Review

Info
Studio : Oxybot, Warner Bros. Pictures,
Genre : Action, Adventure, Fantasy
Director : Fumihiko Sori
Producer : -
Starring : Ryosuke Yamada, Atomu Mizuishi, Tsubasa Honda, Kenjirou Ishimaru

Minggu, 29 Oktober 2017 - 19:54:27 WIB
Flick Review : Fullmetal Alchemist [Tokyo Review]
Review oleh : Haris Fadli Pasaribu (@oldeuboi) - Dibaca: 1965 kali


Oleh

Daniel Irawan (@DanielDokter)

 

Ada banyak adaptasi live action manga ataupun anime di sinema Jepang, tapi mungkin tak semua yang dikenal seluas beberapa judul yang ada, menyisakan hanya fans dalam kalangan cukup terbatas di luar negaranya. Fullmetal Alchemist jelas bukan ada di kotak itu. Meski mungkin tak semuanya hafal seluk-beluk franchise sumbernya, paling tidak, judul itu sudah cukup populer di antara manga/anime bahkan oleh pemirsa non-fans genre-nya. Lagi, statusnya yang terjual lebih dari 70 juta copy di seluruh dunia, ditulis dan diilustrasi oleh seorang kreator wanita pula, Hiromu Arakawa, jelas sudah menunjukkan popularitasnya ada di kelas mana.

Menjadi film pembuka Tokyo International Film Festival (TIFF/TIFFJP) dalam treatment World Premiere yang bergengsi, versi live action dari sutradara Fumihiko Sori (Ping Pong, Ichi) berpijak cukup setia terhadap sumbernya, yang memang memiliki konsep tinggi menggelar sebuah universe ala Eurasia dalam penciptaan latar dan karakternya, plus konflik soal mitos Batu Filsuf atau Philosopher’s Stone. Meski mungkin perlu detil lebih untuk pengenalan semua aspeknya, skrip yang ditulis sendiri oleh Arakawa agaknya sudah mengemasnya dengan cukup efektif, mencuatkan satu inti terpenting dalam plot utamanya soal hubungan persaudaraan kakak beradik.

Dalam sebuah semesta alternatif awal abad ke-20, kakak beradik Ed/Edward Elric (dewasanya diperankan idola Jepang Ryosuke Yamada sebagai daya jual tertinggi versi live action ini) dan Al/Alphonse Elric (disuarakan oleh Atomu Mizuishi), alkemis yang memiliki kemampuan transmutasi materi terpaksa melanggar aturan kala mereka kehilangan ibunya. Sebagai konsekuensinya, Al kehilangan seluruh jasadnya, menyebabkan Ed yang kehilangan kaki kiri terpaksa mengorbankan lengan kanannya untuk mempertahankan jiwa Al ke dalam sebuah jubah metal.

Dengan pengganti prostetik mekanik, Ed yang tumbuh dewasa digelari pemerintah sebagai Fullmetal Alchemist pun terus mencari keberadaan batu filsuf legendaris untuk mereparasi tubuhnya sekaligus mengembalikan jasad Al bersama mekanik Winry Rockbell (Tsubasa Honda). Dari Father Cornello (Kenjirou Ishimaru), pencarian itu kemudian melebar membawa keterlibatan hingga konspirasi banyak pihak dari sahabat Ed, Kapten Hughes (Ryuta Sato), Kolonel Roy Mustang (Dean Fujioka), Profesor Shou Tucker (Yo Oizumi) hingga trio homunculi lawan mereka (dinamakan bagian dari 7 Deadly Sins dalam source aslinya); Lust (Yasuko Matsuyuki), Envy (Kanata Hongo) dan Gluttony (Shinji Uchiyama).

Selagi usaha menuangkan semesta sumber aslinya yang sedemikian rumit itu ternyata bisa muncul cukup mulus tanpa memerlukan campur tangan Hollywood yang kerap dihujat atas keputusan-keputusan whitewashing (walaupun Fullmetal Alchemist sebenarnya punya latar seolah Eurasia yang sangat kental), penuturan Fumihiko Sori sayangnya terlalu berfokus ke aksi fantasi hi-tech yang memang muncul lebih baik dari adaptasi live action Jepang oleh sinema mereka biasanya. Kalaupun ada sebagian karakter sampingan yang dianggap penggemarnya penting namun ditampilkan dalam porsi berbeda di sini, dalam sebuah adaptasi, tentu sah-sah saja.

Fullmetal Alchemist ©2017 tiff-jp 

Namun korban terbesar dari fokus berlebih ke pameran CGI dan aksi seru yang memang tampil sangat meyakinkan dalam value produksi kelas satu dari Warner Bros. Jepang ini akhirnya jatuh pada muatan emosinya, yang seharusnya menjadi inti terkuat dari plot Fullmetal Alchemist di balik hubungan dua karakter utamanya. Set up yang sudah dimulai begitu kuat untuk menyemat ranjau penuh luka yang siap meledak sewaktu-waktu dalam hubungan persaudaraan didasari motivasi cinta itu, yang juga menjadi salah satu inspirasi Disney dalam Big Hero 6 (juga pembuka Tokyo International Film Festival edisi ke-27, 2014) akhirnya terasa tak bisa mengimbangi penggarapan teknis dalam menggelar aksi-aksi serunya.

Padahal, karakter-karakter sampingan Fullmetal Alchemist-pun sebenarnya punya dasar human factor yang kuat satu dengan yang lainnya. Ini semua diperankan dengan baik oleh seluruh supporting cast-nya termasuk penampilan Jun Kunimura yang cukup singkat sebagai Dr. Marcoh walaupun porsi Tsubasa Honda sebagai sidekick pentingnya, Winry, masih kurang dimaksimalkan.

Sementara sebagai peran sentralnya, Yamada – walaupun sama sekali tak jelek, tapi cenderung lebih dimanfaatkan di kekuatan gestur dan koreografi hingga ke tampilan blonde-nya yang memang sangat berpotensi membuat pemirsa, apalagi penggemarnya makin jatuh hati bahkan histeris. Begitu besarnya memang fokus ke daya jual Yamada hingga peran sentral Al yang seharusnya bisa muncul sama kuat namun justru sering terkesan diimobilisasi ke adegan-adegan aksi, meninggalkan sesosok karakter sidekick di balik metal suit armor yang jarang sekali ikut beraksi.

Entah memang ini merupakan salah satu cara taktis untuk menghemat bujetnya yang buat ukuran blockbuster Asia sangat tak sedikit, lagi-lagi ini memang kembali lagi pada pilihan para pembuatnya. Di saat kita bisa sangat terhibur dengan adegan-adegan pertempuran yang fantastis dan dipenuhi ledakan hi-tech CGI atau paling tidak – lapis generasi cast-nya yang sangat menarik, faktor emosinya seringkali berjalan tak sepadan. Walau tetap pantas menempati posisi prestisius sebagai film pembuka Tokyo International Film Festival edisi spesial ulangtahun ke-30 ini, juga jelas sedikit lebih baik dari sejumlah adaptasi live action manga/anime rata-rata, Fullmetal Alchemist pada akhirnya masih terasa dipenuhi sejumlah hit and miss tanpa bisa benar-benar menjadi sebuah adaptasi live action yang sempurna. (dan)

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.