Review

Info
Studio : Starvision
Genre : Drama
Director : Guntur Soeharjanto
Producer : Chand Parwez Servia, Fiaz Servia
Starring : Velove Vexia, Deva Mahenra, Nino Fernandez, Ira Wibowo, Dewi Yull

Jumat, 02 Desember 2016 - 11:03:23 WIB
Flick Review : Cinta Laki-Laki Biasa
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 4690 kali


Setelah sebelumnya bekerjasama dalam Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea (2016), sutradara Guntur Soeharjanto kembali bekerjasama dengan penulis Asma Nadia dan Alim Sudio untuk Cinta Laki-Laki Biasa. Well… Judul film ini mungkin akan membuat beberapa orang lantas memandang sebelah mata. Atau malah premis yang dijual tentang kisah cinta segitiga dalam balutan nuansa reliji yang, harus diakui, telah terlalu sering “dieksploitasi” oleh banyak pembuat film Indonesia. Namun, jika Anda mampu melepas segala prasangka dan memberikan film ini sebuah kesempatan, Cinta Laki-Laki Biasa adalah sebuah drama romansa yang tergarap dengan cukup baik, mulai dari penataan naskah dan ritme penceritaan hingga chemistry yang terasa begitu hangat dan meyakinkan antara dua bintang utamanya, Deva Mahenra dan Velove Vexia.

Perjalanan Cinta Laki-Laki Biasa sendiri dimulai ketika dua karakter utamanya, Nania (Vexia) dan Rafli (Mahenra), bertemu dalam sebuah proyek pembangunan rumah sederhanan. Nania berada disana untuk melaksanakan tugas kuliahnya sebagai seorang calon arsitek dan, sebagai seorang pimpinan lapangan dalam proyek tersebut, Rafli lantas ditunjuk menjadi mentor bagi Nania. Hubungan keduanya berkembang menjadi hubungan asmara dengan Rafli segera menyatakan keinginannya untuk melamar Nania menjadi isterinya. Nania lantas menerima lamaran Rafli terlepas dari perbedaan status sosial antara keduanya yang membuat ibu Nania (Ira Wibowo) dan ketiga kakak perempuannya (Dewi Rezer, Fanny Fabriana, Donita) menentang keras hubungan tersebut. Jalinan cinta yang kuat antara keduanya membuat bahtera rumah tangga Nania dan Rafli penuh dengan kebahagiaan. Sayang, sebuah kecelakaan kemudian terjadi dan membuat Nania mengalami amnesia yang merenggut sebagian ingatannya, termasuk ingatan akan cinta dan pernikahannya dengan Rafli. Tidak mudah menyerah, Rafli berusaha sekuat tenaganya untuk membuat Nania mengingat dan merasakan kembali kebahagiaan cinta yang dulu pernah mereka rasakan.

Hal yang menjadi keunggulan utama bagi Cinta Laki-Laki Biasa, jika ingin dibandingkan dengan film-film bernuansa sejenis, adalah naskah cerita arahan Sudio tidak pernah terasa memaksakan ide cerita yang ingin disampaikannya ke penonton. Tidak ada adegan drama sendu maupun melankolis yang berlebihan. Tidak ada sentuhan reliji yang berkesan harus ada ditampilkan di banyak adegan. Juga tidak ada karakter protagonis maupun antagonis yang tampil dengan motif atau konflik yang dipaksakan keberadaannya. Porsi penceritaan yang tepat dan efektif. Memang, Cinta Laki-Laki Biasa kadang tidak bisa menghindari dirinya dari berbagai klise penceritaan film Indonesia tentang dua karakter yang berasal dari strata masyarakat yang berbeda – Apakah adegan karakter Nania dan Rafli yang menyaksikan masalah yang dihadapi pernikahan kakak-kakaknya benar-benar dibutuhkan? Kisah cinta segitiga yang disajikan dalam film ini juga tidak pernah mampu berkembang dengan baik. Karakter Tyo Handoko (Nino Fernandez) terasa hadir dalam kapasitas yang tanggung. Pada beberapa saat, karakter tersebut terasa coba dibentuk sebagai karakter antagonis dalam hubungan pernikahan karakter Nania dan Rafli. Namun, di saat yang lain, karakter tersebut tidak pernah terasa melakukan apapun selain menjadi plot device bagi beberapa konflik cerita film.

Pengarahan Soeharjanto juga menjadi kunci keberhasilan Cinta Laki-Laki Biasa dalam bercerita. Soeharjanto berhasil mengalirkan kisah asmara antara Nania dan Rafli dengan ritme penceritaan yang tepat. Tidak pernah terasa tergesa-gesa maupun sengaja memperlambat durasi pengisahan – meskipun paruh ketiga film terasa berjalan sedikit dipercepat untuk mencapai konklusi konflik yang disajikan di akhir penceritaan film. Arahan Soeharjanto untuk tata teknis Cinta Laki-Laki Biasa juga mampu membuat film ini naik kelas. Tata gambar arahan Cesa David Luckmansyah jelas sangat membantu Soeharjanto dalam membangun aliran cerita film. Di saat yang bersamaan, arahan musik Andhika Triyadi mampu mengisi celah emosional dalam banyak adegan. Dan meskipun tidak pernah menghadirkan tampilan sinematografi yang benar-benar berkesan istimewa seperti pada Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea, kualitas visual Cinta Laki-Laki Biasa jelas jauh dari kesan mengecewakan.

Sebagai sebuah drama romansa, kedua pemeran utama film ini berhasil menjalin chemistry yang begitu kuat sekaligus hangat antara satu dengan yang lain. Baik Vexia dan Mahenra mampu menghidupkan karakter yang mereka perankan dengan baik. Hal inilah yang membuat hubungan antara kedua karakter mereka terlihat sangat meyakinkan. Penampilan Nino Fernandez harus diakui seringkali terasa goyah dan datar di banyak bagian. Namun, para pemeran lain, meskipun tidak mendapatkan porsi penceritaan yang lebih luas, juga mampu menambah kesolidan kualitas penampilan departemen akting film. Wibowo, Rezer, Fabriana dan Donita terlihat begitu bersenang-senang dalam penampilan mereka. Muhadkly Acho dan Dewi Yull juga seringkali mencuri perhatian setiap kali karakter mereka dihadirkan. Juga yang mencuri perhatian adalah aktris cilik Messi Gusti yang beberapa kali diberikan momen-momen emosional dan berhasil mengeksekusinya dengan baik.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.