Kisah King Arthur dan pedang legendarisnya, Excalibur, jelas merupakan salah satu kisah yang familiar bagi kebanyakan umat manusia yang ada di permukaan Bumi. Tidak hanya popular, kisah tersebut bahkan telah berulangkali diadaptasi dalam berbagai bentuk media, mulai dari buku, serial televisi, animasi, drama panggung, video permainan hingga, tentu saja, film – yang bahkan tercatat pernah menampilkan cerita tentang King Arthur semenjak era film bisu di tahun 1904. Yang teranyar, sutradara asal Inggris, Guy Ritchie (The Man from U.N.C.L.E., 2015), berusaha memberikan interpretasinya sendiri atas kisah mitologi Britania Raya tersebut lewat King Arthur: Legend of the Sword. Lantas, apa yang dapat ditawarkan oleh Ritchie pada pengisahan King Arthur miliknya? Cukup banyak, ternyata.
Daripada menjadikan King Arthur: Legend of the Sword sebagai sebuah film kolosal bernuansa kerajaan Inggris pada abad pertengahan – seperti kebanyakan presentasi dari film-film tentang King Arthur lainnya, Ritchie justru mengadopsi gaya penceritaannya yang lebih terasa modern dan dengan nuansa jalanan yang keras. Gaya penceritaan yang jelas cukup familiar bagi mereka yang menggemari film-film Ritchie seperti Lock, Stock and Two Smoking Barrells (1998) maupun Snatch (2000). Meskipun sentuhan modern pada sebuah kisah dari abad pertengahan bukanlah sebuah hal yang baru – masing ingat dengan A Knight’s Tale (Brian Helgeland, 2001)? – namun Ritchie masih mampu memberikan sentuhan-sentuhan khasnya yang berhasil membuat presentasi King Arthur: Legend of the Sword terasa menyegarkan seperti sentuhan black comedy pada beberapa bagian cerita atau deretan dialog yang berlangsung cepat.
Naskah cerita film, yang ditulis Ritchie bersama dengan Joby Harold (Awake, 2007) dan Lionel Wigram (The Man from U.N.C.L.E.), juga mengalami beberapa perubahan pada beberapa karakter dan plot pengisahannya. Sebelum diangkat menjadi seorang raja setelah keberhasilannya mengangkat pedang Excalibur, Arthur (Charlie Hunnam) hanyalah seorang pria yang tumbuh dan hidup di jalanan kota Londinium. Arthur sama sekali tidak mengetahui bahwa di dalam darahnya, mengalir darah bangsawan yang diturunkan oleh sang ayah, Uther Pendragon (Eric Bana), yang harus kehilangan tahta dan nyawanya akibat pengkhianatan adiknya sendiri, Vortigern (Jude Law). Mengetahui bahwa Arthur dapat menguasai Excalibur – yang sekaligus mengancam posisinya sebagai seorang raja – Vortigern mulai menyusun rencana untuk dapat melenyapkan sang keponakan untuk selama-lamanya.
Beberapa perubahan yang terjadi dalam jalan penceritaan King Arthur: Legend of the Sword mungkin akan menghasilkan kekecewaan bagi sebagian orang – khususnya dengan ketiadaan sejumlah karakter yang krusial dan telah begitu melekat dengan pengisahan King Arthur. Sayangnya, kehilangan beberapa karakter justru kemudian ditambal oleh Ritchie dengan (terlalu) banyak karakter yang mengisi ruang penceritaan filmnya. Selain seringkali tampil mengganggu konsentrasi penceritaan, kebanyakan karakter tersebut gagal untuk dikembangkan dengan lebih baik sehingga kehadirannya kemudian terasa hambar. Penataan gambar Ritchie dimana satu adegan sering bertabrakan dengan adegan berikutnya juga lebih sering merusak konsentrasi emosi penceritaan daripada berhasil memberikan sensasi bagi penceritaan film. Kelemahan-kelemahan pada penceritaan inilah yang membuat King Arthur: Legend of the Sword, terlepas dari berbagai kesuksesan teknisnya, tidak pernah mampu memberikan klimaks penceritaan bagi para penontonnya. Cukup nikmat namun tidak pernah berhasil sampai di puncak kesuksesan kualitas pengisahan.
Di bidang teknis, Ritchie berhasil membalut filmnya dengan kualitas produksi yang begitu berkelas. Sama sekali tidak ada yang dapat dikeluhkan dari penataan sinematografi film. Dan seperti halnya arahan musik Hans Zimmer bagi Sherlock Holmes (2009), Ritchie berhasil mendapatkan iringan musik yang begitu bernyawa dari Daniel Pemberton. Seringkali, tata musik Pemberton menambah kedalaman emosi penceritaan atau memberikan tambahan ketegangan pada banyak adegan King Arthur: Legend of the Sword. Mereka yang menikmati film ini dengan tambahan efek visual tiga dimensi juga akan mendapatkan kualitas tampilan visual yang benar-benar mengikat. Jelas salah satu film yang menggunakan efek visual tiga dimensi dengan kualitas terbaik dalam beberapa tahun terakhir.
Apakah Hunnam adalah pilihan yang tepat untuk memerankan karakter King Arthur yang legendaris? Well… fisik Hunnam yang atletis dan penampilannya yang tampan harus diakui memiliki daya tarik yang kuat – khususnya ketika Ritchie memilih untuk menampilkan King Arthur-nya sebagai sosok yang lebih mirip karakter-karakter cadas yang sering diperankan Jason Statham daripada sebagai sebagai sosok dengan latarbelakang keluarga kerajaan. Sayangnya, Hunnam, entah mengapa, tampil dengan kharisma yang tidak terlalu kuat untuk memerankan karakter pemimpin yang dipuja-puja oleh khalayak ramai. Kelemahan ini yang membuat penampilan Hunnam seringkali dibayangi oleh kekuatan penampilan Law atau malah Bana – yang tampil dalam porsi yang minimalis. Dan meskipun tidak ada penampilan yang cukup istimewa, tampilan akting dari para pemeran pendukung seperti Djimon Hounsou, Àstrid Bergès-Frisbey atau Aidan Gillen setidaknya hadir dengan kualitas yang tidak mengecewakan.
Rating :