Review

Info
Studio : A24
Genre : Drama, Thriller, Horror
Director : Yorgos Lanthimos
Producer : Ed Guiney, Yorgos Lanthimos
Starring : Colin Farrell, Nicole Kidman, Barry Keoghan, Raffey Cassidy, Sunny Suljic, Alicia Silverstone

Rabu, 03 Januari 2018 - 19:51:11 WIB
Flick Review : The Killing of a Sacred Deer
Review oleh : Haris Fadli Pasaribu (@oldeuboi) - Dibaca: 3230 kali


Film-film Yorgos Lanthimos dikenali karena drama sajiannya kerap mengandung unsur horor juga komedi (gelap) pekat. Demikian halnya dengan The Killing of a Sacred Deer, yang menandakan kali kedua kerja samanya bersama aktor Collin Farrell selepas The Lobster (2015), dan film berbahasa Inggris kedua sutradara asal Yunani ini. Dengan The Killing of a Sacred Deer, Lanthimos menegaskan dirinya sebagai auteur dengan sense of story telling khas yang pastinya sangat layak disaksikan.

Sebagaimana karya-karya Lanthimos sebelumnya, seperti film breakout-nya, Dogtooth (2009) dan tentunya The LobsterThe Killing of a Sacred Deer menghadirkan sebuah dongeng modern. Satir absurd, penuh semiotika dan menantang ambiguitas moralitas tanpa terjebak kewajiban batasan hitam atau putih.

Farrell berperan sebagai seorang dokter bedah kardiologi bernama Steven Murphy. Di waktu luang, ia kerap bertemu dengan seorang remaja bernama Martin (Barry Keoghan, Dunkirk). Awalnya film memberi indikasi ada “affair” antara Steven dan Martin, sampai sang dokter mengajak sang remaja bertamu ke rumahnya, bertemu dengan sang istri, Anna (Nicole Kidman), serta dua anak mereka, Kim (Raffey Cassidy, Allied) dan Bob (Sunny Suljic, The House with a Clock in its Walls).

Ternyata Steven yang merupakan mantan alkoholik ini memiliki rasa bersalah kepada Martin, karena ayah sang remaja meninggal di meja operasinya. Namun hubungan di antara menjadi renggang saat prilaku Martin menjadi begitu obsesif. Selain mencoba “menjodohkan” Steven dengan ibunya (Alicia Silverstone dalam penampilan singkat berkesan), Martin bahkan mendekati Kim.

Akhirnya Steven mulai menghindari Martin. Sang remaja kemudian mengingatkan akan kutukan yang harus dilalui Steven. Setiap anggota keluarganya akan mengalami kelumpuhan dan pada akhirnya menemui kematian. Steven hanya perlu melakukan satu hal, mengorbankan satu dari mereka guna menyelematkan lainnya. Rasa skeptis Steven memudar dan menjadi rasa gusar, saat anak-anaknya juga mulai menunjukkan indikasi seperti kutukan yang disebutkan Martin.

Kita selalu bisa merasakan pengaruh Michael Haneke melalui film-film Lanthimos. Tak terkecuali The Killing of a Sacred Deer, di mana pengaruh tersebut terasa lebih tebal dibandingkan sebelumnya. Sebuah telaah psikologis menggelisahkan akan kehidupan keluarga kulit putih menengah atas dan biasanya berujung pada sebuah tragedi.

Menjadi pembeda adalah pendekatan Lanthimos cenderung bergerak di ranah fantasi dengan analogi mengacu pada mitologi Yunani ketimbang realisme seperti Haneke. The Killing of a Sacred Deer mengajukan dilema layaknya cerita-cerita mitologi tersebut. Judul film sendiri mengambil referensi dari kisah Agamémnon yang membunuh salah satu rusa milik Artemis. Sebagai hukuman, sang raja dari Yunani diperintahkan mengorbankan salah satu putrinya.

Di tangan Lanthimos, alih-alih bombastis, tuturan kisah dihadirkan secara monoton, berjarak, juga dingin. Mungkin pendekatan seperti ini membuat susah bagi penonton awam terkait secara emosional dengan karakter-karakternya. Apalagi nyaris setiap karakter menyampaikan dialog secara kaku serta sisipan emosi tertahan. Hanya Kidman dan Silversone diizinkan menghadirkan sepercik nuansa jiwa untuk karakter mereka, sementara lainnya relatif monoton, berjarak, juga dingin.

Disebabkan atensi Lanthimos jatuh bada gestur tubuh dan mimik wajah, maka bahasa verbal bukan andalan film dalam mengeksplorasi sisi emosional. Oleh karenanya, setiap perkataan nyaris seperti bermakna ganda, karena kadang gestur dan mimik berlainan dengan ucapan. Detil pada gestur dan mimik tersebut membuat kita terikat dengan penggambaran setiap adegan.

Sementara itu, barisan aktornya memberikan sajian akting mengesankan. Tentu tidak usah diragukan lagi kekuatan bintang seperti Farrell dan Kidman. Keoghan bisa dikatakan beruntung, mengingat di usia karir seumur jagungnya bisa berhadapan dengan jajaran aktor kaliber tadi. Tidak heran ia membayar keberuntungan dengan menghadirkan penampilan layak ketika mengimbangi para seniornya.

Secara estetika teknis, Lanthimos memadukan pergerakan kamera ala film horor murahan era 80-an (POV tinggi misalnya) dengan latar musik megah meminjam koleksi Schubert, Bach atau Ligeti. Perpaduannya mempertegas kungkungan surealisme sajian The Killing of a Sacred Dear. Walau berlatar lanskap kontemporer yang lekat dengan keseharian, menyaksikan filmnya seperti memasuki sebuah dongeng sebelum tidur menggelisahkan. Meski tetap sulit ditolak mengingat alam bawah sadar kita telah begitu terbetot olehnya.

Ambiguitas The Killing of a Sacred Deer menyebabkan karakter-karakternya tidak tersegmentasi dalam arketipe protagonis-antagonis tertebak. Setiap karakter memiliki sisi bertolak-belakang. Penonton bisa saja berpihak pada Steven di satu kesempatan dan berbalik membencinya di kesempatan lain. Begitu juga dengan Martin. Pun Anna, Kim dan Bob. Di balik eksterior “robotik” mereka tetap tersimpan sisi humanis, sehingga relasi dengan penonton bisa terjembatani, terlepas betapa absurd adegan yang mewakili.

Pendekatan “steril” Lanthimos ini bukan tanpa resiko. Adegan klimaks seharusnya bisa memberi impresi emosional yang menggedor perasaan. Tapi karena dieksekusi dengan sangat memerhatikan teknis sehingga terasa tawar. Kendati demikian, The Killing of a Sacred Deer jauh lebih berhasil menggali sisi emosional ini ketimbang The Lobster dan mengingatkan sajian Lanthimos untuk Dogtooth yang secara bernas menusuk perasaan melalui “tragedinya”.

Tetap saja The Killing of a Sacred Deer adalah sebuah film menawan. Sebuah film horor-fantasi. Sebuah komedi dead-pan. Sebuan drama psikologis. Sebuah thriller balas dendam. Apapun itu, Lanthimos sukses membuat kita terhenyak dan mempertanyakan konsep moralitas serta keadilan, sementara secara bersamaan bermain-main secara genial atas dinamika pelaku-korban yang biasanya hadir secara klise. Jika kemudian kita harus menginvestasikan perhatian secara penuh agar bisa mencernanya, maka itu adalah sebuah “pengorbanan” yang diperlukan.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.