Bisakah kita membicarakan Let Me In tanpa harus menyinggung maupun membandingkannya dengan Let the Right One In (2008)? Memang, film Swedia tersebut telah terlebih dahulu menerjemahkan novel karya John Ajvide Lindqvist yang berjudul sama ke layar lebar dengan sutradara Tomas Alfredson berhasil menjadikan Let the Right One In sebagai sebuah pencapaian film horor yang sangat mengagumkan. Namun apa yang dihasilkan sutradara Matt Reeves (Cloverfield, 2008) lewat Let Me In juga bukanlah sesuatu yang dapat dianggap remeh. Bahkan, dalam beberapa aspek, Reeves berhasil menjadikan Let Me In sebagai sebuah film yang lebih superior dari film pendahulunya.
Walau beberapa kali Reeves sempat mengutarakan bahwa dirinya tidak melakukan remake terhadap Let the Right One In, melainkan melakukan sebuah adaptasi lain terhadap novel karya Lindqvist tesebut, mereka yang pernah menyaksikan Let the Right One In sebelumnya tentu menyadari bahwa hampir 95% bagian dari alur cerita Let Me In berada di jalur yang sama dengan film horor fenomenal asal Swedia tersebut. Hal ini sama sekali bukanlah sebuah pertanda buruk, karena terlepas dengan perubahan yang dilakukan Reeves di beberapa elemen cerita, Let Me In masih berhasil membawakan kesan kesunyian, intensitas ketegangan dan misteri kisah cinta yang ada dari Let the Right One In.
Memindahkan latar belakang cerita ke daerah Los Alamos, New Mexico, Amerika Serikat pada tahun 1983, Let Me In mengisahkan perkenalan pertama Owen (Kodi Smit-McPhee), seorang anak lelaki berusia 12 tahun yang seringkali merasa kesepian akibat perceraian kedua orangtuanya, dengan Abby (Chloë Grace Moretz), seorang anak perempuan misterius yang ‘juga berusia 12 tahun’ yang baru saja pindah ke lingkungan tersebut dengan ‘ayahnya’ (Richard Jenkins). Walau pada pertemuan pertama Abby telah menegaskan bahwa dirinya tidak akan pernah dapat menjadi teman bagi Owen, namun lama-kelamaan dua anak yang saling merasa kesepian ini justru semakin dekat dan saling mengerti satu sama lain.
Di kehidupan kesehariannya, Owen sendiri merupakan seorang anak yang sering menjadi bulan-bulanan teman sekolahnya yang menganggapnya seperti seorang ‘gadis kecil.’ Mendengar hal itu, Abby selalu mendorong Owen untuk menghadapi dan membalas seluruh perbuatan tersebut. Kehidupan Abby sendiri tidak luput dari misteri. Gadis ini sama sekali tidak pernah keluar di siang hari. Ini masih ditambah dengan semakin banyaknya misteri pembunuhan di lingkungan tersebut semenjak Abby dan ‘ayahnya’ pindah ke lingkungan tersebut. Hal inilah yang kemudian memancing kecurigaan seorang detektif (Elias Koteas) untuk menyelidiki Abby dan sang ‘ayah.’
Sama seperti Let the Right One In, warna kemuraman dan kesunyian menyebar dengan cepat di keseluruhan jalan cerita dari Let Me In: sebagian disebabkan karena naskah cerita Let Me In yang berputar di sekitar kisah mengenai dua orang yang merasa terisolasi dari kehidupan dunia luar dan sebagian karena warna-warna kelam pilihan sinematografer Greig Fraser yang berhasil memberikan kesan kemuraman yang dapat membekukan hati siapapun yang melihatnya. Di zaman ketika film horor kebanyakan berakhir sebagai sebuah bahan guyonan, Let Me In akan mampu memberikan setiap orang sebuah teror psikologi yang tidak akan dapat dengan mudah mereka lupakan jauh setelah mereka selesai menyaksikan film ini.
