Dengan filmografi yang diisi oleh film-film seperti Safe (1995), Velvet Goldmine (1998), Far from Heaven (2002), I’m Not There (2007), dan Carol (2015) – yang seringkali mendapatkan pujian luas dari para kritikus film sekaligus dicintai oleh para penikmatnya, jelas cukup sulit untuk tidak merasakan antusiasme yang tinggi pada film terbaru arahan Todd Haynes. Namun, berbeda dengan film-film yang telah disebutkan tadi, Wonderstruck menyajikan sebuah warna penceritaan yang cukup berbeda bagi kemampuan pengarahan Haynes. Menjauh dari new queer cinema yang biasa menjadi identitas bagi film-filmnya, Wonderstruck tampil sebagai sebuah film drama misteri keluarga dengan karakter anak-anak memegang penuh kontrol penceritaan. Menyegarkan, meskipun kali ini Haynes harus terhambat oleh kualitas penulisan naskah cerita yang terasa hadir dengan pengembangan yang kurang matang.
Diadaptasi dari buku berjudul sama karya Brian Selznik – yang bukunya terdahulu, The Invention of Hugo Cabret, kemudian diadaptasi menjadi film layar lebar berjudul Hugo (2011) oleh Martin Scorsese, Wonderstruck menghadirkan dua cerita dari linimasa berbeda namun dikisahkan secara bersamaan. Cerita pertama berlatar pada tahun 1927 dan menceritakan mengenai seorang anak perempuan bernama Rose (Millicent Simmonds) yang lari dari rumah dan ayahnya yang sering berlaku kasar untuk kemudian berusaha menemui aktris Hollywood, Lillian Mayhew (Julianne Moore), yang sejak lama telah menjadi idolanya. Kisah kedua, yang digambarkan terjadi pada tahun 1977, bercerita mengenai seorang anak laki-laki, Ben (Oakes Fegley), yang setelah sepeninggal ibunya, Elaine Wilson (Michelle Williams), memutuskan untuk pergi dan berusaha mencari tahu mengenai keberadaan sang ayah.
Dengan dua pengisahan yang ditampilkan dengan dua latar belakang waktu pengisahan yang berbeda, Wonderstruck sebenarnya memiliki potensi yang cukup kuat untuk menjadi sebuah presentasi drama yang apik. Kedua kisah yang disajikan berhasil dieksekusi dengan baik. Haynes menyajikan cerita yang berlatar di tahun 1927 sebagai sebuah film bisu dengan tampilan warna hitam putih sementara pengisahan yang berlatar di tahun 1977 disajikan dengan tampilan multi warna yang lebih modern. Haynes bahkan mampu menyediakan momen-momen emosional dalam beberapa bagian cerita Wonderstruck yang jelas akan mampu menyentuh penontonnya. Pemilihan untuk menghadirkan sejumlah adegan pada paruh ketiga film dalam tampilan stop motion juga sukses menjadi salah satu elemen terbaik dalam pengisahan Wonderstruck.
Di saat yang bersamaan, pemilihan Haynes untuk menghadirkan dua cerita dalam filmnya secara beriringan justru kemudian mendistraksi potensi kedua cerita tersebut untuk mampu bercerita secara utuh. Pengungkapan benang merah cerita yang terlalu lama membuyarkan konsentrasi pengisahan untuk dapat tampil saling melengkapi. Naskah cerita yang juga digarap oleh Selznik juga terasa kurang mampu menggali lebih banyak elemen dalam penceritaannya – khususnya elemen-elemen penceritaan yang terdapat pada pengisahan yang berlatarbelakang waktu di tahun 1927. Tidak terlalu mengurangi nilai kesyahduan penceritaan secara keseluruhan namun jelas memberikan kesan bahwa Wonderstruck seharusnya mampu tergarap dengan lebih tajam lagi.
Dukungan penampilan dari jajaran pengisi departemen akting yang solid jelas memberikan dukungan kuat bagi kualitas pengisahan film ini. Dua aktor ciliknya, Simmonds dan Fegley, hadir dengan penampilan akting yang begitu mengikat. Simmonds, khususnya, memberikan sentuhan emosional yang maksimal bahkan dengan tanpa kehadiran dialog dalam adegan-adegan yang menampilkan dirinya. Penampilan Moore dan Williams jelas menjadi daya tarik sendiri. Keduanya, seperti biasa, hadir dengan penampilan akting yang dapat diandalkan walaupun kedua karakter yang mereka perankan disajikan dengan porsi pengisahan yang minimalis. Wonderstruck, secara keseluruhan, mungkin kurang berhasil untuk mencapai keberhasilan – khususnya secara emosional – yang diraih oleh kualitas penceritaan film-film Haynes sebelumnya. Meskipun begitu, Wonderstruck jelas bukanlah sebuah garapan yang buruk berkat komitmen Haynes untuk tetap menghadirkan sentuhan terbaik dalam pengarahannya.
Rating :