Review

Info
Studio : DreamWorks Pictures/Reliance Entertainment/Marc Platt Productions
Genre : Drama, Mystery, Thriller
Director : Tate Taylor
Producer : Marc Platt
Starring : Emily Blunt, Haley Bennett, Rebecca Ferguson, Justin Theroux, Luke Evans

Selasa, 03 Januari 2017 - 19:09:11 WIB
Flick Review : The Girl on the Train
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 1955 kali


Setelah meraih sukses besar dengan The Help (2011) serta sempat merilis Get on Up (2014) – sebuah biopik yang berkisah tentang kehidupan penyanyi legendaris James Brown yang berhasil mendapatkan banyak pujian dari kritikus film dunia namun kurang begitu mampu dalam menarik perhatian penonton, Tate Taylor kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk The Girl on the Train. Film yang diadaptasi dari novel popular berjudul sama karya Paula Hawkins ini berkisah mengenai seorang wanita alkoholik yang terlibat dalam kasus hilangnya seorang wanita yang sama sekali belum pernah ia temui – sebuah premis yang mungkin akan mengingatkan penontonnya pada Gone Girl (2014) arahan David Fincher. Sayangnya, berbeda dengan Fincher, arahan Taylor terhadap alur kisah mister yang ditawarkan oleh The Girl on the Train memiliki begitu banyak problema. Film yang seharusnya mampu tampil menegangkan dengan berbagai teka-teki pengisahannya justru kemudian terpuruk menjadi sebuah sajian yang jauh dari tampilan kualitas yang mengesankan.

The Girl on the Train sendiri membagi alur penceritaannya kepada tiga orang protagonis wanita, seorang wanita alkoholik yang baru saja bercerai dengan suaminya, Rachel Watson (Emily Blunt), wanita yang kini menikahi mantan suami Rachel Watson, Anna Boyd (Rebecca Ferguson), serta tetangga Anna yang juga bekerja sebagai pengasuh bayinya, Megan Hipwell (Haley Bennett). Rachel sendiri masih belum dapat menerima keberadaan Anna yang kini menggantikan posisinya sebagai wanita dalam kehidupan mantan suaminya, Tom Watson (Justin Theroux). Rasa kecemburuannya tersebut, ditambah dengan pengaruh alkohol yang selalu ditenggaknya, membuat Rachel selalu menguntit kehidupan pernikahan Anna dan Tom yang baru saja dikaruniai seorang anak. Rachel bahkan sempat masuk secara diam-diam ke dalam kediaman Anna dan Tom. Suatu hari, tetangga Anna, Megan, dilaporkan menghilang dari kediamannya. Sial, bukti-bukti yang dikumpulkan polisi kemudian justru mengarah bahwa Rachel berada di sekitar wilayah kediaman Anna dan Tom ketika peristiwa hilangnya Megan terjadi. Rachel, yang memiliki ingatan begitu rapuh akibat pengaruh alkohol, secara perlahan mulai mempercayai bahwa dirinya terlibat dalam peristiwa hilangnya wanita yang sama sekali belum pernah ditemuinya tersebut.

Permasalahan utama dari pengisahan The Girl on the Train harus diakui berakar dari pengarahan Taylor yang cukup lemah terhadap kisah misteri yang ingin disampaikan oleh filmnya. Taylor sepertinya berusaha sekuat mungkin untuk menyimpan dalam-dalam kejutan cerita yang nantinya akan dibuka pada paruh ketiga penceritaan. Bukan sebuah masalah sebenarnya jika Taylor ingin agar penonton mendapatkan sebuah kejutan di penghujung penceritaan film. Namun, dalam usahanya untuk menyimpan kejutan dan berbagai petunjuk atas keberadaan kejutan tersebut, Taylor terasa terlalu sibuk untuk mengulur-ulur pengisahan film dengan plot yang cenderung terasa repetitif serta penggantian fokus antar karakter yang seringkali terasa menjemukan. Kegagalan untuk memberikan kehidupan yang layak pada pengisahan film di paruh pertama dan kedua inilah yang kemudian membuat kejutan cerita yang dihadirkan di paruh ketiga justru menjadi terkesan kurang meyakinkan.

Kesalahan sebenarnya tidak patut diembankan sepenuhnya pada Taylor. Sebagai sebuah cerita yang berpaku penuh pada gerak-gerik setiap karakter yang hadir dalam jalan penceritaannya, The Girl on the Train tampil dengan pengembangan karakter yang terlalu minimalis. Selain karakter Rachel Watson, penonton hampir tidak pernah diberikan kesempatan untuk mengenal lebih dalam dua karakter wanita lainnya, Anna Boyd dan Megan Hipwell. Naskah garapan Erin Cressida Wilson (Men, Women & Children, 2015) juga tidak mampu memberikan ruang penceritaan yang cukup layak bagi banyak karakter-karakter pendukung lainnya. Akhirnya, karakter-karakter tersebut lebih sering terasa tampil dengan kapasitas pengisahan yang kurang begitu berarti daripada untuk menambah lapisan misteri pada penceritaan keseluruhan film.

Departemen akting film sendiri tampil dengan kualitas yang tidak mengecewakan. Blunt tampil luar biasa meyakinkan sebagai sosok wanita alkoholik yang masih belum mampu melupakan fakta bahwa mantan suaminya kini telah memiliki kekasih hati yang lain. Ferguson dan Bennett juga tampil bagus – meskipun dengan porsi pengisahan yang terasa begitu dikesampingkan dan tanpa penggalian karakter yang lebih baik. Karakter-karakter pria yang diperankan Theroux, Luke Evans dan Édgar Ramírez bahkan terlihat lebih menyedihkan. Keberadaan mereka lebih sering hadir sebagai plot device daripada sebagai bagian penceritaan itu sendiri. Namun hal tersebut masih tidak sebanding dengan keberadaan karakter detektif yang diperankan Alison Janney yang hampir tampil tanpa guna sedikitpun. Deretan talenta yang terasa begitu terbuang percuma akibat pengembangan cerita yang begitu berantakan.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.