Boven Digoel adalah nama sebuah kabupaten yang lokasinya terletak di Provinsi Papua, Republik Indonesia. Namun, bagi masyarakat Indonesia, nama Boven Digoel jelas akan selamanya diingat sebagai lokasi bersejarah tempat tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dan Sayuti Melik diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa penjajahan dahulu. Lokasinya yang jauh dan terpelosok jelas menjadi faktor utama mengapa pemerintah Belanda memilih tempat tersebut untuk mencegah para tokoh-tokoh tersebut dalam memberikan pengaruh lebih besar kepada rakyat Indonesia untuk terus berjuang dalam meraih kemerdekaan negara mereka. Di saat yang bersamaan, letak Boven Digoel yang terpencil itu pula yang membuat daerah tersebut mengalami ketertinggalan pembangunan yang cukup jauh dibandingkan dengan banyak wilayah lain bahkan bertahun-tahun setelah Indonesia meraih kemerdekaannya.
Ketertinggalan Boven Digoel itulah, khususnya di bidang pelayanan kesehatan kepada masyarakat di daerah tersebut, yang akhirnya menginspirasi seorang pemuda setempat bernama John Manangsang (Joshua Matulessy) untuk kemudian meraih pendidikan kedokteran di Jakarta. Meskipun dengan segala keterbatasan finansial yang ia miliki namun berkat tekadnya yang kuat dan bulat, serta doa Mama (Christine Hakim), John akhirnya berhasil meraih gelar dokter dan segera kembali ke kampung halamannya untuk memberikan pelayanannya pada masyarakat daerah tersebut. Bukan hal yang gampang. Selain karena masih banyaknya daerah sekitar Boven Digoel yang sulit diraih oleh alat transportasi yang ada, banyak masyarakat Boven Digoel yang masih lebih mempercayai pengobatan yang dilakukan oleh para dukun daripada oleh para tenaga medis. Tantangan-tantangan itulah yang harus dihadapi John dalam menjalani profesinya sebagai seorang dokter di daerah Boven Digoel.
Alur cerita yang disajikan dalam Boven Digoel – yang dari kisah nyata yang tertuang dalam buku berjudul Catatan Seorang Dokter Dari Belantara Boven Digul yang ditulis oleh Manansang sendiri – sebenarnya pernah dihadirkan dalam film berjudul Silet di Belantara Digoel Papua arahan Henry W. Muabuay. Film yang digarap oleh sineas asal Papua tersebut bahkan berhasil memenangkan kategori Film Daerah Terbaik pada penyelenggaraan Piala Maya di tahun 2015 lalu. Sutradara debutan FX Purnomo sendiri berhasil menyajikan Boven Digoel dalam bangunan cerita cerita yang runut dan tertata cukup rapi. Meskipun naskah cerita yang ia susun bersama Jujur Prananto (Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara, 2016) hadir dalam struktur cerita yang (terlalu) sederhana, namun fokus yang kuat pada pengarahan Purnomo mampu membuat Boven Digoel terus mengalir bercerita dengan lancar di setiap bagian pengisahannya.
Di sisi lain, kesederhanaan bangunan penceritaan Boven Digoel justru membuat film ini kehilangan sentuhan sinematis penceritaannya. Daripada terasa sebagai sebuah film bioskop, konflik demi konflik yang tersaji dalam film ini seringkali terasa seperti reka adegan atau hanyalah sebuah penggambaran dari susunan konflik yang sebelumnya telah tertera dalam buku yang menjadi sumber pengisahannya. Hal ini masih ditambah dengan minimalisnya pengembangan cerita bagi karakter-karakter pendukung yang berada dalam keseharian hidup sang karakter utama. Seringkali, karakter-karakter pendukung tersebut hanya hadir sebagai plot device tanpa pernah mendapatkan fungsi pengisahan yang benar-benar kuat. Lihat saja bagaimana konflik rumah tangga antara karakter John Manangsang dan istrinya, Ivonne (Ira Dimara), yang tampil dan menghilang begitu saja. Begitu juga dengan keberadaan karakter Mama yang digambarkan sebagai satu karakter vital dalam kehidupan karakter John Manangsan namun tidak pernah benar-benar diberikan kesempatan untuk digambarkan bagaimana “vital”-nya keberadaan karakter tersebut bagi sang karakter utama. Purnomo dan Prananto mungkin ingin menghindar dari penceritaan isnpiratif yang terlalu dramatis bagi film ini. Namun, sebagai sebuah sajian layar lebar, adanya dramatisasi di beberapa konflik mungkin akan mampu meningkatkan intensitas emosional beberapa adegan dalam penceritaan Boven Digoel.
Matulessy yang berperan sebagai John Manangsang sendiri harus diakui tampil dengan kualitas akting yang prima dalam film ini. Karakter yang ia perankan memang seringkali terjebak dalam penggambaran karakteristik yang terlalu sempit. Namun daya tarik Matulessy membuat karakternya mampu terus hadir menangkap perhatian penonton. Para pemeran lain, termasuk Hakim, tidak mendapatkan porsi penampilan yang benar-benar berarti. Meskipun begitu, setidaknya tidak ada satupun penampilan akting dalam Boven Digoel yang terasa merusak kualitas penampilan film ini secara keseluruhan. Salah satu elemen Boven Digoel yang juga terlihat menonjol adalah tata sinematografi garapan Yudi Datau yang sangat berhasil dalam menangkap keindahan sekaligus keterpencilan wilayah alam di sekitar Boven Digoel. Begitu memesona sekaligus menjadi bagian yang membuat mengapa Boven Digoel masih sangat layak untuk disaksikan.
Rating :