Ketika pertama kali dirilis pada tahun 2003, buku Jakarta Undercover karangan Moammar Emka berhasil menjadi bahan perbincangan hangat di kalangan pecinta literatur Indonesia, khususnya karena buku tersebut berisi kumpulan cerita yang dengan berani mengangkat berbagai sisi kehidupan seksual warga Jakarta yang selama ini masih belum banyak diketahui atau malah dianggap tabu untuk dibicarakan. Emka kemudian melanjutkan kesuksesan bukunya dengan menerbitkan dua seri Jakarta Undercover lainnya, Jakarta Undercover 2: Karnaval Malam yang dirilis pada tahun 2006 serta Jakarta Undercover 3: Forbidden City yang hadir setahun setelahnya. Layaknya banyak novel sukses lainnya, Jakarta Undercover menarik perhatian produser Erwin Arnada yang berniat untuk mengadaptasi buku tersebut menjadi sebuah film layar lebar. Dengan bantuan penulis naskah Joko Anwar, versi film dari Jakarta Undercover yang diarahkan oleh Lance dan dibintangi Luna Maya, Lukman Sardi, Fachri Albar serta Christian Sugiono akhirnya dirilis pada awal tahun 2007. Sayang, terlepas dari banyaknya perhatian yang diberikan pada versi film dari Jakarta Undercover akibat deretan permasalahan yang harus dihadapi film tersebut ketika berhadapan dengan Lembaga Sensor Film, Jakarta Undercover mendapatkan reaksi yang tidak begitu menggembirakan, baik dari banyak kritikus film maupun para penonton film Indonesia.
Kini, sepuluh tahun semenjak perilisan versi film dari Jakarta Undercover, sutradara Fajar Nugros (Cinta Selamanya, 2015) menghadirkan interpretasinya sendiri atas buku tulisan Emka tersebut. Jika Jakarta Undercover arahan Lance mengadaptasi cerita yang ada di dalam buku Jakarta Undercover, maka adaptasi film Jakarta Undercover arahan Nugros – yang diberi judul Moammar Emka’s Jakarta Undercover – mencoba mengisahkan bagaimana cerita-cerita yang ada dalam buku tersebut didapatkan penulisnya. Kembali bekerjasama dengan penulis naskah Cinta Selamanya, Piyu Syarif, naskah cerita garapan Nugros harus diakui mampu memberikan sentuhan yang cukup segar terhadap tema penceritaan Jakarta Undercover yang kini mungkin telah dirasakan cukup familiar dan sering diangkat oleh film-film Indonesia lainnya. Tidak hanya itu. Nugros juga berhasil mempersenjatai filmnya dengan barisan pemeran dengan kualitas akting yang benar-benar kuat. Sebuah paduan yang akhirnya membuat Moammar Emka’s Jakarta Undercover garapannya berhasil menjadi sebuah sajian yang tidak hanya berani namun juga sukses mengikat perhatian penontonnya.
Moammar Emka’s Jakarta Undercover memulai pengisahannya dengan memperkenalkan penonton pada karakter utama filmnya, Pras (Oka Antara). Demi mengejar cita-citanya menjadi seorang jurnalis, Pras kemudian memilih untuk hijrah ke Jakarta dan berguru pada Djarwo (Lukman Sardi) yang merupakan seorang pemimpin redaksi sebuah majalah berita. Dalam sebuah perjalanannya, Pras berkenalan dengan seorang penari malam bernama Awink (Ganindra Bimo). Tanpa disangka, perkenalannya dengan Awink lantas membawa Pras pada kehidupan malam kota Jakarta yang sama sekali tidak pernah ia perkirakan keberadaannya. Dunia baru itulah – yang kebanyakan berisi kisah tentang kehidupan seksual atau penyalahgunaan obat-obatan atau berbagai perbuatan kriminal yang dilakukan oleh para penghuni ibukota – yang kemudian menginspirasi Pras dalam menulis artikel terbarunya. Sebuah artikel yang diberinya judul Jakarta Undercover yang kelak akan menggemparkan banyak pihak setelah diterbitkan melalui majalah tempat Pras bekerja.
