Review

Info
Studio : Legacy Pictures/Screenplay Films
Genre : Biography, Drama, Family
Director : Hanung Bramantyo
Producer : Robert Ronny
Starring : Dian Sastrowardoyo, Acha Septriasa, Ayushita Nugraha, Djenar Maesa Ayu, Christine Hakim

Kamis, 20 April 2017 - 15:49:03 WIB
Flick Review : Kartini
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 2340 kali


Merayakan Hari Kartini tahun ini, sutradara Hanung Bramantyo bekerjasama dengan produser Robert Ronny merilis biopik dari Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan di Indonesia tersebut. Berlatarbelakang lokasi di Jepara, Jawa Tengah, di masa Indonesia masih berada dibawah jajahan Belanda dan dikenal dengan sebutan Hindia Belanda, Kartini (Dian Sastrowardoyo) yang berasal dari kalangan kelas bangsawan Jawa telah terbiasa hidup dalam tatanan adat Jawa yang seringkali dirasa mengekang kehidupan kaum perempuannya. Meskipun begitu, berkat arahan sang kakak, Kartono (Reza Rahadian), yang mengenalkannya pada banyak literatur Belanda, pemikiran Kartini menjadi jauh lebih maju dan terbuka dibandingkan dengan kebanyakan perempuan Jawa di era tersebut. Dengan pemikirannya tersebut, Kartini memulai usahanya untuk memperjuangkan kesetaraan hak kaum perempuan, khususnya hak untuk memperoleh pendidikan, agar kaum perempuan, khususnya perempuan Jawa, tidak lagi hanya berfungsi sebagai istri atau pendamping para suami dalam kehidupan mereka.

Naskah cerita Kartini yang digarap oleh Bramantyo bersama dengan Bagus Bramanti (Dear Nathan, 2017) harus diakui cukup lugas dalam mengupas perjalanan hidup seorang Kartini – mulai dari perpisahan “kelas sosial”-nya dengan sang ibu kandung, Ngasirah (Nova Eliza), di masa kecil, perkembangan pola pemikirannya hingga perseteruan tanpa akhirnya dengan aturan sosial tradisional yang terus berusaha mengekang kebebasan diri dan pemikiran para perempuan Jawa. Gambaran Kartini yang dihadirkan dalam film ini juga terasa cukup menyegarkan. Daripada menghadirkan sosok Kartini yang penuh kelemahlembutan dalam setiap tingkah lakunya, Bramantyo dan Bramanti memilih untuk menggambarkan Kartini mereka sebagai sosok yang lebih leluasa dalam pergerakannya serta tegas dalam mengutarakan pemikiran-pemikirannya. Jangan bayangkan perubahan yang terlalu radikal. Kartini masihlah sosok perempuan yang menjunjung tinggi aturan Jawa yang diembankan pada dirinya namun film ini memilih untuk menghadirkan karakternya sebagai karakter yang lebih modern dari gambaran Kartini yang banyak dikenal selama ini.

Penggambaran perjalanan hidup Kartini kemudian membawa jalan cerita Kartini untuk mengenalkan sejumlah karakter yang akhirnya memberikan pengaruh pada pemikiran-pemikirannya. Sayangnya, di bagian inilah naskah pengisahan film membentur beberapa permasalahan – khususnya di paruh pertama pengisahan Kartini. Banyaknya karakter yang dihadirkan seringkali membuat karakter-karakter pendukung tersebut gagal untuk mendapatkan porsi pengisahan yang lebih kuat. Hal ini khususnya cukup terasa pada karakter Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita Nugraha), dua adik Kartini yang dikisahkan begitu akrab dan dekat dengan dirinya. Meskipun digambarkan sebagai dua sosok karakter yang cukup krusial dalam kehidupan Kartini, karakter Roekmini dan Kardinah lebih sering ditempatkan sebagai karakter pendamping belaka dengan penceritaan dan interaksi yang minimalis dengan Kartini. Terlepas dari beberapa kelemahan minor tersebut, naskah cerita Kartini hadir dengan kualitas struktur cerita dan karakter yang cukup memuaskan – meskipun beberapa konflik sebenarnya dapat saja (atau lebih baik) diperingkas atau malah dihilangkan.

Pengarahan Bramantyo sendiri cukup mampu menangani kompleksnya struktur pengisahan Kartini. Walau banyaknya konflik dan karakter yang hadir dalam paruh awal penceritaan film sempat membuat Kartini terasa kurang fokus dalam bercerita serta tidak mampu memberikan pengolahan konflik yang lebih tajam – yang kemudian membuat paruh awal pengisahan Kartini terasa begitu hambar, Bramantyo secara perlahan berhasil meningkatkan intensitas konflik sekaligus fokus cerita yang lebih terarah pada paruh penceritaan berikutnya. Pemilihan untuk memvisualkan beberapa imajinasi dan pemikiran Kartini pada beberapa adegan film juga dieksekusi secara handal. Arahan Bramantyo terhadap departemen produksi film turut mengangkat kelas penampilan Kartini. Penataan artistik film berada pada tingkatan yang sangat memuaskan. Sinematografer Faozan Rizal juga memberikan gambar-gambar yang begitu lembut dan indah untuk disaksikan. Pengaruh nuansa Jawa pada tata musik garapan Andi Rianto dan Charlie Meliala juga menambah kental kekuatan atmosfer tradisional yang eksotis bagi jalan penceritaan film.

Sebagai Kartini dengan sentuhan penampilan lebih modern, Sastrowardoyo sendiri tampil dengan kapasitas akting yang tidak mengecewakan. Meskipun begitu, dengan karakter yang seikonik Kartini, Sastrowardoyo entah mengapa masih terasa kurang maksimal pada beberapa bagian pengisahan – khususnya ketika karakter yang ia perankan menjadi fokus satu-satunya dalam sebuah adegan. Sastrowardoyo baru terasa bersinar dan hadir dengan kapabilitas emosional yang benar-benar meyakinkan ketika dirinya harus berhadapan dengan pemeran-pemeran lain seperti Reza Rahadian, Christine Hakim, Deddy Sutomo dan Djenar Maesa Ayu. Meskipun hanya tampil sebagai pemeran pendukung, Hakim dan Ayu justru menjadi pemeran dengan penampilan paling kuat di sepanjang pengisahan film ini. Berperan sebagai dua karakter perempuan yang sama-sama menyimpan kepedihan hati mereka selama bertahun-tahun, keduanya tampil dengan penampilan akting yang akan mampu memicu pergolakan emosional dari para penonton. Selain nama-nama tersebut, departemen akting Kartini yang juga didukung oleh penampilan dari Nova Eliza, Denny Sumargo, Adinia Wirasti dan Dwi Sasono hadir dengan kualitas solid yang bahkan mampu menjadi elemen terbaik dari kualitas keseluruhan dari Kartini

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.