Let Me In berhasil memberikan teror yang lebih mendalam dari film-film horor lainnya karena film ini – seperti halnya Let The Right One In – menyajikannya secara berkelas, dengan ritme perlahan namun jauh dari kesan yang membosankan. Teror tersebut lebih ditujukan sebagai sebuah teror kepada pemikiran setiap penontonnya daripada sebagai sebuah teror yang hadir dengan hanya mengutamakan tingkat kesadisan lewat tampilan visualnya. Namun jangan salah, Let Me In juga memiliki tingkat kesadisan tersendiri, dengan darah yang hadir berantakan dan adegan kematian yang mungkin akan sulit untuk disaksikan bagi sebagian orang.
Walau begitu, tak ada keunggulan Let Me In yang mampu menyaingi dari keunggulan para jajaran pemeran yang dipilih untuk menghidupkan setiap karakter yang ada di jalan cerita film ini, terutama, tentu saja, dua karakter utamanya yang dimainkan Kodi Smit-McPhee dan Chloë Grace Moretz. Penampilan Smit-McPhee di film ini jauh lebih menyentuh dari apa yang telah ia tampilkan di penampilan briliannya di The Road (2009). Smit-McPhee secara gemilang mampu membawakan karakter Owen yang gloomy, sunyi dan selalu dilingkupi dengan kesedihan yang mendalam. Berkat akting Smit-McPhee, bahkan dengan tatapan matanya di sepanjang film, para penonton dapat dengan mudah merasakan seluruh perasaan tertekan yang ada di dalam hati Owen.
Berbicara mengenai Chloë Grace Moretz, sepertinya tidak akan ada yang sanggup untuk tidak mengatakan bahwa aktris cilik berusia 13 tahun ini adalah sebuah harapan besar bagi dunia akting Hollywood. Dia adalah Dakota Fanning yang baru, yang selalu memainkan karakter dengan jiwa yang jauh lebih dewasa daripada usia yang sebenarnya, suatu hal yang sangat tercermin dari karakter Abby yang ia mainkan. Setelah menyaksikan kemampuan aktingnya yang luas di sepanjang tahun ini – lihat The Diary of a Wimpy Kid dan Kick-Ass – Moretz akan memiliki masa depan yang sangat cerah di dunia akting, dan dapat dengan mudah memilih peran apapun yang ia inginkan.
Selain Smit-McPhee dan Moretz, Let Me In juga memiliki barisan pengisi departemen akting yang mengagumkan. Dua aktor senior, Richard Jenkins dan Elias Koteas, dengan mudah mengisi peran mereka sebagai ‘sang ayah’ dan sang detektif. Bahkan Dylan Minnette, aktor muda yang berperan sebagai Kenny, pemuda yang selalu menjadikan Owen sebagai bahan guyonannya, dengan sangat baik menjadikan karakter Kenny sebagai karakter yang paling dibenci di sepanjang cerita film, namun juga sebagai karakter yang rapuh ketika mengetahui bahwa kejahilannya adalah sebuah ‘balas dendam’ yang ia lakukan karena selalu dijahili oleh kakaknya.
Mungkin tidak akan ada yang dapat membicarakan Let Me In tanpa membandingkannya dengan Let the Right One In. Kedua film tersebut, mampu dengan sangat baik menterjemahkan novel John Ajvide Lindqvist dalam sebuah bentuk cerita yang mendalam – yang karena datang dari sebuah genre yang lama-kelamaan lebih sering dijadikan bahan olokan, merupakan sebuah hal yang sangat mengagumkan. Let Me In sendiri berhasil berdiri sendiri di luar bayang Let the Right One In. Reeves berhasil memberikan nyawa yang tepat ke dalamnya dengan pemilihan jajaran pemeran yang sangat efektif, jalan cerita yang cerdas serta pemilihan warna dan mood gambar yang mampu menyesuaikan diri dengan jalan cerita yang dibawakannya. Let Me In adalah sebuah film horor cerdas Hollywood yang pencapaiannya mungkin saja tidak akan dapat diraih kembali untuk beberapa tahun ke depan.
Rating :