Penggemar cerita-cerita detektif pasti mengenal karakter ikonik kreasi Agatha Christie, Hercule Poirot. Hadir di sekitar 33 buku, sang pria ekstentrik asal Belgia ini mungkin merupakan salah satu detektif fiksional paling beken di sepanjang sejarah modern. Dan Murder on the Orient Express (1934) mungkin adalah kisah Poirot paling legendaris sekaligus tercatat sebagai salah satu karya terbaik Christie.
Sejauh ini novel telah diadaptasi sebanyak tiga kali, sebuah film bertabur bintang karya Sidney Lumet di tahun 1974, sebuah film televisi di tahun 2001 dan salah satu episode serial Agatha Christie's Poirot di tahun 2010 (dengan Jessica Chastain menjadi salah satu pemainnya).
Kini sutradara dan aktor Inggris kenamaan, Kenneth Branagh, kembali mengangkat Poirot dan Murder on the Orient Express ke layar lebar. Mengingat materinya bisa dikatakan sudah cukup familiar oleh sebagian besar penonton, lantas apa yang baru?
Sejujurnya nyaris tidak ada. Meski ada sedikit perubahan detil di sana-sini, secara umum Murder on the Orient Express masih mengangkat kisah sama: Poirot (diperankan langsung oleh Branagh) menumpang sebuah trayek kereta api mewah lintas Eropa mewah bernama Orient Express. Ia tidak sendiri, karena ditemani sejumlah penumpang lain, seperti Samuel Ratchett (Johnny Depp) bersama pelayannya, Edward Henry Masterman (Derek Jacobi) dan asistennya Hector MacQueen (Josh Gad), Caroline Hubbard (Michelle Pfeiffer), Mary Debenham (Daisy Ridley), Pilar Estravados (Penélope Cruz), Dr. Arbuthnot (Leslie Odom Jr.), Gerhard Hardman (Willem Dafoe), Biniamino Marquez (Manuel Garcia-Rulfo), pasutri bangsawan Adrenyi (Sergei Polunin dan Lucy Boynton), putri sepuh asal Rusia, Dragomiroff (Judi Dench) dan pelayannya Hildegarde Schmidt (Olivia Colman), serta kondektur Pierre Michel (Marwan Kenzari) dan direktur kereta sekaligus teman Poirot, Buoc (Tom Bateman).
Di tengah perjalanan, tepat di gelapnya dini hari dan sesaat sebelum longsor menghalangi laju kereta, terjadi sebuah pembunuhan. Tentunya Poirot harus memanfaatkan sel-sel kelabu di otaknya untuk menemukan pelaku dan memberi keadilan bagi sang korban. Tapi siapa dan mengapa? Itulah penggerak Murder on the Orient Express.
Direkam dengan kamera seluloid 65mm, Murder on the Orient Express memang terlihat megah dan mewah. Dari segi visual, menyaksikannya dalam layar selebar mungkin adalah sebuah syarat agar bisa lebih terlibat secara lebih lekat kepada film. Ditambah lagi dengan penanganan kamera sinematografer langganan Branagh, Haris Zambarloukos (Thor, Cinderella), cukup lincah dalam membungkus gambar-gambar cantik dengan sudut pandang menarik. Tentunya tata artistik berkelas juga mempertebal kesan mewah dalam filmnya.
Murder on the Orient Express versi Lumet dikenal sebagai sebuah studi karakter subtil sekaligus dipaparkan sebagai sebuah chamber drama bernas. Setiap karakter, yang jumlahnya tidak sedikit, diberi porsi dengan takaran pas untuk bisa mendapatkan atensi dan bersinar, sehingga lika-liku penyelidikan Poirot (diperankan dengan tak kalah ikonik oleh Albert Finney) tidak hanya terasa mendebarkan, juga sangat mengikat. Nyaris tidak ada ruang kosong untuk mengalihkan atensi penonton dalam plot, walau sebenarnya lebih bersandar pada dialog verbal ketimbang aksi. Dukungan aktor-aktris kaliber tentunya memberi nilai lebih.
Versi Branagh juga tak kalah dalam menabur bintang yang tentunya memberikan penampilan menawan, dengan Depp dan Pfeiffer tercatat paling menonjol. Hanya saja naskah tulisan Michael Green (Logan, Blade Runner 2049) terlalu mengedepankan gaya ketimbang substansi. Oleh karenanya, meski secara atmosfer film terasa lebih ringan, dengan asupan komedi dan beberapa adegan aksi, namun secara nuansa sayangnya terasa tidak terlalu kaya.
Belum lagi film tidak begitu mampu memberi ruang sebangun untuk setiap karakternya, sehingga beberapa di antara mereka terasa seperti tempelan alih-alih secara organis mendukung belitan cerita seperti materi aslinya ataupun film versi Lumet. Hal ini sangat terasa pada karakter peranan Cruz, Dafoe, Polunin dan Boynton, padahal karakter mereka seharusnya memberi kontribusi penting dalam alur narasinya.
Mirip kumis Poirot versi Branagh yang terasa sangat ingin mencuri perhatian, pengutamaan pada gaya tidak mengizinkan beberapa karakter sampingan turut bersinar atau memberi kedalaman pada plot. Tidak heran saat momentum yang menjadi klimaks hadir, ia tidak memberi kesan terlalu menggugah atau menggedor emosi, karena tidak memiliki pondasi lebih utuh atau kuat.
Branagh sendiri patut dipuji untuk menghadirkan sosok Poirot agak berbeda dari yang sudah-sudah. Suguhan sisi komedi cukup menggelitik, meski tidak terasa mengganggu, karena Branagh tetap konsisten dalam menegaskan kecemerlangan Poirot sebagai seorang penyelidik.
Kabarnya awalnya "reboot" kisah Poirot ini diniatkan untuk mengikuti jejak Sherlock Holmes karya Guy Ritchie yang cenderung lebih pop dan bersandar pada aksi. Namun Branagh memberi keyakinan untuk tetap setia pada materi aslinya, walau tetap memberi kompromi pada cita rasa pop tadi.
Jadi, tidak heran Murder on the Orient Express versi mutakhir ini memang renyah untuk disimak. Meksi tidak begitu gemilang, setidaknya ia tetap menarik untuk diikuti, baik bagi yang sudah pernah membaca bukunya ataupun sama sekali buta tentang Hercule Poirot atau Agatha Christie.
Mengingat film sukses di pasaran, tampaknya pendekatan pop Branagh sukses dalam mempenetrasi penonton kekekinian, sebagaimana dulu ia sukes memperkenalkan karya William Shakespeare, Henry V, ke penonton muda atau menghadirkan kembali Cinderella dalam bentuk live action untuk Disney.
Jadi, apakah dalam waktu dekat nanti kita bisa kembali lagi menyimak aksi Hercule Poirot di layar lebar? Rasa-rasanya "ya" adalah jawabannya.
Rating :