Dengan film-film seperti The Immigrant (2013), Two Lovers (2008) atau We Own the Night (2007) berada dalam filmografinya, The Lost City of Z jelas merupakan sebuah wilayah pengarahan yang jauh berbeda bagi seorang James Gray. Berbeda dengan film-film arahan Gray sebelumnya yang memiliki nada pengisahan drama dengan latar kota New York dan desain produksi minimalis, The Lost City of Z merupakan sebuah petualangan berskala epik yang membutuhkan garapan produksi yang megah. Beruntung, tantangan tersebut bukanlah sebuah masalah besar bagi pengarahan cerdas seperti yang selalu ditunjukkan oleh Gray dalam film-filmnya. Dengan kehandalannya, Gray mampu mengeksekusi film ini menjadi sebuah presentasi yang puitis sekaligus begitu mengikat secara emosional serta tampil dengan deretan keindahan gambar yang sangat membuai. Sebuah pencapaian yang menjadikan The Lost City of Z sebagai film terbaik arahan Gray hingga saat ini.
Diadaptasi dari buku berjudul sama karya David Grann, The Lost City of Z mengisahkan perjalanan nyata seorang petualang asal Inggris, Percy Fawcett, dalam usahanya untuk menemukan sebuah kota kuno di pedalaman hutan Amazon. Berlatarbelakang pada tahun 1900an, Perry Fawcett (Charlie Hunnam) ditugaskan oleh pemerintahan Inggris untuk menjelajahi wilayah perhutanan Brazil dan Bolivia sekaligus membantu kedua negara tersebut dalam mempertegas perbatasan wilayah antara keduanya. Didampingi oleh Corporal Henry Costin (Robert Pattinson) yang mengenal seluk-beluk wilayah Amazon, Perry Fawcett secara tidak sengaja menemukan potongan-potongan patung dan pecahan barang tembikar di pedalaman tersembunyi wilayah Amazon yang kemudian meyakinkan dirinya bahwa ia telah menemukan bagian dari peradaban kota kuno di wilayah Amazon yang selama ini belum pernah dieksplorasi oleh petualang dunia lainnya. Penemuan itulah yang lantas terus menghantui diri Perrry Fawcett dan membuatnya terus kembali ke wilayah tersebut meskipun mendapatkan tantangan dan tentangan baik dari istrinya sendiri, Nina Fawcett (Sienna Miller), maupun dari berbagai pihak yang menilai bahwa penemuan Perry Fawcett hanyalah sebuah rekaan belaka.
Kekuatan terbesar dari penceritaan The Lost City of Z berasal dari keberhasilan sekaligus kecerdasan Gray dalam mengeksplorasi setiap karakter yang hadir dalam jalan penceritaan film ini. Lihat saja bagaimana Gray mampu menyelami perubahan diri dari karakter utama film, Perry Fawcett, ketika dirinya mulai terobsesi dengan penemuannya di pedalaman belantara Amazon. Karakter yang awalnya hanya ingin berusaha memberikan kehidupan yang terbaik bagi keluarganya secara perlahan mulai dikonsumsi ambisi pribadi lantas membuatnya kemudian merasa terasing dari orang-orang disekitarnya, bahkan dari kasih sayang istri dan anak-anaknya. Gray dengan detil mengikuti perubahan tersebut dan membuat The Lost City of Z terasa begitu intim dan personal dalam pengisahannya. Eksplorasi karakter tersebut tidak hanya dilakukan Gray pada karakter utama filmnya. Karakter-karakter pendukung lain juga mendapatkan porsi pengisahan yang semakin memperdalam kualitas penceritaan The Lost City of Z.
Karakter istri Perry Fawcett, Nina Fawcett, tidak digambarkan hanya sebagai sosok pendamping belaka. Untuk pengisahan yang berlatar tahun 1900an, karakter Nina Fawcett adalah sosok wanita yang telah memiliki pemikiran yang maju tentang eksplorasi suaminya maupun tentang cara pandangnya akan kesetaraan posisi wanita dan pria dalam keseharian mereka – meskipun pemikiran itu pula yang seringkali membuatnya merasa terjebak dalam kesendirian ketika sang suami lebih memilih untuk pergi berpetualang daripada mendampinginya. Begitu pula dengan karakter Corporal Henry Costin yang, walaupun sering hadir sebagai sosok pendiam dan penyendiri, namun mampu dieksplorasi Gray sebagai sosok pendamping yang kuat bagi karakter Perry Fawcett. Beberapa karakter lain juga hadir dalam alur pengisahan The Lost City of Z dan turut memperkuat presentasi pengisahan film.
Karakter-karakter yang digambarkan dengan kuat oleh Gray dalam filmnya juga mampu dipresentasikan dengan penampilan yang kuat pula oleh barisan pengisi departemen akting film ini. Hunnam yang memerankan Perry Fawcett hadir dengan penampilan yang begitu mengikat. Ia mampu menampilkan perubahan karakteristik sekaligus emosi karakternya dengan begitu meyakinkan sekaligus menghadirkan chemistry yang begitu erat baik dengan Miller maupun Pattinson. Penampilan Pattinson juga mampu mengimbangi akting Hunnam dan menjadikan kehadiran keduanya terasa begitu dinamis. Penampilan-penampilan akting lain dari Miller, Tom Holland dan Angus Macfadyen semakin memperkokoh kesolidan kualitas departemen akting film ini.
Gray sendiri menghadirkan The Lost City of Z dengan alur pengisahan yang cukup sederhana – jika tidak ingin disebut sebagai lamban – di sepanjang 140 menit durasi pengisahan film ini. Meskipun begitu, pilihan tersebut menjadi sebuah pilihan yang efektif ketika Gray mampu menggulirkan pengisahan filmnya dengan baik sekaligus menjadikan deretan karakter dan konfliknya hadir begitu mengintimidasi. Keberhasilan pengisahan Gray juga didukung oleh eksekusi teknis film yang sangat berkelas. Tata sinematografi arahan Darius Khondji mampu memberikan gambar-gambar yang mendukung atmosfer kemisteriusan, kekelaman sekaligus keindahan penceritaan film. Arahan musik dari Christopher Spelman juga berhasil memberikan tambahan emosi dalam berbagai adegan. Deretan pencapaian tersebut mungkin susah untuk dapat dibayangkan berhasil digapai oleh Gray jika melihat sekilas dari filmografinya terdahulu. Namun, Gray membuktikan bahwa dirinya adalah seorang sutradara handal dengan kemampuan luar biasa dalam mewujudkan ambisinya.
Rating :