Diarahkan oleh Danial Rifki (La Tahzan, 2013), Melbourne Rewind berkisah mengenai jalinan asmara yang terjalin antara Laura (Pamela Bowie) dan Max (Morgan Oey). Setelah enam tahun lamanya berpisah, Max yang baru saja kembali dari pekerjaannya di kota New York, Amerika Serikat, kembali menemui Laura, gadis yang dulu sempat menjadi kekasih hatinya selama berkuliah di kota Melbourne, Australia, namun kemudian memilih untuk mengakhiri hubungan mereka setelah Max mendapatkan pekerjaan impiannya. Tentu saja, Max masih memendam rasa cintanya kepada Laura. Meski Laura kini bersikap dingin, Max terus berusaha agar Laura mau kembali membuka hati untuk kehadirannya. Namun, enam tahun setelah Max meninggalkannya, Laura kini telah menemukan sosok lain yang menjadi pujaan hatinya, Evan (Jovial da Lopez), seorang dokter hewan yang, sialnya, juga merupakan kekasih dari sahabatnya sendiri, Cee (Aurelie Moeremans).
Sama sekali tidak ada yang salah dengan menggunakan formula penceritaan familiar yang telah digunakan berulangkali. Lihat saja bagaimana Oiuja: Origin of Evil (Mike Flanagan, 2016) berhasil meramu berbagai formula horor familiar menjadi sebuah sajian yang tetap dapat menakuti para penontonnya. Atau Bridget Jones’ Baby (Sharon Maguire, 2016), drama komedi yang masih saja dengan setia mengikuti formula kisah cinta segitiga dari dua seri pendahulunya namun tetap berhasil memberikan kesan manis kepada para penontonnya. Di tangan yang tepat, formula penceritaan sebuah film yang mungkin telah terasa terlalu familiar (baca: usang) dapat diolah menjadi sajian yang tetap terasa segar dan menarik untuk diikuti. Sayangnya, berbagai formula drama romansa familiar yang terdapat dalam alur penceritaan Melbourne Rewind dieksekusi dengan begitu menjemukan sehingga gagal untuk dapat tampil dengan menarik.
Naskah cerita yang diadaptasi oleh Haqi Achmad dari buku berjudul sama karya Winna Efendi ini harus diakui memang terasa cukup lemah. Banyak konflik yang tersaji dalam jalan penceritaan datang dan pergi tanpa pernah dapat tergali maupun terpaparkan dengan baik. Namun, kesalahan paling fatal dari Melbourne Rewind adalah film ini sama sekali tidak memiliki karakter sentral yang dapat menarik perhatian penonton dengan sepenuh hati. Meskipun Bowie menampilkan kemampuan akting yang tidak mengecewakan, karakter Laura yang ia perankan jelas bukanlah sosok yang mudah untuk diberikan simpati: ia adalah sosok gadis yang memilih untuk meninggalkan permasalahan hidup daripada berusaha menghadapinya, sama sekali tidak memiliki ambisi untuk masa depannya dan malah berusaha menghalangi ambisi orang lain demi kenyamanan dirinya sendiri. Hal ini masih ditambah dengan karakternya yang berusaha untuk merebut kekasih dari sahabatnya sendiri. Hal tersebut tidak hanya terjadi pada karakter Laura. Karakter-karakter sentral lain seperti Max, Cee dan Evan juga mengalami nasib yang sama. Karakter-karakter yang tergambar dengan karakteristik yang begitu dangkal sehingga sulit untuk membuat kisah mereka menjadi menarik untuk diikuti.
Permasalahan lain muncul dari chemistry yang begitu terasa minim antara pemeran karakter-karakter tersebut. Memang bukan sama sekali gagal namun jelas tidak terasa terlalu hangat untuk dapat tampil meyakinkan bahwa keempat karakter tersebut memiliki jalinan kisah yang terhubung satu sama lain. Keempat pemerannya sendiri bukannya tampil dengan penampilan akting yang mengecewakan – meskipun da Lopez seringkali terlihat kurang leluasa dalam menghidupkan karakternya maupun membangun chemistry dengan setiap lawan mainnya. Namun, dengan deskripsi dan pengembangan karakter yang tampil one dimensional, sulit memang untuk menjadikan karakter-karakter tersebut untuk tampil humanis bagi banyak penonton.
Pengarahan Danial Rifki juga sama sekali tidak membantu. Rifki seringkali menyajikan Melbourne Rewind dengan ritme penceritaan yang berantakan. Alur kisah balik yang hadir dalam jalan cerita film juga gagal untuk dikemas dengan rapi sehingga lebih sering tampil membingungkan daripada memberikan ruang yang lebih luas bagi pengembangan jalan cerita. Jika ingin sedikit memberikan pujian, Rifki setidaknya mampu membungkus film ini dengan kualitas teknis yang mumpuni. Tata gambar yang diarahkan oleh Yoyok Budi Santoso mampu memberikan tampilan visual yang memanjakan penglihatan para penonton. Tata musik arahan Andhika Triyadi juga tampil apik – bahkan sering memberikan emosi tambahan yang sangat terasa minim dari jalan cerita Melbourne Rewind. Kehadiran lagu-lagu indie pop di sepanjang perjalanan film juga cukup mampu menambah warna penceritaan film meskipun acapkali lebih sering terasa sebagai gimmick daripada sebagai sebuah elemen yang benar-benar dibutuhkan film ini untuk tampil lebih baik.
Rating :