Walau pemilihan Angelina Jolie untuk memerankan karakter ikonik dari permainan video Tomb Raider, Lara Croft, menghasilkan begitu banyak keluhan dari barisan penggemar permainan video tersebut – yang menilai Jolie tidak memiliki karakteristik fisik yang sesuai untuk memerankan Lara Croft, namun penampilan Jolie yang begitu meyakinkan-lah yang kemudian menjadi satu-satunya energi kuat bagi pengisahan Lara Croft: Tomb Raider (Simon West, 2001). Dengan garapan cerita yang tidak begitu mengesankan – dan menambah panjang daftar adaptasi permainan video yang berkualitas buruk – Jolie menjadi faktor utama kesuksesan komersial film tersebut sekaligus menjadikan karakter Lara Croft menjadi begitu melekat pada dirinya. Sayang, sekuel Lara Croft: Tomb Raider, Lara Croft: Tomb Raider – The Cradle of Life (Jan de Bont, 2003), sekali lagi mendapatkan tanggapan negatif dari mayoritas kritikus film dunia dan, sialnya, kemudian gagal untuk meraih kesuksesan komersial yang setara dengan film pendahulunya. Harapan untuk menyaksikan Jolie kembali beraksi sebagai sosok Lara Croft secara perlahan menghilang dan tenggelam begitu saja.
Lebih dari satu dekade kemudian, Hollywood kembali menghidupkan karakter Lara Croft yang kali ini hadir lewat perwujudan fisik aktris Alicia Vikander. Cukup banyak yang berubah dari versi teranyar film Tomb Raider ini. Jika Jolie menterjemahkan sosok Lara Croft sebagai satu karakter perempuan tangguh yang mampu mengaplikasikan kemampuan aksinya di banyak medan maka karakter Lara Croft yang diperankan Vikander kini lebih sering digambarkan menggunakan kekuatan otak dan pemikirannya daripada kemampuan ototnya – meskipun Lara Croft versi Vikander masih terlibat dalam banyak adegan aksi. Tentu saja, karakterisasi tersebut didorong oleh kemampuan penulis naskah, Geneva Robertson-Dworet dan Alastair Siddons, untuk menonjolkan sisi misteri petualangan dari kisah Tomb Raider daripada sekedar menjadikannya sebagai sebuah film aksi belaka. Keputusan yang cukup menarik meskipun versi terbaru dari Tomb Raider masih juga diganggu oleh beberapa potongan konflik yang lemah.
Disutradarai oleh Roar Uthaug, Tomb Raider memulai kisahnya ketika Lara Croft (Vikander) berhasil mendapatkan sebuah petunjuk mengenai keberadaan sang ayah, Lord Richard Croft (Dominic West), yang selama ini telah menghilang setelah perjalanannya ke sebuah pulau misterius yang hanya dikenal dengan sebutan Yamatai. Berbekal petunjuk tersebut, Lara Croft lantas berangkat ke Hong Kong dan dengan bantuan seorang kapten kapal bernama Lu Ren (Daniel Wu) kemudian memulai pencariannya akan jejak sang ayah di Pulau Yamatai. Malang, akibat sebuah badai dahsyat yang menghadang, kapal yang ditumpangi Lara Croft dan Lu Ren akhirnya karam dan membuat mereka terdampar di sebuah pulau terpencil. Ketika dirinya akhirnya tersadar, Lara Croft dan Lu Ren telah menjadi tawanan Mathias Vogel (Walton Goggins) yang ternyata juga memiliki misi untuk mencari Pulau Yamatai dan pernah berhubungan dengan Lord Richard Croft. Perlahan tapi pasti, Lara Croft mulau menyadari bahwa Mathias Vogel adalah sosok penjahat yang harus segera dijauhinya.
Meskipun standar yang diterapkan oleh dua film pendahulunya tergolong cukup rendah namun harus diakui Uthaug memiliki kekuatan pengarahan yang cukup kuat untuk membuat Tomb Raider miliknya tampil dengan pengisahan yang maksimal. Tentu, naskah cerita garapan Robertson-Dworet dan Siddons menampilkan sederetan konflik misteri petualangan yang cenderung klise serta menampilkan sejumlah pengembangan plot maupun konflik yang seringkali terasa dangkal. Namun, Uthaug berhasil dengan jeli menata filmnya dengan ritme pengisahan yang berjalan cepat dan tertata rapi sehingga banyak dari kelemahan penceritaan tersebut dapat disembunyikan dengan baik. Tidak lantas menjadikan Tomb Raider sebagai sebuah pencapaian sinematis yang istimewa namun lewat kehandalan Uthaug dalam menata ritme pengisahan sekaligus menyajikannya dengan kualitas detil produksi yang maksimal, Tomb Raider mampu menjelma menjadi sebuah sajian misteri petualangan yang begitu renyah untuk dinikmati.
Tidak dapat disangkal pula, penampilan Vikander yang begitu maksimal mampu membuatnya lepas dari bayang-bayang Jolie. Walau kadang terasa janggal melihat tanktop maupun tata rias yang digunakan karakter Lara Croft tidak rusak, robek, luntur, dan terjaga dengan baik setelah berbagai rintangan fisik yang dihadapi karakter tersebut, namun kharisma kuat Vikander berhasil meruntuhkan segala keraguan dan menjadikan karakter Lara Croft yang ia perankan terkesan menjadi lebih sederhana dan mudah untuk disukai. Tomb Raider juga memberikan ruang yang luas bagi karakter perempuan tersebut untuk menjalaninya pengisahannya tanpa harus terganggu plot tentang asmara maupun kisah klise lainnya. Hasilnya, karakter-karakter pria dalam jalan cerita Tomb Raider murni tampil sebagai pendukung belaka tanpa pernah diberikan kesempatan untuk mencuri perhatian dari karakter Lara Croft. Bukan sebuah masalah besar ketika karakter Lara Croft mampu mendapatkan pengembangan kisah yang utuh serta karakter-karakter pendukung tersebut disajikan dengan sangat baik oleh para pemerannya.
Versi teranyar dari Tomb Raider memang masih dihantui oleh berbagai problema akan pengembangan klise dari plot pengisahannya. Namun, di saat yang bersamaan, film ini mampu mendapatkan kualitas pengarahan cerita yang kuat dari Uthaug serta penampilan akting gemilang dari Vikander. – dan jelas bukan sebuah permasalahan yang mudah untuk keluar dari bayang-bayang seorang Jolie. Sajian hiburan yang efektif dan jelas akan membuat banyak penontonnya menunggu seri lanjutan dari film ini.
Rating :