Sekilas, Dear Nathan terlihat sebagai drama remaja yang biasa disajikan oleh deretan film Indonesia sejenis lainnya: kisah mengenai sesosok remaja pria dengan masa lalu kelam yang mencoba untuk mendekati seorang remaja perempuan cerdas sekaligus jelita di sekolahnya yang tentu saja kemudian diikuti dengan deretan drama khas remaja yang menghiasi hubungan mereka. Dear Nathan, yang diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Erisca Febriani, memang harus diakui tidak mampu menghindari dirinya dari sejumlah konflik klise yang sering ditemukan dalam film-film drama remaja Indonesia. Namun, naskah cerita film yang digarap bersama oleh Bagus Bramanti (Talak 3, 2016) dan Gea Rexy serta pengarahan yang sangat dinamis dari Indra Gunawan (Hijrah Cinta, 2014) justru berhasil mengolah segala ke-klise-an konflik drama remaja tersebut menjadi sebuah sajian cerita yang kuat dan bahkan seringkali terasa emosional. Padanan tepat yang jelas akan membuat drama remaja yang satu ini mampu mencuri hati banyak penontonnya – dan tidak hanya akan berasal dari kalangan remaja saja.
Sebagai sosok pelajar teladan, Salma (Amanda Rawles) jelas tidak akan mengira bahwa perkenalannya dengan Nathan (Jefri Nichol) akan memberikan warna baru dalam kesehariannya. Nathan, yang membantu Salma untuk menyelinap masuk ke sekolah mereka ketika ia datang terlambat, ternyata merupakan sosok pelajar yang memiliki kepribadian dan kehidupan berbeda dengan Salma. Jika gadis tersebut lebih memilih untuk mengisi hari-harinya dengan berkonsentrasi pada deretan pelajaran yang ia terima di sekolah, maka Nathan justru berusaha keras untuk menghindar dari kelasnya dan malah seringkali terlibat pertikaian fisik dengan banyak orang. Mencoba terhindar dari masalah, Salma memilih untuk menjauhi Nathan. Terlambat, Nathan yang terlanjur jatuh hati pada gadis tersebut kemudian berusaha memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada untuk merebut hatinya. Walau awalnya Salma terus bertahan untuk menutup hatinya bagi kehadiran Nathan, kesungguhan Nathan secara perlahan mulai membuahkan perhatian Salma.
Tidak seperti kebanyakan film drama remaja Indonesia lainnya, yang menghadirkan deretan dialog penuh dengan kalimat-kalimat puitis atau mengisi gambarnya dengan tata sinematografi yang mewah, Dear Nathan terasa begitu membumi dengan pembangunan jalan ceritanya. Sederhana, tidak pernah terasa berlebihan maupun mengada-ada dalam mengeksplorasi kehidupan para karakternya – yang membuat jalan cerita film ini semakin mudah untuk disukai. Film ini juga tidak melulu berfokus pada perjalanan romansa yang dialami dua karakter utamanya. Karakter-karakter pendukung yang berada di sekitar mereka diberikan ruang pengisahan yang cukup sehingga kehadiran mereka semakin mendukung solidnya kualitas penceritaan. Karakter Nathan, khususnya, mendapatkan porsi pengisahan yang menggali kisah masa lalu dan konflik pribadinya. Bramanti dan Rexy mampu menyajikan cerita tersebut dengan begitu baik sehingga seringkali menghasilkan momen-momen emosional bagi Dear Nathan – adegan pertemuan Nathan dan sang ayah (Surya Saputra) di paruh akhir pengisahan akan mampu membuat mata penontonnya berkaca-kaca (atau malah meneteskan airmata).
Tidak hanya solid dari segi penulisan naskah cerita, Gunawan juga memberikan pengarahan yang mampu mengalirkan penceritaan Dear Nathan dengan baik. Berdurasi sepanjang 99 menit, Gunawan menghadirkan perjalanan kisah filmnya dengan penceritaan yang tepat. Tidak pernah terasa terburu-buru dalam menyelesaikan konflik yang diangkat namun sama sekali tidak pernah terasa berjalan lamban dan membosankan. Pilihan Gunawan untuk mengisi adegan-adegan Dear Nathan dengan komposisi musik dan lagu-lagu pop kontemporer yang ringan namun begitu easy listening daripada berusaha memanipulasi emosi penonton dengan sajian tata musik orkestra yang mendayu-dayu juga memberikan film ini poin keunggulannya tersendiri. Kualitas produksi film juga hadir dengan kualitas prima mulai dari menghadirkan gambar yang nyaman untuk disaksikan maupun tata gambar yang mendukung atmosfer pengisahan yang sesuai dengan jalan cerita film ini.
Daya tarik Dear Nathan juga hadir dari kekuatan akting dua pemeran utamanya. Rawles dan Nichol hadir dengan chemistry yang hangat dan begitu meyakinkan. Keduanya juga mampu menghidupkan kedua karakter yang mereka perankan dengan baik sekaligus menghadirkan kepribadian yang membuat dua karakter tersebut relatable dan believable. Kredit khusus layak disematkan pada Nichol yang mampu menangani perjalanan emosional yang dialami oleh karakternya secara mendalam namun tidak pernah terasa berlebihan. Bersama dengan penampilan sebelumnya yang sama meyakinkan di Pertaruhan (Khristo Damar Alam, 2017), adalah mudah untuk melihat Nichol sebagai seorang aktor besar di masa yang akan datang. Selain Rawles dan Nichol, jajaran pemeran pendukung Dear Nathan juga dilengkapi oleh penampilan-penampilan kuat dari Saputra, Ayu Dyah Pasha, Karina Suwandi hingga penampilan dari dua aktris muda Diandra Agatha dan Beby Tsabina. Meskipun tidak sepenuhnya berjalan tanpa cela, namun Dear Nathan jelas adalah sebuah drama remaja yang sangat menyenangkan untuk disaksikan. Sebuah kualitas pengisahan yang solid.
Rating :