Meski tak secerdas satir Si Doel Anak Modern (1976) atau subversif sebagaimana Betty Bencong Slebor (1978), tetap saja Benyamin Biang Kerok (1972) tercatat sebagai salah satu film paling berkesan milik aktor/biduan/komedian/sutradara legendaris berdarah Betawi, Benyamin Sueb. Sukses film karya Nawi Ismail tersebut melahirkan gelombang film dengan judul berembel-embel Benyamin lain, selain sebuah sekuel, Biang Kerok Beruntung (1973).
Dalam Benyamin Biang Kerok, Benyamin Sueb adalah Pengki, seorang supir keluarga kelas menengah bersifat oportunis, doyan akal-akalan dan memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi. Di balik banyolan ceritanya, film menghadirkan pula sentilan akan situasi sosial masyarakat di masa itu.
Kini, lebih dari empat dekade kemudian, hadir sebuah film berjudul sama di bawah pengarahan Hanung Bramantyo. Atau reborn mungkin tepatnya, karena sesuai trend film Indonesia kekinian. Mengingat ia juga datang dari rumah produksi yang sebelumnya menghasilkan dwilogi Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss, maka film terbaru ini lebih memilih untuk menawarkan perspektif berbeda dengan meminjam beberapa situasi dari film asli untuk kemudian dipermak sesuai dengan selera masa kini.
Oleh karena itu Pengki (Reza Rahadian) kini adalah putra seorang pengusaha kaya raya, Julaeha, (Meriam Bellina), hasil perkawinan bersama pria sederhana, Sabeni (Rano Karno). Mengingat ia tidak harus pusing-pusing memikirkan uang sebagaimana milenial lain, maka di kesehariannya Pengki menghabiskan waktu bersama dua sahabatnya, Somad (Adjis Doa Ibu) dan Achie (Aci Resti), yang sama tidak jelas tujuan hidupnya.
Digambarkan manja juga kolokan, rupanya Pengki berjiwa sosial. Ditunjukkan dengan kerapnya ia berada di sebuah kompleks rumah susun yang berada di bawah "lindungan" seorang mantan rocker perkasa (Lydia Kandou). Atau mencuri dari orang kaya, seperti kasino milik Said Toni Rojim (Komar), dan hasilnya dibagi-bagian kepada orang tak berpunya. Aksi pencurian inilah yang menimbulkan masalah di kehidupan Pengki, termasuk dalam urusan percintaan bersama penyanyi cantik, Aida (Delia Husein).
Okelah jika Benyamin Biang Kerok disebut bukan remake atau reboot dari film aslinya. Memang sebuah kebebasan pilihan dalam berkarya. Namun sangat disayangkan sebagai film yang disebut berlatar kultur Betawi, nyaris tidak ada sesuatu yang berjiwa Betawi di film ini. Terkecuali hanya sebagai dekorasi atau penegasan streotipe urakan atau kampungan orang Betawi. Sebetapa kaya-raya pun mereka.
Konsep modern di benak para sosok di belakang pembuatan film ini rupanya adalah kemajuan dari segi teknologi, tanpa diimbangi dengan segi kematangan emosi atau intelektual karakternya. Oleh karenanya, nyaris di sepanjang durasi diperlihatkan interaksi bersama beberapa gadget canggih. Mungkin departemen prop film mendapatkan bujet tak memadai, sehingga berbagai gadget dalam film tampak palsu dan picisan, sebagaimana karakter-karakter yang menjadi populasi film.
Masalah utama Benyamin Biang Kerok adalah betapa berantakan naskahnya. Kabur arahnya mau ke mana. Alih-alih dramaturgi, naskah hanya berisi kumpulan sketsa kurang begitu jelas juntrungan-nya kecuali untuk memancing tawa. Komedi berbalur apakah film ini? Drama romantis? Petualangan? Fiksi ilmiah? Petualangan? Kritik sosial? Hanya di permukaan atau tempelan atau sekedar lip service.
Konsep komedinya pun masih percaya dengan teknik slapstik kuno. Hasilnya lebih cenderung garing serta membuat kening berkerut. Daripada tertawa bersama film kita justru menertawakan kebodohannya.
Sesekali film diimbuhi pula beberapa adegan musikal yang mengingatkan akan gaya Bollywood. Hanya saja dihadirkan melalui mise-en-scène setengah matang, koreografi tak bernyawa dan insepsi dipaksakan. Padahal interprestasi ala jazz/swing untuk lagu-lagu klasik Benyamin Sueb, seperti "Nonton Bioskop" yang kini sudah dianggap sebagai bagian kultur pop Indonesia, lumayan menarik.
Film semakin absurd dengan adegan menggantung di penghujung film yang sepertinya diniatkan sebagai cliffhanger. Karena dihadirkan secara mendadak nyaris tanpa aba-aba dan minim suspensi, adegan tersebut sama sekali tidak memiliki kandungan urgensi atau membangkitkan rasa penasaran. Bahkan cliffhanger kacangan sebagian besar sinetron dieksekusi jauh lebih baik dari pada ini.
Formula Benyamin Biang Kerok memang mengekor Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss, yaitu memadukan berbagai genre sekaligus dalam satu paket. Sebenarnya bukan masalah film dengan genre campur-aduk atau komedi absurd, asal konsepnya jelas, tidak menghina kecerdasan penonton serta tetap memasukkan sisi manusiawi, sebagaimana film-film Mo lei tau ala Stephen Chow misalnya. Sesuatu yang gagal kita temui dalam Benyamin Biang Kerok.
Benyamin Biang Kerok pada dasarnya hanya bertumpu pada eksploitasi akting Reza Rahadian. Sebetapa dedikatifnya ia dalam mengimitasi sosok Benyamin Sueb, tetap harus terlindas oleh kacaunya alur film. Hanung Bramantyo sebagai pengarah produksi juga ketereran menjalin film secara rapi. Meski berbungkus konsep mewah, tetap saja eksekusi Hanung mengingatkan sajian serial televisi yang banal dan murahan. Sesuatu yang sebaiknya tidak perlu disaksikan di layar lebar. #sayanguangnya
Rating :