Mendasarkan naskah ceritanya pada sekelumit kisah nyata kehidupan Phineas Taylor Barnum – seorang penghibur sekaligus pemilik wahana sirkus asal Amerika Serikat yang lebih dikenal dengan nama panggilan P.T. Barnum, The Greatest Showman menampilkan sang karakter utama (Hugh Jackman) ketika berusaha membangun sebuah bisnis hiburan dengan mengumpulkan sekumpulan manusia yang dinilai memiliki karakteristik maupun talenta yang unik (baca: aneh). Usaha tersebut awalnya mendapatkan cibiran dari banyak orang. Namun, dengan kerja keras dan dukungan penuh dari sang istri, Charity Barnum (Michelle Williams), P.T. Barnum mampu membuktikan bahwa usaha hiburannya – yang kemudian disebut sebagai Barnum’s Circus – secara perlahan mampu mendapatkan antusiasme yang tinggi dari penonton.
Dengan pengalamannya yang masih terbatas sebagai seorang digital artist dan penata visual efek, harus diakui, sebagai sebuah debut pengarahan, Michael Gracey mampu mengemas The Greatest Showman menjadi sebuah presentasi musikal yang begitu menghibur. Kehandalan Gracey dalam mengarahkan kualitas tata produksi film ini – mulai dari tata artistik, rias dan rambut, hingga kostum – memberikan dukungan penuh bagi film ini untuk memberikan atmosfer dunia sirkus pada abad ke-19 yang terasa kuat dan nyata. Keputusan Gracey untuk menyajikan The Greatest Showman dalam ritme pengisahan yang berjalan cepat juga memberikan pengaruh positif. Warna penceritaan yang secara umum terasa ringan dan menyenangkan mampu tersampaikan dengan baik kepada penonton.
Namun, sebagai sebuah film yang mengadaptasi kisahnya dari jalan hidup seorang tokoh nyata dengan alur dan konflik kehidupan yang sebenarnya cukup beragam, The Greatest Showman, sayangnya, tampil terlalu dangkal dalam berkisah. Naskah cerita yang ditangani oleh Jenny Bicks dan Bill Condon – keduanya telah berpengalaman dalam menangani film-film musikal seperti Rio 2 (Carlos Saldanha, 2014) dan Beauty and the Beast (Condon, 2017) – kurang mampu menyelami kisah dari setiap karakter yang hadir dalam jalan cerita film ini. Bahkan P.T. Barnum yang menjadi karakter utama dari The Greatest Showman disajikan dengan karakterisasi yang terlalu monoton. Minimalisnya pengembangan karakter maupun plot cerita dalam film ini menjadikan tampilan cerita The Greatest Showman terasa bagaikan potongan-potongan kisah yang lantas direkatkan namun gagal untuk berkonjugasi dengan sempurna.
Beruntung, sebagai sebuah musikal, presentasi cerita The Greatest Showman diperkuat oleh lagu-lagu milik Benj Pasek dan Justin Paul. Lewat lagu-lagu catchy karangan duo yang juga menuliskan deretan lagu yang hadir dalam La La Land (Damien Chazelle, 2016) tersebut, The Greatest Showman tampil begitu menghipnotis (rasakan saja bagaimana The Greatest Show bekerja) dan emosional (khususnya Never Enough) sehingga cukup kuat untuk membuat penonton melupakan kelemahan kualitas penulisan naskah cerita film ini. Tata sinematografi garapan Seamus McGarvey juga tampil begitu memikat. Kolaborasi kenikmatan untuk indra penglihatan dan pendengaran yang membuat The Greatest Showman tampil sangat megah.
Kekuatan lain dari The Greatest Showman jelas muncul dari penampilan akting dari para pengisi departemen aktingnya. Berperan sebagai sang karakter utama, Jackman hadir sempurna sebagai pemimpin barisan pemeran film. Kharisma – dan kualitas vokal – milik Jackman yang kuat mampu menjadikan karakternya menjadi begitu mudah untuk disukai. Chemistry yang ia jalin dengan para pemeran lainnya – yang juga bermain apik, mulai dari Williams yang berperan sebagai istrinya, Zac Efron, dan Rebecca Ferguson, juga hadir kuat dan sangat meyakinkan. Kualitas yang mendukung The Greatest Showman menjadi sebuah pertunjukan yang tidak akan mudah untuk dilupakan.
Rating :