Sejujurnya, materi pengisahan yang disusun oleh Nugros dan Syarif untuk Moammar Emka’s Jakarta Undercover bukanlah sebuah materi pengisahan yang benar-benar istimewa. Namun, keputusan untuk berkonsentrasi pada pengembangan dramatisasi dan karakter dalam jalan cerita film berhasil membuat kualitas penceritaan film menjadi lebih kuat. Meskipun digali secara perlahan, naskah cerita Moammar Emka’s Jakarta Undercover secara konsisten terus mengikuti alur setiap konflik dan karakter yang telah dihadirkan tanpa pernah terasa kehilangan jejak ataupun melebar sehingga membuat konflik maupun karakter tersebut kemudian gagal untuk bercerita secara efektif. Nugros juga layak diberikan kredit lebih atas treatment-nya pada jalan pengisahan film yang sebenarnya diwarnai banyak sentuhan sensual namun mampu ditangani dengan cara yang lebih berkelas. Daripada menyajikan alur kisah sensual tersebut secara lantang – dengan ancaman pengguntingan paksa dari Lembaga Sensor Film yang jelas akan merusak estetika tata gambar film – Nugros mampu mengakalinya dengan beberapa teknik cerdas yang tetap mampu menyajikan unsur sensual tanpa pernah terasa benar-benar vulgar.
Jalan penceritaan Moammar Emka’s Jakarta Undercover sendiri bukannya tanpa masalah. Beberapa konflik dan karakter yang dihadirkan tidak mampu diberikan pengembangan secara lebih baik dan mendalam. Paruh ketiga penceritaan, khususnya, bahkan terasa kurang matang pengolahannya jika dibandingkan dengan dua bagian pengisahan sebelumnya. Penataan konflik dan karakter yang awalnya disajikan secara perlahan kemudian terasa terburu-buru untuk diselesaikan. Pilihan ending cerita juga harus diakui gagal untuk memberikan klimaks yang memuaskan. Masalah-masalah tersebut sebenarnya bukanlah masalah yang terlalu berpengaruh pada kualitas penceritaan Moammar Emka’s Jakarta Undercover secara keseluruhan. Namun, tetap saja, jika saja Nugros memberikan penataan cerita yang lebih baik atau memilih untuk lebih meringkaskan cerita yang ia hadirkan, mungkin Moammar Emka’s Jakarta Undercover akan mampu tampil dengan kesan yang lebih mendalam.
Terlepas dari beberapa kelemahan pada penceritaannya, Nugros mampu mendapatkan kualitas penampilan yang sangat kuat dari deretan pengisi departemen akting filmnya. Antara tampil meyakinkan sebagai sosok Pras – meskipun pada beberapa kesempatan penampilannya sedikit mengingatkan akan karakter Rasus dari Sang Penari (Ifa Isfansyah, 2011). Sardi, Agus Kuncoro dan Tio Pakusadewo mampu memberikan penampilan maksimal pada karakter mereka yang memiliki ruang cerita yang minimalis. Nugros bahkan dapat mengarahkan model Tiara Eve untuk memberikan penampilannya yang sangat berkesan bagi film ini. Namun, tidak akan ada yang menyangkal bahwa penampilan Bimo dan Baim Wong merupakan dua penampilan yang paling mengesankan dalam film ini. Baik Bimo maupun Wong sebenarnya hadir memerankan karakter yang memiliki penggambaran cukup mencolok. Beruntung, keduanya hadir dalam kapasitas akting yang sama sekali tidak berlebihan sehingga kedua karakter mereka tidak pernah terlihat sebagai dua sosok karakter yang komikal dan justru terlihat begitu alami.
Rating :