Review

Info
Studio : Miles Productions & Link Entertainment
Genre : Musikal, Family
Director : Riri Riza
Producer : Toto Arto & Mira Lesmana
Starring : Lea Simanjuntak, Dira Sugandi, Eka Deli, Christoffer Nelwan, Hilmi Faturrahman, Chandra Satria, Gabr

Rabu, 05 Januari 2011 - 00:26:19 WIB
Flick Review : Musikal Laskar Pelangi
Review oleh : Galih Wismoyo - Dibaca: 3675 kali


Ketika saya menginjakkan kaki di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki sore itu, tak terbayangkan bahwa saya akan menyaksikan sebuah pertunjukan musikal yang tidak hanya pantas, namun juga luar biasa. Saya mengetahui bahwa Musikal Laskar Pelangi adalah proyek besar yang dikerjakan oleh nama-nama yang juga besar, sebuah karya ambisius yang melibatkan insan-insan berbakat dalam negeri. Walau demikian, ekspektasi saya tidak terlalu tinggi. Mungkin karena terlalu ramainya euforia yang terjadi, atau karena ekspektasi saya yang memang tidak pernah menjulang, saya tak tahu pasti. Yang jelas,  seusai menonton, saya keluar dari Teater Jakarta dengan sebuah kepuasan tak terhingga yang tidak saya bayangkan sebelumnya. Sebuah kebahagiaan dan senyuman yang tertera di wajah, dan bait-bait lagu yang terngiang-ngiang di kepala.

 Musikal Laskar Pelangi bertutur tentang kisah yang selalu terjadi berulang-ulang kali dalam negeri kita. Sebuah masalah yang tidak pernah usai untuk dipecahkan dan selalu menghantui. Alkisah di sebuah pulau kaya bernama Bangka Belitung, di kampung Gantong, di mana jalan-jalannya dialiri oleh timah dan dengan demikian kekayaan merupakan sesuatu yang mereka injak setiap hari, kemiskinan dan kebodohan merupakan hal biasa yang ditemukan setiap pagi. Kekayaan alam yang dimiliki oleh kampung Gantong tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan penduduk asli.

Di tengah-tengah pupusnya harapan, ada seorang guru muda bernama Muslimah (Lea Simanjuntak, Dira Sugandi, Eka Deli) yang tetap memiliki optimisme akan hadirnya masa depan cerah bagi generasi muda kampung Gantong. Ia bersemangat, selalu tersenyum, dan dalam musikal ini mengekspresikan pemikirannya melalui nada-nada ceria dan gembira, sambil senantiasa berusaha meyakinkan masyarakat Gantong untuk tidak melepaskan harapan pada satu-satunya jalan: ‘Hari ini bawa anakmu ke sekolah, dan nasibnya akan berubah.’ Namun tampaknya Muslimah sendirian di dalam usahanya mencerdaskan kaum papa di Gantong. Walaupun ia didukung oleh Pak Harfan (Chandra Satria, Iyoq Kusdini), sang kepala sekolah Muhammadiyah alias sekolah miring (disebut sekolah miring karena bahkan untuk bisa berdiri tegak, sekolah tersebut harus ditopang dengan dua bilah batang pohon) tempat ia mengajar, dan Bakri (Gabriel B. Harvianto, Haikal) seorang guru muda yang dengan setengah hati tetap bertahan, namun beban Muslimah  sebagai guru muda di Gantong terlampau berat. Muhammadiyah hanya bisa mendapatkan izin operasional jika ia berhasil mengumpulkan murid setidaknya sepuluh anak. Kurang dari itu, ia harus ditutup walau hanya sementara. Cerita pun bergulir dengan terkumpulnya sepuluh anak-anak luar biasa yang memiliki semangat tinggi untuk belajar di dalam kondisi yang terkesan amat membatasi mereka: ruang kelas yang seperti gubuk, dinding yang mulai reyot dan miring, serta tenaga pengajar yang hanya terdiri dari tiga orang. Satu yang mungkin menjadi kelebihan mereka yang tak dimiliki oleh murid-murid sekolah lain: alam luas tanpa batas.

