Review

Info
Studio : Warner Bros. Pictures
Genre : Action, Adventure, Fantasy
Director : Jordan Vogt-Roberts
Producer : Mary Parent, Thomas Tull, Jon Jashni, Alex Garcia
Starring : Tom Hiddleston, Brie Larson, Samuel L. Jackson, John Goodman, Toby Kebbel, John C. Reilly

Rabu, 08 Maret 2017 - 21:55:54 WIB
Flick Review : Kong: Skull Island
Review oleh : Haris Fadli Pasaribu (@oldeuboi) - Dibaca: 1998 kali


Sebagai salah satu ikon sinema terbesar, sebenarnya patut dipertanyakan apa perlunya untuk meremake/reboot lagi King Kong. Apalagi masih cukup segar di ingatan King Kong karya Peter Jacksson (2005) yang hadir dengan kualitas terhitung baik, terlepas dari durasinya yang agak kepanjangan.Meski begitu, selepas remake/reboot Godzilla (2014), Legendary Pictures berniat untuk menghadirkan seri MonsterVerse mereka. Dan itu termasuk “menghidupkan kembali King Kong, yang kemudian hadir dalam Kong: Skull Island.

Semenjak pertama kali menghuni layar lebar di tahun 1933, sudah ada beberapa varian dari King Kong, termasuk karya Jackson tadi. Oleh karenanya versi mutakhir ini harus memiliki variasi ide lain untuk membedakan dengan film yang sudah-sudah. Syukurlah duo penulis naskah Dan Gilroy (Nightcrawler) dan Max Borenstein (Godzilla) punya ide segar itu.

Memanfaatkan seting 1973, di mana Perang Vietnam memasuki akhirnya dan skandal Watergate tengah menanti, Kong: Skull Island dengan cerdik memasukkan sentimen politis serta filosofi anti-perang pula di tengah kecamuk sang Kong dan monster-monster raksasa lain di pulau Tengkorak.

Semenjak barisan promosi film, entah trailer atau poster, yang memperlihatkan jika Kong: Skull Island meminjam visual dan aura Apocalypse Now (1979) karya Francis Ford Coppola, maka sudah ditebak jika perang dan segala konsekuensinya menjadi bagian dari narasi film, selain memperkenalkan ulang mitologi sang Kong.

Alih-alih Viet Cong, para tentara pimpinan Letkol Preston Packard (Samuel L. Jackson) kini harus berperang dengan Kong lain, meski sebenarnya tindakan agresif Packard, terlepas dari fakta jika merekalah yang sebenarnya telah mengusik wilayah sang kera raksasa, adalah egoisme sisa-sisa perang yang berbuntut pada ambis pribadi tak berdasar.

Tapi Kong: Skull Island bukan melulu “film perang” belaka. Karena bagaimanapun ia tetap sebuah fantasi-petualangan, sehingga ia tetap harus menyajikan hal tersebut. Lagi pula, sebagaimana yang telah diset sebelumnya, Kong: Skull Island adalah bagian dari seri monster raksasa dari Legendary, sehingga ia harus bersinggungkan dengan film pertama dari seri ini, Godzilla.

Oleh karena itu film menghadirkan organisasi Monarch sebagai penghubung, yang kali ini diwakili oleh William Randa (John Goodman), yang meminta Packard beserta mantan tentara Inggris, James Conrad (Tom Hiddleston) untuk menyertai ekspedisinya ke pulau Tengkorak yang misterius. Turut serta pula seorang jurnalis foto bernama Mason Weaver (Brie Larson).

Karakter yang diperankan Larson ini sebenarnya menjadi “perwakilan” dari karakter perempuan yang bersinggungan dengan King Kong, sebagaimana yang diperankan oleh Fay Wray dalam King Kong versi 1933, Jessica Lange dalam versi 1976 dan tentu saja Naomi Watts dalam versi 2005.

Hanya saja Kong: Skull Island pada dasarnya adalah sebuah film dengan ensemble cast, sehingga setiap karakter memiliki porsinya tersendiri, sehingga mau tidak mau porsi romantisasi interaksi antara Mason Weaver dan sang Kong harus diminimalisir, meski tetap memiliki kedalalaman tersendiri. Untungnya karakter Mason Weaver tidak sekedar damsel-in-distress belaka, karena naskah mengizinkan dirinya untuk hadir secara lebih reaktif.

Sebagai ensemble cast dengan karakter yang jumlahnya tidak sedikit, film cukup baik menampilkan momen-momen menentukan untuk tiap karakter, meski tidak semuanya memiliki porsi besar. Setidaknya yang mungkin hanya numpang lewat dan nyaris tanpa kontribusi adalah aktris asal Tiongkok, Jing Tian, yang berperan sebagai salah satu anggota Monarch.

Jackson, Goodman dan Larson mendapat porsi yang besar dan signifikan. Sayangnya tidak demikian dengan Hiddleston, yang karakternya berkilau hanya di saat-saat adegan aksi saja. Yang paling mencuri perhatian ternyata adalah John C. Reilly, dalam perannya sebagai veteran Perang Dunia II bernama Hank Marlow yang terdampar di pulau Tengkorak sekitar 28 tahun sebelumnya. Reilly mungkin bertugas untuk menghadirkan sentuhan komedi di tengah ketegangan film, namun ia ternyata juga mampu memberi sisi emosional menyentuh pula.

Untuk sang Kong sendiri, selain ukurannya yang lebih gigantis dibandingkan biasanya (dan disebutkan masih akan bertambah besar lagi), film berhasil menghadirkan King Kong versi terbaru yang selain sangat tangguh dan perkasa, tapi juga memiliki karakteristik yang lebih dari sekedar karikatur belaka.

Karakter-karakter yang bernuansa ini menjadi nilai lebih untuk Kong: Skull Island untuk menjadi sebuah film yang lebih dari hanya menjual efek khusus belaka. Oleh karenanya, menyebutkan Kong: Skull Island sebagai film komersial murni mungkin tidak tepat juga.

Sebagai sebuah blockbuster seru dan gegap-gempita, ia memiliki semua formulanya. Kong: Skull Island pun memiliki efek khusus kelas wahid. Sang King Kong, dan aneka monster lain, menjadi hidup dan meyakinkan. Visual olahan penata sinematografi langganan Zach Snyder, Larry Fong, memukau dan memanjakan mata.

Namun, ia juga memiliki sisi humanis (dan King Kong-nis) yang membuat ia terasa lebih dari sekedar sebuah aksi komikal penuh gaya belaka. Ada kedalaman tersendiri yang menjadikan film terasa lebih membumi dan kemudian lekat di benak. Ini semua tentu saja berkat kinerja sang sutradara, Jordan Vogt-Roberts (The Kings of Summer) yang telaten dalam menyeimbangkan sisi aksi-eskapis dan dramatik film.

Berkat tangan dinginnya, Kong: Skull Island menjadi sebuah film blockbuster yang “tak biasa”. Suram di satu sisi, cerah di sisi lain. Kadang fatalistik. Kadang justru optimistik. Ia adalah sebuah petualangan yang seru serta menyenangkan sekaligus menggelisahkan. Yang pasti, dengan Kong: Skull Island, Jordan Vogt-Roberts memberi harapan jika film hiburan Hollywood yang organis tidaklah punah begitu saja.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.