Setelah sempat sangat mencuri perhatian saat untuk pertama kalinya dalam 70 tahun sejarahnya muncul di layar lebar melalui Batman v Superman: Dawn of Justice (2016), akhirnya Wonder Woman (Gal Gadot) tampil dalam film solonya yang merupakan bagian ke-4 dari seting DC Extended Universe. Dan melaluinya, sah sudah jika pesona Wonder Woman bukanlah sekedar one hit wonder.
Meski kita sudah menyimak sepak terjang Diana Prince di dunia modern, namun dalam Wonder Woman kita akan kembali ke masa lalu guna melongok asal muasal mengapa sang Putri Amazon memutuskan untuk keluar dari pulau Themyscira, yang permai tapi tersembunyi, di mana ia ditempah untuk menjadi seorang ksatria oleh sang bibi, Jendral Antiope (Robin Wright), meski mendapat tentangan dari sang bunda, Ratu Hippolyta (Connie Nielsen).
Sampai suatu hari terdampar Steve Trevor (Chris Pine), seorang mata-mata sekutu di era Perang Dunia I yang melarikan dari kejaran musuh. Setelah pertempuran seru di pantai Themyscira antara para Amazon dan tentara Jerman yang menyebabkan tewasnya seorang sosok penting, Diana memutuskan untuk mengikuti Steve menuju dunia luar guna menemukan Ares, sang Dewa Perang yang dipercayanya sebagai penyebab perang besar yang diceritakan Steve.
Diana lantas mengunjungi London dan kemudian No Man’s Land di Belgia, tepat di tengah-tengah kekacauan Perang Dunia I, guna berhadapan dengan Jendral Erich Ludendorff (Danny Huston) dan mitranya, sang ilmuan sesat Isabel Maru (Elena Anaya) yang dikenal sebagai Dr. Poison.
Wonder Woman adalah film yang ditunggu-tunggu. Bukan hanya karena akan menampilkan sepak terjang secara solo untuk pertama kalinya salah satu superhero terbesar DC, namun juga pertaruhan apakah film blockbuster dengan perempuan sebagai karakter sentra serta disutradarai oleh perempuan pula bisa sukses, baik dari segi kualitas atau perolehan box office nantinya. Syukurlah semua tantangan bisa dibayar lunas baik oleh Gadot ataupun Patty Jenkins (Monster), yang bertindak sebagai sutradara.
Gadot, yang relatif belum terbukti bisa menjadi penggerak utama terutama sebuah film berskala besar seperti ini, menguarkan kharisma dengan sangat kuat dan membuat kita percaya jika ia adalah Wonder Woman dan Wonder Woman adalah Gal Gadot. Bukan lainnya.
Tidak hanya harus beraksi secara fisik – yang ditunaikan Gadot dengan sangat meyakinkan – namun ia juga mampu memberi ruh pada karakternya untuk bisa menjadi begitu hidup dan berjiwa. Bukan hanya sekedar sketsa dari tokoh komik dalam sebuah film live action.
Berbeda dengan saat kita mengenalnya sebagai perempuan matang dengan rasa penuh percaya diri dan kecerdasan prima dalam BvS, maka dalam Wonder Woman Diana awalnya diperkenalkan justru bukan sebagai sosok pahlawan. Mungkin ia adalah seorang pejuang yang memiliki tekad kuat dalam menjaga kedamaian dunia. Tapi ia agak naif dan serampangan dalam menyikapi visi dan misinya.
Hadirnya Steve Trevor, yang tidak sekedar menjadi sosok love interest bagi Diana, namun juga katalis akan perspektif “lurus” Diana akan dunia manusia. Dengan hadirnya Steve di sisinya, Diana belajar bahwa menyalahkan Ares sebagai penyebab kekacauan bukan satu-satunya jawaban, karena manusia memiliki berbagai dimensi yang selama ini tak dikenal Diana. Pine bermain dengan sangat baik sebagai “sosok sekunder” film dan chemistry kuatnya bersama Gadot adalah penentu keberhasilan hubungan Steve dan Diana.
Film juga memperkenalkan beberapa karakter pendukung, yang meski kecil tapi efektif dalam memberi asupan warna dan dinamisasi jalan cerita, meski mungkin awalnya bertugas sebagai comic-relief, seperti sekretaris Steve yang kocak, Etta Candy (Lucy Davis), dan trio yang membantu Diana dan Steve dalam misi mereka; Sameer (Saïd Taghmaoui), Charlie (Ewen B remmer) dan Chief (Eugene Brave Rock). Tidak lupa ada Sir Patrick Morgan (David Thewlis), yang juga menjadi semacam katalis lain bagi Diana.
Karakter-karakter ini begitu mencuri perhatian meski naskah yang ditulis Allan Heinberg cukup cermat untuk tidak membiarkan mereka mencuri perhatian dari Diana dan menjadikan sang Wonder Woman tetap sebagai pusat utama cerita. Sayangnya, hal sama tidak teraplikasikan pada para villain, karena cenderung sangat tipis, klise dan mudah terlupakan, meski memiliki potensi lebih dari itu.
Wonder Woman sebenarnya bisa saja menjadi film yang kacau, mengingat ia sebenarnya adalah sebuah pencampuran dari berbagai genre yang bisa jadi bertolak belakang satu sama lain. Mulai dari fantasi, aksi, petualangan, komedi, romansa, hingga perang, saling berkelindaan di dalamnya. Untunglah Patty Jenkins mampu menjalin berbagai pendekatan tersebut tanpa harus terasa dipaksakan, meski masing-masing berdiri dengan sangat kuatnya. Mereka hadir dengan transisi mulus dan saling mendukung satu sama lain.
Sedari awal Jenkins memastikan jika Wonder Woman bukanlah film tentang pahlawan super yang diisi dengan ironi atau sinisme kelam, sebagaimana trend DCEU sebelumnya. Ia mengusung tentang harapan, sehingga tidak heran jika visual film terasa lebih kaya warna. Selain itu Jenkins setia pada semangat feminisme dan women empowerment yang ditiupkan oleh William Moulton Marston saat ia menciptakan Wonder Woman. Sebagai film perang pun ia tak mengecewakan, karena memiliki signifikansi dalam unsur tematik cerita dan jauh lebih berhasil ketimbang Captain America: The First Avenger (2011) misalnya.
Jenkins juga harus dipuji karena membuktikan ia mampu menangani adegan-adegan laga yang memukau dan dihadirkan dalam intensitas serta tempo terjaga, tak kalah dibandingkan rekan-rekan prianya. Terutama di dua babak pertama film, di mana CGI tidak terlalu aktif berperan. Harus diakui jika kualitas CGI Wonder Woman tidak begitu gemilang, karena di beberapa bagian terasa agak kasar, terutama di adegan klimaks yang sangat bersandar pada pemanfaatan CGI untuk menghadirkan adegan pertarungan fantastis.
Hanya saja, terlepas dari beberapa kekurangannya, tetap saja Wonder Woman adalah film yang bagus. Tidak hanya sebagai sebuah film superhero, tapi film secara umum. Naskah dengan cerdas merangkai film dengan muatan pesan penting yang teresonansi dengan baik, meski disampaikan tanpa harus menjadi terlalu berat. Kadang ia jenaka, kadang ia murung. Kadang ia kelam, kadang cerah. Namun yang pasti ia senantiasa dipenuhi dengan hati, yang kemudian memberi rasa hangat juga haru selepas kita menyaksikannya. Sesuatu yang jarang bisa kita dapatkan dari sebuah film blockbuster akhir-akhir ini.
Rating :