Lantas apa konflik utama yang disajikan oleh Musikal Laskar Pelangi? Hampir sama seperti versi filmnya, Musikal Laskar Pelangi memiliki sedikit kesulitan dalam menggiring konflik ke dalam tubuh cerita secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan cerita yang pada dasarnya tidak memiliki ‘konflik-konflik’ bumbu untuk mempertajam rasa. Konflik utama pada Laskar Pelangi dan Musikal Laskar Pelangi sudah menyatu di dalam ide dan premise yang tersaji di sinopsis, namun akan sulit untuk memecah konflik tersebut ke dalam adegan demi adegan film maupun musikal. Adapun demikian, hal tersebut sama sekali tidak mengurangi esensi cerita ataupun kenikmatan saya menyaksikan pertunjukan. Musikal Laskar Pelangi tetap berdiri megah sebagai lukisan panggung yang menakjubkan. Ia adalah perpaduan sempurna sebuah kerja keras, selera tinggi yang tidak berusaha pretensius, kerja tim yang solid, dan penampilan prima yang sungguh bersih. Anda akan takjub mendengarkan dendang musik Melayu yang digubah dan dipandu oleh maestro musik kita, Erwin Gutawa. Musik yang didendangkan dalam pertunjukan ini melebur dengan cerita, sehingga ia tidak berdiri sendiri. Ia larut dan laras dalam ekspresi serta tarikan suara. Simaklah cengkok mendayu Muslimah dan Bakri ketika mereka beradu dalam lagu Sekolah Miring, dan kebanggaan akan menyeruak dalam hati. Bahwa ini adalah karya anak bangsa, musik dan pertunjukan asli Indonesia. Demikian pula dengan koreografi yang dipandu oleh Hartati, menghasilkan semangat tarian Melayu yang menyusup di panggung dengan halus namun bertenaga dan rancak.

Tidak berhenti hanya di sana, Musikal Laskar Pelangi mempersembahkan karya termutakhir dari Jay Subyakto sebagai production designer. Dalam pertunjukan ini, tata panggung-nya layak ditahbiskan sebagai salah satu fitur terbaik yang berhasil dihadirkan dalam sejarah pementasan musikal dan teater yang pernah digelar di Indonesia. Hadir dalam kemegahannya yang tidak ‘menelan’ cerita, ia berdiri persis sebagai fungsi utamanya, yaitu untuk mendukung dan memberi latar. Ia juga memberikan presentasi sesuai porsinya, terlihat maksimal dan megah tanpa ‘menonjok’ penonton dengan visualisasi yang efek berlebih.

Namun semua itu mungkin takkan terwujud tanpa performa dari pemain yang kali ini bisa dikatakan pentas dengan sempurna. Sungguh sempurna sampai pirsawan akan lupa bahwa mereka menyaksikan sebuah pertunjukan musikal live, di mana para pemainnya bernyanyi, menari dan berakting langsung di panggung, dengan iringan musik yang lebur jadi satu, dan tata panggung yang memberikan latar yang kaya. Beberapa adegan bahkan menguras air mata, mengingatkan kita akan sebuah harapan yang mungkin walaupun pernah pupus dan pudar, namun bisa tumbuh kembali selama kita meyakini dan berusaha.

Ketika tirai panggung turun menutup para pemain yang melambaikan tangan berdendang salam perpisahan, pirsawan akan tersenyum bahagia. Tertawa sambil terharu, menyaksikan sebuah mahakarya dari anak Indonesia, Riri Riza, yang sekali lagi mengukuhkan namanya sebagai salah satu sosok sutradara terbaik yang dimiliki oleh negeri ini. Terima kasih dan selamat, Musikal Laskar Pelangi!

 

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.