oleh
Daniel Irawan (@DanielDokter)
Ada banyak film yang menyodorkan nilai-nilai soal pendidikan. Banyak pula di antaranya, yang dikemas dalam tema kompetisi sekolah. Ada di kotak itu, Adiwiraku (english title: My Superheroes), pemenang film terbaik Festival Filem Malaysia ke-29 tahun ini, mungkin jadi satu yang sangat jarang bahkan mungkin belum pernah diangkat dalam hal ragam kompetisi yang dipilihnya.
Kompetisi Choral Speaking, resital puisi bebas berkelompok yang masih jarang-jarang terdengar di luar beberapa negara yang akrab dengan kegiatannya, paling tidak memang menyiratkan suatu aspek yang menyegarkan dalam tema yang diangkat dari kisah nyata seorang guru bernama Cheryl Ann Fernando (di sini diperankan aktris Malaysia berdarah Tamil Sangeeta Krihsnasamy) beserta 35 murid-muridnya di sekolah menengah (setara SMP di sini) pinggiran SMK Pinang Tunggal, Sungai Petani, Kedah ini. Sebagaimana layaknya banyak film bertema serupa, ragam kompetisi itu memang menjadi seolah vehicle terhadap isu pendidikan lain yang lebih besar di baliknya. Problematika keluarga masing-masing siswa sebagai karakternya, berikut perjuangan Cheryl untuk mengusahakan edukasi terbaik buat mereka menjadi inti yang dibicarakan dalam Adiwiraku. Bisa jadi sama atau malah berbeda dengan di sini, secara relatif isu patriotisme bangsa yang diangkat lewat kisah-kisah nyata di negara mereka memang sering lebih disambut seperti Ola Bola yang mengangkat tim sepakbola mereka di tahun 2016.
Bertugas sebagai guru di bawah program beasiswa Teach For Malaysia, Cheryl Ann Fernando (Sangeeta Krishnasamy) yang ditempatkan di kampung pinggiran Kedah untuk mengajar di SMK Pinang Tunggal harus berhadapan dengan murid-murid dengan berbagai sikap dan motivasi. Ada Zidane (Ahmad Adnin Zidane Muslim) yang feminin, Kemboja (Farra Noradzlina Safwan) yang tertimpa masalah ekonomi keluarga, Alia (Wan Adlyn Maasyah) yang punya ibu dengan masalah kejiwaan, Ajwad (Mohamad Ajwad Mohd Sobri) yang pemberontak hingga Alif (Muhammad Alif Abu Bakar) yang dewasa di antaranya. Tak putus asa, bersama Cikgu (guru) Constant (Xavier Wong), Cheryl terus mengambil langkah untuk memikat hati mereka demi sebuah keberanian mengikuti kompetisi Choral Speaking antar sekolah peringkat daerah untuk melatih kemampuan berbahasa Inggris sekaligus menempa disiplin siswa-siswa ini.
Menempatkan murid-murid asli SMK Pinang Tunggal dari sumber nyatanya memerankan diri mereka masing-masing bersama Sangeeta Krishnasamy yang sudah malang-melintang di sinema Tamil Malaysia sebagai Cheryl Ann, skrip yang ditulis oleh sutradara Eric Ong sebagai debutnya, aktor/produser/sutradara Jason Chong (Ular, Belukar, Kau Takdirku) dan Cheryl Ann Fernando sendiri, memang tak bisa sepenuhnya menghindar dari struktur penceritaan film-film sejenis.
Meski memang tak bisa dipungkiri diangkat dari kisah sejati Cheryl, pakem-pakem klise from zero to hero dan problematika personal baik guru dan para siswa yang dimunculkan hampir tak menawarkan sisi baru bahkan di banyak aspek cenderung mengarah ke pola-pola poverty/suffering porn yang repetitif dan didramatisasi berlebih lewat penampilan supporting cast yang sangat teatrikal di atas scoring piano solo yang juga kerap terasa kelewat mentah. Turnover karakter para siswa ini pun seringkali tak didasari proses dan tahapan yang benar-benar jelas selama durasinya yang melebihi 2 jam.
Namun begitu, untungnya Eric, Jason dan Cheryl cukup cermat buat menyemat sejumlah elemen-elemen cerdas dalam skripnya, membuat Adiwiraku mampu tampil relevan sebagai penanda era yang berbeda dengan banyak kisah-kisah pendidikan lainnya. Ada homage ke kultur pop superhero sebagai alegori yang mereka biarkan mewarnai dialog-dialog dalam set up chemistry karakter-karakternya hingga ke lirik Choral Speaking dengan leluasa, menunjukkan dari lapisan manapun hal-hal seperti ini memang merupakan kultur pop sekarang, juga penerimaan siswa dengan kecenderungan gender berbeda secara cukup tegas yang bisa jadi merupakan terobosan bagi sasaran pangsa pemirsanya. Hal-hal kecil namun berarti ini mereka semat dengan taktis dan cukup berhasil menyelamatkan kekurangan struktur naratifnya, sekaligus menarik batas jelas terhadap pergeseran pola interaksi siswa dengan guru di era sekarang.
Keputusan menggunakan sosok asli murid-murid SMK Pinang Tunggal itu pun patut diberi kredit lebih atas keluwesan mereka berakting menjadi dirinya sendiri. Hampir tak ada cast yang terlihat demam panggung, sekaligus membuat feel penceritaannya menjadi sangat realistis tanpa perlu menempatkan aktor/aktris berparas bintang buat memoles tampilannya hingga beresiko artifisial. Sebagian karakter yang mendapat fokus lebih justru bisa mencuri layar di setiap penampilan mereka, di antaranya Zidane, Alif, Kemboja, Alia, Irdina (Nur Irdina Tasnim Ishak) dan Balqis (Balqis Sani). Namun di atas semua, memang Sangeeta yang bermain paling kuat memerankan Cheryl tanpa gestur dramatik berlebihan. Beberapa penghargaan yang sudah diraihnya lewat Adiwiraku memang menunjukkan kualitas akting dan masa depan karirnya.
Secara keseluruhan, Adiwiraku memang masih diwarnai oleh sejumlah kekurangan, namun bisa tertutupi oleh banyak faktor lain yang tergarap baik dalam produksi debut SOL Production dari Eric dan Jason sebagai punggawa terdepannnya. Selain tetap terasa sangat bersahaja dan membumi dalam setiap sisi penyampaiannya, ia tetap bisa membuat kita tersentuh dengan isu sosial dan pendidikan yang dimunculkan, buat akhirnya tak lagi bisa berkata tidak dengan perjuangan serta pengorbanan Cheryl, Constant dan murid-murid ini meraih tempatnya masing-masing. Seperti tagline-nya, “Sakit itu sementara, kegemilangan itu selamanya”; dengan tujuan mulianya, Adiwiraku paling tidak bisa menyadarkan kita bahwa dalam batasan-batasan tertentu, setiap insan yang berjuang tanpa pamrih dengan tujuan baik, adalah superheroes. (dan)
Rating :