Pada awal kemunculannya, DreamWorks Animation sering dipandang sebagai pesaing utama bagi kedigdayaan Pixar Animation Studios dalam menghasilkan film-film animasi. Kini, hampir dua puluh tahun semenjak merilis film animasi layar lebar perdana mereka, Antz (Eric Darnell, Tim Johnson, 1998), DreamWorks Animation terasa telah memilih untuk mengambil arah perjalanan yang berbeda dari pesaingnya tersebut. Ketika rumah produksi milik The Walt Disney Company tersebut masih berusaha untuk tampil dengan ide-ide cerita segar dan terobosan animasi yang menempatkan film-film mereka seperti WALL·E (Andrew Stanton, 2008), Toy Story 3 (Lee Unkrich, 2010) atau Inside Out (Pete Docter, 2015) yang berada di kelas kualitas berbeda dengan kebanyakan film-film animasi milik rumah produksi lainnya, maka DreamWorks Animation justru terlihat semakin nyaman untuk memproduksi film-film yang murni tampil hanya untuk menghibur para penontonnya seperti Turbo (David Soren, 2013), Penguins of Madagascar (Eric Darnell, Simon J. Smith, 2014) atau Trolls (Mike Mitchell, 2016). Bukan keputusan yang buruk, tentu saja, khususnya ketika mengingat peta persaingan yang semakin ketat dengan kemunculan banyak rumah produksi animasi lain dalam beberapa tahun belakangan.
Film terbaru produksi DreamWorks Animation, The Boss Baby, juga mengikuti pakem film hiburan yang diterapkan rumah produksi tersebut. Diarahkan oleh Tom McGrath (Madagascar 3: Europe’s Most Wanted, 2012), The Boss Baby mengisahkan tentang kerisauan hati seorang anak laki-laki, Tim Templeton (Miles Christopher Bakshi), ketika kedua orangtuanya, Ted (Jimmy Kimmel) dan Janice Templeton (Lisa Kudrow), membawa pulang seorang bayi (Alec Baldwin) yang kemudian mereka sebut sebagai adik bagi Tim. Perhatian kedua orangtua Tim yang awalnya hanya tercurah pada dirinya secara perlahan mulai terbagi pada sang bayi yang jelas membuat Tim merasa tidak senang. Curiga pada kehadiran sang bayi yang begitu tiba-tiba, Tim mulai menyelidiki asal-usul sang bayi dan menemukan bahwa bayi tersebut bukanlah sesosok bayi biasa dengan sebuah agenda rahasia yang menyertai kedatangannya di rumah keluarga Templeton.
Tidak dapat dipungkiri, naskah cerita The Boss Baby yang ditulis oleh Michael McCullers (Baby Mama, 2008) berdasarkan buku berjudul sama karya Marla Frazee menyimpan beberapa momen komedi yang kemudian berhasil dieksekusi McGrath dengan baik dan mampu menghasilkan gelak tawa penontonnya. Karakter The Boss Baby – yang digambarkan sebagai sosok bayi yang berpakaian dan berbicara layaknya seorang pria dewasa – sukses dihidupkan oleh vokal Baldwin. Dengan kelihaian vokalnya, Baldwin menjadikan The Boss Baby sebagai nyawa penceritaan film animasi ini yang membuat banyak bagian terasa begitu hidup sekaligus menyenangkan untuk diikuti. Sebagai seorang anak laki-laki yang penuh kecurigaan dengan kehadiran sosok baru yang merebut perhatian orangtuanya, Bakshi juga mampu membuat karakter Tim Templeton menjadi sosok yang menarik – bahkan kadang emosional pada beberapa kesempatan. Penampilan vokal keduanya hadir dengan chemistry yang dinamis dan membuat kedua karakter utama tersebut begitu mudah untuk disukai kehadirannya. Dukungan vokal dari Kimmel, Kudrow dan Steve Buscemi juga cukup memberikan kontribusi positif pada film ini meskipun dengan karakter-karakter yang terlalu minim porsi penceritaannya.
Meskipun begitu, terlepas dari beberapa keberhasilan tersebut, naskah cerita garapan McCullers serta pengarahan dari McGrath menyimpan cukup banyak permasalahan. Jalan cerita The Boss Baby seringkali diwarnai dengan ketidakkonsistenan pada pengembangan konflik maupun plot pengisahannya. Banyak bagian cerita yang muncul atau menghilang begitu saja tanpa pernah diberikan penceritaan yang lebih baik. Selain karakter The Boss Baby dan Tim Templeton, karakter-karakter pendukung pada jalan penceritaan film juga banyak yang hadir tanpa penggalian karakter yang kuat – khususnya karakter antagonis Francis E. Francis (Buscemi) yang memiliki potensi begitu kuat untuk menjadi sosok antagonis yang memorable namun gagal mendapatkan sentuhan penceritaan yang lebih baik. Hasilnya, daripada hadir sebagai sebuah film yang mampu memiliki penceritaan yang lebih berwarna, The Boss Baby terasa begitu datar dan menjemukan ketika kedua karakter utamanya tidak dijadikan fokus dalam pengisahannya.
Pengarahan McGrath terhadap jalan penceritaan The Boss Baby yang terasa begitu lamban, khususnya pada paruh kedua film, juga cukup mempengaruhi kelancaran film dalam bercerita. Film yang awalnya mampu dibuka dengan cukup baik dengan pengisahan konflik antara dua karakter utama yang tereksekusi meyakinkan kemudian terasa berjalan di tempat akibat ritme pengisahan yang seperti terasa kebingungan untuk menentukan arah penceritaan selanjutnya. Beruntung, paruh ketiga film yang banyak diisi dengan adegan aksi berhasil mengangkat kembali ritme penceritaan The Boss Baby. Dari kualitas produksi sendiri, The Boss Baby menawarkan tampilan yang tidak mengecewakan. Pewarnaan yang cerah jelas sangat mendukung film ini menjadi terlihat lebih atraktif. Walau akhirnya hadir dengan pengisahan yang cukup bermasalah, The Boss Baby setidaknya masih menyimpan beberapa momen yang cukup mampu memberikan hiburan pada penontonnya. Dan mungkin hal tersebut sudah cukup bagi DreamWorks Animation.
Rating :