Stuntman/stunt coordinator, David Leitch, bersama dengan rekannya, Chad Stahelski, sukses terangkat namanya sebagai sutradara berkat proyek kolaboratif mereka, John Wick (2014), yang dianggap sebagai salah satu film aksi terbaik dekade ini. Stahelksi kemudian menggarap secara mandiri sekuelnya, John Wick: Chapter 2 (2017), dan berhasil membuktikan jika karya pertamanya bukan hasil kemujuran semata, melainkan bukti jika ia memang memilki potensi sebagai sutradara andalan. Lantas bagaimana dengan Leitch? Ia punya Atomic Blonde sebagai debutnya sebagai sutradara solo.
Diangkat dari novel grafis The Coldest City (2012) karya Antony Johnston dan Sam Hart, Atomic Blonde mendapuk Charlize Theron sebagai sang tokoh utama, Lorraine Broughton, mata-mata terkemuka asal Inggris. Berseting tahun 1989, tepat sebelum runtuhnya tembok Berlin, Lorraine ditugaskan untuk mendapatkan sebuah daftar rahasia yang berisi nama setiap agen yang aktif di Uni Sovyet serta menemukan dan mengeliminasi seorang agen ganda berkode Satchel.
Dengar alur maju-mundur, film dimulai dengan adegan Lorraine yang diinterogasi oleh salah satu atasannya, Eric Gray (Toby Jones) dan Emmett Kurzfeld (John Goodman), seorang agen CIA, tentang misinya tersebut.
Di Berlin ia disambut oleh agen MI6 lain, David Percival (James McAvoy), yang sepertinya memiliki agenda tersendiri. Lorraine juga bertemu dengan seorang agen rahasia Prancis naif bernama Delphine Lasalle (Sofia Boutella). Selama di Berlin, baik Timur dan Barat, Lorraine berjibaku dengan berbagai pihak yang mencoba menghentikan misinya, selain tentunya menyelundupkan keluar seorang mantan agen Stasi, Spyglass (Eddie Marsan), yang mengaku mengingat isi daftarnya.
Dengan pemilihan warna-warna neon yang terasaturasi dan gerak kamera dinamis Jonathan Sela (John Wick, Transformers: The Last Knight) secara visual Atomic Blonde memang bergaya dan memanjakan mata. Dilengkapi dengan iringan lagu-lagu top 80-an, baik orisinil maupun cover version, Atomic Blonde memang terasa sangat pop sekali (hey, mana Emma Stone saat 'I Ran (So Far Away)' terdengar di latar?). Terutama untuk sebuah film bertema mata-mata.
Tapi sepertinya Leitch tidak ingin Atomic Blonde terlihat terlalu komikal, sehingga alih-alih memaparkan adegan laga bombastis, maka ia memilih pendekatan yang lebih realistis dan membumi. Tentunya serealistis dan semembumi yang diizinkan sebuah film aksi laga. Bayangkan John Wick, maka kurang lebih demikianlah adegan aksi yang ditawarkan oleh Atomic Blonde.
Dalam Atomic Blonde, gunplay digantikan dengan pertarungan tangan kosong seru dan mendebarkan. Dedikasi Theron jelas harus mendapat pujian. Adegan-adegan aksi Atomic Blonde cenderung dieksekusi dalam shot-shot panjang. Oleh karenanya, selain penguasaan koreografi secara mumpuni agar terlihat meyakinkan, Theron membutuhkan stamina prima untuk menyelesaikan "misinya". Dan ia berhasil untuk itu.
Sederhananya, James Bond, Jason Bourne dan John Wick kini punya lawan tanding seimbang. Persona cantik dan berbahaya menguar kuat dari sosok Theron. Dan ia prima bukan hanya sekedar di aksi fisik, melainkan juga memberi kedalaman untuk karakternya yang sebenarnya cenderung klise. Dengan Atomic Blonde, Theron mempertegas kharismanya sebagai seorang bintang laga masa kini, namun tidak dangkal atau satu dimensi.
Atomic Blonde juga dibekali dengan barisan pemain pendukung papan atas, sehingga Theron tidak harus bermain tunggal menjadi pilar film. Terutama McAvoy, yang menjadi tandem seimbang Theron.
Yang menjadi masalah adalah naskah tulisan Kurt Johnstad (300, Act of Valor) dan pengarahan Leitch itu sendiri. Untuk sebuah film dengan premis sederhana, Atomic Blonde terlalu bertele-tele dan beputar-putar. Sedang twist dan kemana alur Atomic Blonde bergerak sudah teraba jelas hanya di beberapa menit awal.
Bahkan sub-plot lesbianisme terasa tidak perlu, karena tanpa ada karakter Delphine Lasalle sekalipun (sungguh sebuah kesia-siaan untuk bakat Sofia Boutella), tidak akan mengurangi esensi film. Jatuhnya malah eksploitasi ala male gaze yang tipikal dalam film-film sejenis. Agak disayangkan, karena sudut pandang cerita datang dari karakter perempuan, yang sebenarnya jarang ada di sub-genre ini.
Sebuah film mata-mata biasanya memang memiliki muatan cerita yang kompleks, sehingga terkadang membingungkan. Tapi biasanya juga dibekali dengan premis berliku-liku yang memikat, sebagaimana film-film yang diangkat dari novel John le Carré . Atau jika itu dianggap terlalu kompeks sebagai contoh, maka tiga film pertama Jason Bourne bisa menjadi sampel.
Sementara itu, pengarahan Leitch tidak terlalu luwes dalam mengangkat sisi dramatik film. Leitch pun sepertinya memang kurang mampu menguasai alur maju-mundur dengan mulus. Akhirnya film terasa monoton dan bahkan cenderung membosankan. Emosi film mengalami peningkatan hanya pada saat adegan laga.
Bisa jadi film akan lebih solid jika meringkas atau memadatkan plot dan berkonsentrasi pada adegan laga saja, tanpa harus merasa wajib untuk memberi plot berliku atau semacam komentar sosial misalnya, jika kemudian ternyata kosong secara substansi. Mengutip Machiavelli bukan lantas menjadi cerdas juga.
Rating :