Expectations are quite high with this one. Selain karena belum ada film hasil adaptasi dari permainan video yang kualitasnya benar-benar tampil memuaskan, Assassin’s Creed juga kembali mempertemukan sutradara Justin Kurzel dengan dua aktor kaliber Oscar, Michael Fassbender dan Marion Cotillard, yang sebelumnya meraih sukses lewat Macbeth (2015) – yang kini dianggap sebagai salah satu adaptasi karya William Shakespeare terbaik oleh para kritikus film dunia. So what could go wrong, right? Sayangnya, mimpi untuk mendapatkan sebuah film hasil adaptasi permainan video yang benar-benar memuaskan kembali harus dipendam dalam karena film yang diadaptasi dari permainan video aksi petualangan karya Ubisoft ini justru semakin menambah panjang daftar film-film hasil adaptasi permainan video produksi Hollywood dengan kualitas yang mengecewakan.
Dengan naskah cerita yang ditulis oleh duo Adam Cooper dan Bill Collage (The Divergent Series: Allegiant, 2016) bersama dengan Michael Lesslie (Macbeth, 2015), pengisahan Assassin’s Creed dimulai ketika seorang ilmuwan bernama Sophia Rikkin (Cotillard) menghidupkan kembali seorang pembunuh yang baru saja dihukum mati, Callum Lynch (Fassbender). Hal itu dilakukan Sophia bersama sang ayah yang juga merupakan pimpinan Abstergo Industries, Alan Rikkin (Jeremy Irons), untuk melacak jejak masa lalu dari pendahulu Callum Lynch yang diduga merupakan sosok penting bernama Aguilar de Nerha. Walaupun sama sekali mengerti keterlibatannya dalam proyek sains tersebut, Callum Lynch terpaksa mengikuti segala prosedur percobaan yang diberlakukan terhadap dirinya. Secara perlahan, akibat dorongan prosedur percobaan tersebut, Callum Lynch mulai menemukan jejak pendahulunya dan menemukan titik terang dari apa yang sebenarnya diinginkan oleh Sophia dan ayahnya.
Entah mengapa, pengarahan Kurzel yang begitu brilian pada naskah cerita bernuansa politis sekompleks Macbeth kini terasa kehilangan arah dan kekuatannya. Bahkan semenjak film ini menampilkan adegan perdananya, Assassin’s Creed telah tampil dengan kualitas yang meragukan. Baiklah, kesalahan tidak sepatutnya dibebankan sepenuhnya pada Kurzel. Naskah cerita arahan Lesslie, Cooper dan Collage juga tidak berada dalam kondisi yang prima dengan begitu banyaknya karakter dan kisah pendukung yang gagal untuk tergali dengan baik. Namun, pengarahan Kurzel membuat naskah cerita terasa tampil lebih buruk. Kurzel seperti terasa kebingungan untuk menempatkan ritme yang tepat bagi penceritaan Assassin’s Creed yang berada dalam dua latar belakang waktu yang berbeda. Hal ini yang membuat Assassin’s Creed lebih sering terasa membingungkan sekaligus berjalan datar daripada terasa sebagai sajian aksi petualangan yang menarik dan memuaskan.
Dari segi teknikal, Assassin’s Creed tampil dengan kualitas yang tidak terlalu buruk. Sebagai sebuah film yang diadaptasi dari permainan video, Assassin’s Creed tampil dengan kualitas teknikal yang berkelas. Kurzel juga cukup lihai menggarap adegan-adegan aksi dan peperangan yang berhasil memberikan film ini momen-momen terbaiknya. Begitu juga dari dari jajaran pengisi departemen akting. Selain Fassbander dan Cotillard, Assassin’s Creed juga didukung penampilan dari Irons, Brendan Gleeson dan Charlotte Rampling. Jelas nama-nama dengan kualitas akting yang jauh dari kesan meragukan. Sayang, dengan kualitas penulisan karakter yang cukup dangkal, penampilan para pemeran film ini menjadi begitu terbatas. Assassin’s Creed akhirnya berakhir sebagai sebuah film dengan potensi yang cukup besar namun gagal untuk dikembangkan menjadi sebuah sajian yang lebih kuat.
Rating :