Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai Wakil Presiden Amerika Serikat dari tahun 1993 – 2001 – dan kemudian kalah dari George H. W. Bush pada pemilihan presiden yang diikutinya di tahun 2000, nama Albert Arnold Gore Jr., atau yang lebih akrab dengan sapaan Al Gore, tidak lantas menghilang begitu saja dari perhatian publik dunia. Melepas karirnya di dunia politik, Gore kemudian memilih untuk menjadi seorang penulis sekaligus aktivis lingkungan hidup yang berfokus pada masalah perubahan iklim dunia akibat pemanasan global – kegiatan yang lantas memenangkannya Penghargaan Nobel Perdamaian di tahun 2007.
Salah satu kampanye yang dilakukan Gore untuk lebih mengenalkan efek pemanasan global kepada masyarakat dunia adalah melalui film dokumenter yang digarapnya bersama sutradara Davis Guggenheim, An Inconvenient Truth (2006). Tidak hanya mampu menarik minat masyarakat luas sekaligus menimbulkan riak kontroversi mengenai tema pemanasan global yang dibawakan, An Inconvenient Truth berhasil meraih kesuksesan besar baik secara kritikal maupun secara komersial. Film tersebut bahkan memenangkan kategori Best Documentary Feature dan Best Original Song untuk lagu yang dinyanyikan Melissa Etheridge, I Need to Wake Up, di ajang The 79th Annual Academy Awards.
Guna mempertegas pengetahuan mengenai dampak pemanasan global sekaligus didorong keprihatinan Gore atas kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang dinilainya sama sekali tidak memihak pada perlindungan lingkungan hidup, Gore merilis sekuel untuk An Incovenient Truth, An Inconvenient Sequel: Truth to Power. Dirilis sebelas tahun semenjak perilisan film pertamanya, An Inconvenient Sequel: Truth to Power masih berisi informasi mengenai sederetan bencana alam yang terjadi di berbagai belahan dunia dan berkaitan dengan meningkatnya suhu Bumi. Film dokumenter ini juga meliput berbagai kegiatan Gore dalam usahanya melobi para pemimpin dunia untuk lebih meningkatkan kesadaran tentang pentingnya penyatuan cara pandang mereka terhadap berbagai permasalahan dan ancaman lingkungan yang dihadapi Bumi demi mendapatkan solusi terbaik yang dapat diterapkan bersama.
Walau tidak lagi diarahkan oleh Guggenheim – kursi penyutradaraan kini ditempati oleh duo sutradara Bonni Cohen dan Jon Shenk (Audrie & Daisy, 2016), presentasi yang ditampilkan An Inconvenient Sequel: Truth to Power masih dengan setia mengikuti pakem pengisahan yang telah diterapkan film pendahulunya. Gore masih tampil menarasikan presentasinya akan perubahan iklim dunia, efek yang disebabkannya serta berbagai usaha yang telah ia lakukan dalam mendorong lebih banyak pihak untuk turut terlibat. Secara sederhana: masih presentasi yang sama namun dengan tampilan barisan slideshow yang berbeda. Apakah hal tersebut berarti film ini memiliki kualitas yang berada di bawah kualitas film sebelumnya? Tidak juga. Namun, harus diakui, An Inconvenient Sequel: Truth to Power tidak memiliki ritme narasi yang sekuat dan semengikat apa yang ditampilkan Guggenheim dalam An Inconvenient Truth.
Tentu saja, dengan kondisi Bumi yang terus terpuruk akibat ketidakseimbangan kemajuan peradaban umat manusia dengan pemikiran umat manusia itu sendiri untuk melindungi tempat tinggalnya, An Inconvenient Sequel: Truth to Power masih memiliki urgensi yang kuat untuk dapat menyentuh atau bahkan mengubah cara pandang penontonnya tentang topik yang dibawakan. Presentasi yang kurang mampu mengalir dengan lebih baik – dan fokus yang sedikit lebih besar terhadap sosok Gore daripada apa yang ia perjuangkan – memang membuat An Inconvenient Sequel: Truth to Power seringkali terasa hambar dan gagal untuk berbicara dengan lebih tegas. Namun, terlepas dari berbagai kelemahan tersebut, film ini masih akan mampu membuat para penontonnya setidaknya sadar bahwa kehidupan mereka (dan generasi penerus mereka) sedang berada di bawah ancaman besar jika mereka masih tetap tidak memedulikan sinyal-sinyal bahaya yang telah diberikan lingkungan mereka. Dan bukankah hal itu merupakan fungsi utama dari keberadaan film ini?
Rating :