehilangan salah seorang anaknya. Sedang di daya imajinasinya, Tantri menjelma menjadi sosok yang cerewet (verbal dan non-verbal) dan enerjik.

Di sisi fantasi, Sekala Niskala terlihat dan teraba begitu ritmis, atmosferik dan bahkan menghipnotis. Tentunya berkat totalitas Ni Kadek Thaly Titi Kasih, Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena, serta barisan penari anak lain dalam mempersembahkan sendratari yang begitu menyihir. Mereka seolah tersedot euforia. Begitu larut dalam trans sehingga semangatnya pun tertular pada penonton.

Sayangnya, semangat sama tidak bisa kita temui saat film memaparkan realisme. Tidak harus mengelaborasi emosi secara berlebihan juga. Hanya saja minimnya nuansa menyebabkan sisi drama film menjadi terasa datar dan tidak meninggalkan kesan lebih layaknya sisi fantasi tadi. Juga para aktor anak agak mengalami kesulitan dalam menginterprestasikan aspek dramatik karakter mereka secara lebih alami. Sederhananya, akting mereka tidak sebaik saat mereka menari. Jomplang-nya tone ini tentunya mempengaruhi ritme film sehingga ia cenderung berlarat pada beberapa bagian.

Meski begitu, tetap saja Sekala Niskala adalah film istimewa. Bukan hanya karena dengan memikat memadukan kultur dan seni Bali dalam sebuah drama psikologis bertema tentang rasa gamang seorang anak dalam menghadapi rasa kehilangan, namun juga sebuah persembahan sinematik menghanyutkan.Sekala Nikala layaknya sebuah magi dengan pesona sulit untuk ditolak.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.