Setelah bertugas sebagai asisten sutradara pada film-film seperti Soekarno: Indonesia Merdeka (Hanung Bramantyo, 2013), About a Woman (Teddy Soeriaatmadja, 2014), Haji Backpacker (Danial Rifki, 2014) dan Another Trip to the Moon (Ismail Basbeth, 2015), Pritagita Arianegara melakukan debut penyutradaraannya dalam Salawaku. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Iqbal Fadly dan Titien Wattimena, Salawaku harus diakui merupakan sebuah debut yang sama sekali tidak mengecewakan. Arianegara memiliki kemampuan yang cukup lihai dalam memilihkan alur sekaligus mengarahkan aktor-aktornya untuk memberikan performa yang tepat pada cerita yang ingin ia hadirkan. Sayangnya, Salawaku gagal untuk mendapat dukungan dasar naskah cerita yang lebih kuat. Hasilnya, meskipun di sepanjang pengisahan film ini menyajikan pemandangan yang indah akan alam sekitar Pulau Seram, Maluku, Salawaku terasa kosong dan tidak mampu memberikan sisi emosional yang lebih mengikat bagi karakter maupun konflik-konflik kisahnya.
Berlatarbelakang lokasi di sebuah pedesaan di Pulau Seram, Maluku, perjalanan Salawaku dimulai ketika karakter utama film ini, Salawaku (Elko Kastanya), secara tiba-tiba ditinggal oleh kakak perempuannya, Binaiya (Raihaanun). Penasaran mengapa sang kakak yang tega meninggalkan dirinya sendirian, Salawaku lantas memutuskan untuk berangkat sendirian ke Piru – sebuah wilayah yang letaknya jauh dari desa tempatnya tinggal namun diingat Salawaku sebagai lokasi tujuan sang kakak pergi. Di tengah perjalanannya yang menggunakan perahu, Salawaku lantas bertemu dengan Saras (Karina Salim), seorang wanita muda asal Jakarta yang tengah tersesat dalam liburannya di Maluku. Walau pada awalnya hanya ingin memanfaatkan bantuan Salawaku untuk kembali ke hotelnya, Saras yang secara perlahan mulai merasakan simpati pada Salawaku lantas memilih untuk menemani anak laki-laki itu dalam usahanya untuk mencari keberadaan sang kakak.
Sebagai sebuah road movie dengan karakter dan konflik yang terbatas, Salawaku sebenarnya memiliki kesempatan untuk tampil menjadi sebuah film dengan pengisahan yang lebih padat dan menarik melalui eksplorasi kisah antara karakter-karakternya, mulai dari perkenalan antara karakter Salawaku dan Saras – yang nantinya disusul oleh karakter Kawanua (Joshua Matulessy), latar belakang kehidupan sebelum mereka bertemu hingga konflik yang akhirnya mempertemukan mereka. Namun, pengembangan kisah Salawaku justru terasa minimalis di sepanjang 82 menit durasi perjalanan film ini. Tentu, satu karakter berinteraksi dan banyak berdialog dengan karakter lainnya. Interaksi tersebut, sayangnya, terasa begitu monoton dan tidak pernah benar-benar hidup akibat hadirnya kecanggungan yang cukup mengganggu dalam deretan dialog yang tercipta antar karakter. Kisah yang disajikan juga tidak pernah terasa benar-benar mengikat. Banyak konflik yang terasa jalan di tempat atau hadir tanpa penggalian kisah yang lebih mendalam. Lihat saja konflik pribadi yang dialami oleh karakter Saras atau konflik yang kemudian terbentuk antara dirinya dengan karakter Kawanua. Terkesan tersaji hanya sekedar untuk mengisi waktu sebelum Salawaku menghadirkan konflik puncaknya.
Aliran emosional dalam jalan cerita film baru mulai dirasakan ketika karakter Binaiya akhirnya benar-benar dihadirkan secara utuh di dalam penceritaan Salawaku. Konflik yang sedari awal hadir dalam porsi yang setengah matang kemudian mampu dipaparkan dengan sepenuhnya sekaligus disajikan dengan konklusi yang cukup memuaskan. Tidak akan mampu menutupi lubang yang terlanjur hadir akibat lemahnya penceritaan di bagian sebelumnya namun setidaknya cukup berhasil membuat Salawaku masih memiliki daya tarik penceritaan tersendiri. Pesona Salawaku juga jelas terdorong kuat oleh pencapaian kualitas produksi film ini. Tata sinematografi arahan Faozan Rizal berhasil menangkap keeksotisan alam sekitar Maluku. Bukan pernyataan yang berlebihan pula jika beberapa penonton akan merasakan lebih menikmati kualitas gambar film ini daripada penyajian ceritanya. Iringan musik dari Thoersi Argeswara juga beberapa kali mampu mengisi sekaligus memperkuat datarnya sentuhan emosional di beberapa adegan. Not bad.
Arahan Arianegara sendiri terasa paling kuat berpengaruh pada penampilan para pengisi departemen akting film ini. Terlepas dari lemahnya jalan penceritaan, penampilan akting Kastanya, Salim, Matulessy dan Raihaanun dapat memberikan kekuatan tersendiri bagi jalan pengisahan Salawaku. Meski chemistry yang terjalin antara keduanya sering terasa dipaksakan, Kastanya dan Salim hadir dengan penampilan yang tidak mengecewakan. Begitu pula dengan Matulessy yang mampu memberikan warna tambahan pada pengisahan film ketika penampilan Kastanya dan Salim terasa terlalu datar. Kredit lebih jelas layak diberikan pada Raihaanun. Dengan karakternya yang memegang peran krusial pada jalan cerita Salawaku, Raihaanun berhasil menyajikan penampilan akting yang begitu berkelas. Berkat penampilannya, Sawalaku mampu menorehkan kesan emosional bagi penonton. Salawaku jelas bukanlah sebuah kegagalan total. Dengan olahan kisah dan karakter yang lebih mendalam, Sawalaku memiliki potensi untuk menjadi sebuah drama yang lebih kuat dan tidak hanya sekedar menjadi sebuah film Indonesia lain yang bertumpu pada keindahan sinematografinya untuk mendapatkan perhatian penonton.
Rating :