Di tahun 1971, Amerika Serikat (dan dunia) dihebohkan dengan perilisan dokumen-dokumen rahasia milik negara di halaman depan harian The New York Times yang memuat detil keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam mulai dari tahun 1945 hingga tahun 1967. Yang membuat banyak warga negara Amerika Serikat lebih murka lagi, dalam dokumen yang kemudian dikenal dengan sebutan Pentagon Papers tersebut, terdapat sebuah analisa yang mengungkapkan fakta dan data bahwa pasukan militer Amerika Serikat sebenarnya tidak memiliki kesempatan untuk memenangkan Perang Vietnam – sebuah kenyataan yang diketahui dan kemudian disembunyikan oleh empat Presiden Amerika Serikat di kala itu: Harry S. Truman, Dwight D. Eisenhower, John F. Kennedy, dan Lyndon B. Johnson. Alasan mengapa pemerintahan Amerika Serikat tetap bertahan di Perang Vietnam? Sederhana: menghindari diri dari rasa malu atas sebuah kekalahan di medan perang.
Film terbaru arahan Steven Spielberg, The Post, sendiri memiliki ketersinggungan dengan peristiwa jatuhnya dokumen rahasia Pentagon Papers ke tangan media. Lewat naskah cerita yang ditulis oleh Liz Hannah dan Josh Singer – yang baru saja memenangkan Academy Awards untuk naskah cerita asli yang ia tulis bagi Spotlight (Tom McCarthy, 2015), The Post berkisah mengenai serangkaian peliputan yang dilakukan harian The Washington Post atas skandal militer Amerika Serikat tersebut. The Washington Post? Ya. Meskipun The New York Times menjadi media pertama yang mendapatkan salinan dokumen dan menerbitkan berita mengenai Pentagon Papers, namun, di saat yang bersamaan, proses penulisan berita yang dilalui oleh The Washington Post memiliki jangkauan pengisahan yang lebih luas – dan nantinya menghasilkan pengaruh yang lebih besar pada deretan media massa lain di Amerika Serikat pada saat itu.
Alur pengisahan The Post memiliki fokus pada dua konflik utama: Usaha pembuktian diri sang pemilik usaha penerbitan The Washington Post di kala tersebut, Katharine Graham (Meryl Streep), bahwa sebagai wanita dirinya dapat memegang tampuk kepemimpinan yang biasanya ditangani oleh kaum pria serta usaha sang pemimpin redaksi, Ben Bradlee (Tom Hanks), untuk mendorong pasukan jurnalisnya untuk mendapatkan barisan berita yang mampu membuat The Washington Post menjadi sebuah harian yang lebih disegani lagi. Kesempatan Ben Bradlee untuk mewujudkan ambisinya tersebut datang ketika salah satu jurnalisnya, Ben Bagdikian (Bob Odenkirk), mendapatkan salinan lengkap Pentagon Papers yang sebelumnya telah diungkap oleh The New York Times. Seperti halnya yang dialami The New York Times, kekhawatiran mulai mendera Ben Bradlee ketika pemerintahan Amerika Serikat di bawah pimpinan Presiden Richard Nixon mengancam akan mengambil tindakan hukum bila media massa meneruskan kegiatan mereka dalam menerbitkan dokumen-dokumen rahasia milik negara tersebut. Namun, dengan dukungan barisan jurnalisnya yang tangguh, serta persetujuan dari Katharine Graham, Ben Bradlee akhirnya menjadikan bahasan mengenai Pentagon Papers berita utama bagi The Washington Post.
Tema penceritaan yang dibawakan The Post jelas memiliki kedekatan dengan kondisi sosial dan politik yang saat ini sedang berkecamuk di Amerika Serikat. Usaha pemerintahan Presiden Richard Nixon untuk menutup akses informasi ke media massa – dan bahkan membawa media massa yang menentang keputusannya ke ranah hukum – tentu terasa familiar dengan sikap tidak bersahabat yang ditunjukkan Presiden Amerika Serikat saat ini, Donald J. Trump, kepada barisan media yang tidak memiliki agenda yang sama dengan dirinya. It’s a noble cause, of course. Spielberg seperti berusaha untuk mengingatkan kembali para penontonnya bahwa akses informasi harusnya dapat dijangkau agar semua pihak mampu melihat dan mendapatkan esensi kebenaran yang sesungguhnya. Di saat yang bersamaan, The Post sama sekali tidak pernah terasa memiliki materi pengisahan yang kuat dan utuh untuk benar-benar mengikat perhatian para penontonnya. Tentu, The Post berkisah mengenai Pentagon Papers yang bersejarah tersebut. Namun, tidak seperti Spotlight yang berkisah mengenai usaha para jurnalisnya untuk menggali setiap sisi dari topik berita yang ingin mereka angkat, masalah utama The Post terasa begitu sederhana: Apakah mereka akan menerbitkan sebuah berita bernuansa kontroversial di harian mereka atau tidak?
Bukan berarti bahwa The Post adalah sebuah presentasi pengisahan yang buruk. Spielberg mampu mengemas filmnya dengan baik: mulai dari pengaturan ritme penceritaan – yang bahkan mampu terasa menegangkan di beberapa bagian, tata sinematografi yang apik, hingga kualitas produksi lainnya yang mendukung penuh kualitas pengisahan film. Bagus dan sama sekali tidak pernah terasa bernuansa monoton namun sama sekali tidak pernah terasa sebagai sebuah film mengenai dunia jurnalisme – maupun film arahan Spielberg – yang istimewa. The Post justru terasa lebih kuat ketika berkisah mengenai perjuangan pembuktian diri dari karakter Katharine Graham. Memerankan sosok wanita yang merupakan pemilik usaha penerbitan pertama di Amerika Serikat, Streep menghadirkan penampilan akting berkelasnya untuk menunjukkan transformasi seorang Katharine Graham dari sosok yang meragukan kemampuan dirinya hingga akhirnya mampu berbicara dan bertindak tegas sebagai seorang pimpinan (bagi puluhan pria tangguh yang menjadi bawahannya). Kedua plot utama film tersebut juga mampu digulirkan Spielberg secara seksama sehingga terasa sebagai sebuah pengisahan yang mampu berpadu secara utuh.
Tidak hanya Streep, Hanks juga menunjukkan penampilan akting terbaiknya untuk film ini. Sebagai sosok pimpinan di ruang redaksi, Hanks memiliki kharisma yang sangat meyakinkan sehingga kehadirannya selalu tampil kuat dalam setiap adegan. Chemistry yang ia jalin bersama Streep juga terasa hangat sehingga penampilan keduanya sebagai rekan kerja yang saling mendukung satu sama lain hadir secara solid. The Post juga didukung oleh barisan pengisi departemen akting lain yang hadir dengan penampilan yang memuaskan: mulai dari Carrie Coon, Sarah Paulson, Bruce Greenwood, Jesse Plemons, Matthew Rhys hingga Michael Stuhlbarg. Sayangnya, tidak ada satupun karakter pendukung dalam film ini diberikan porsi pengisahan yang benar-benar… well… esensial. Odenkirk yang memerankan karakter Ben Bagdikian mungkin tampil dengan porsi pengisahan karakter pendukung yang lebih besar. Odenkirk mampu menjalankan tugasnya dengan baik namun, tetap saja, karakternya tidak pernah terasa benar-benar dimanfaatkan dengan baik.
Rating :