Sukses besar dengan Shaun the Sheep Movie (Richard Starzak, Mark Burton, 2015) – yang sekuelnya, Farmageddon: A Shaun the Sheep Movie, sedang dipersiapkan untuk rilis tahun depan – Aardman Animations kembali merilis film animasi terbarunya yang berjudul Early Man. Diarahkan oleh Nick Park yang merupakan sutradara dari film yang masih memegang gelar sebagai film tersukses milik rumah produksi asal Inggris tersebut, Chicken Run (2000), Early Man masih menampilkan presentasi kisahnya dalam teknik stop-motion clay animation yang memang telah menjadi ciri khas dari film-film animasi buatan Aardman Animations. Mereka yang menikmati warna guyonan dari film-film seperti Chicken Run atau Shaun the Sheep Movie atau Wallace & Gromit: The Curse of the Were-Rabbit (Park, Steve Box, 2005) – yang berhasil memenangkan kategori Best Animated Feature di ajang The 78th Annual Academy Awards – jelas akan dapat menikmati Early Man. Sayangnya, lebih dari itu, Early Man gagal untuk tampil dengan pengisahan yang lebih kuat untuk dapat dinikmati para pecinta film animasi dalam skala yang lebih luas.
Dengan naskah cerita yang digarap Mark Burton bersama dengan James Higginson, Early Man berkisah mengenai kehidupan sekelompok manusia purba di Zaman Batu yang dipimpin oleh Bobnar (Timothy Spall). Suatu hari, wilayah tempat mereka tinggal diserbu oleh sekelompok tentara yang dipimpin oleh Lord Nooth (Tom Hiddleston) yang lantas mengusir semua orang-orang yang berada di tempat tersebut dan mengumumkan bahwa Zaman Batu telah digantikan oleh Zaman Perak yang lebih modern. Tidak terima tempat tinggalnya diambil dan teman-temannya diusir begitu saja, seorang pemuda bernama Dug (Eddie Redmayne) kemudian menantang pasukan Lord Nooth yang gemar bermain sepakbola untuk bertanding. Sebuah tawaran yang lantas kemudian diterima oleh Lord Nooth. Sayangnya, usaha Dug untuk merebut kembali tempat tinggalnya tidak begitu saja diterima oleh teman-temannya. Bobnar dan seluruh warga yang lain merasa bahwa mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melawan pasukan Lord Nooth dalam sebuah pertandingan sepakbola.
Naskah cerita yang ditawarkan Early Man harus diakui tampil dengan runutan pengisahan yang cukup sederhana: sekelompok underdog yang berusaha untuk membuktikan kemampuan dirinya dan, tentu saja, kemudian berhasil melakukannya. Cukup sederhana sehingga sebagian dari durasi film yang “hanya” berjalan selama 89 menit ini diisi banyak adegan dimana karakter Dug dan rekan-rekannya melatih kemampuan sepakbola mereka. Seperti film-film produksi Aardman Animations lainnya, pengisahan Early Man juga menghadirkan guyonan bernuansa Inggris yang, sayangnya, kali ini lebih sering gagal tampil menghibur daripada berhasil memberikan senyuman maupun tawa lebar bagi penonton. Dug yang menjadi karakter sentral dalam penceritaan film juga kurang begitu berhasil tampil memikat akibat dangkalnya karakterisasi yang diberikan pada dirinya. Begitu pula dengan karakter-karakter pendukung yang dihadirkan. Meskipun dengan dukungan vokal dari nama-nama seperti Redmayne, Hiddleston, Spall, Maisie Williams, hingga Richard Ayoade, tak satupun karakter mampu tampil mengesankan – meskipun penampilan vokal Rob Brydon yang mengisisuarakan karakter burung pembawa pesan jelas akan menghasilkan tawa yang begitu meriah.
Jika naskah cerita Early Man gagal tampil dengan sekualitas sepantaran film-film animasi terbaik karya Aardman Animations maka setidaknya film ini masih mampu menghadirkan kualitas tampilan visual yang solid. Teknik stop-motion clay animation yang digunakan untuk menghadirkan nuansa lingkungan pra-sejarah di beberapa adegan film disajikan dengan detil yang indah. Begitu juga ketika Early Man mengalihkan fokus penceritaannya pada Zaman Perak yang lokasinya kebanyakan berada di stadion sepakbola. Animasi yang disajikan tergarap maksimal meskipun, sekali lagi, harus diakui tidak akan mampu menutupi kelemahan dari naskah pengisahan film yang memang terlalu minimalis pengembangannya.
Seperti halnya Pixar Animation Studios, Aardman Animations adalah salah satu rumah produksi film animasi yang selalu berhasil memberikan sentuhan khas dalam setiap karya-karyanya. Sentuhan khas tersebut – mulai dari teknik animasi hingga penggunaan guyonan British yang kental – memang masih dapat dirasakan dalam film produksi terbaru mereka, Early Man. Sayangnya, dengan pengolahan naskah cerita yang (terlalu) sederhana, Early Man gagal untuk tampil memikat, khususnya dengan banyak dari guyonan yang disajikannya lebih sering gagal dalam memancing tawa daripada berhasil memberikan hiburan. Bukan sebuah karya yang buruk. Namun dengan standar yang cukup tinggi yang telah diterapkan oleh film-film animasi buatan Aardman Animations sebelumnya, Early Man jelas berada dalam barisan film animasi yang gagal untuk tampil dengan kualitas maksimal.
Rating :