Dalam salah satu masterpiece-nya, fantasi gelap Pan's Labyrinth (2006), Guillermo del Toro sukses memaparkan jika sebuah dongeng tak selamanya menawarkan keindahan, melainkan juga rasa takut dan teror. A Monster Calls, film arahan J.A. Bayona (The Orphanage, The Impossible), tampaknya memilih jalan setipe.
Dongeng adalah prosa fiktif dengan tujuan tidak hanya sebagai hiburan, namun diharapkan memiliki pesan moral yang bisa dipetik. Variannya bisa berbentuk mitos, legenda, hikayat, atau fabel. A Monster Calls menggabungkan beberapa di antaranya.
Film diangkat dari buku berjudul sama tulisan Patrick Ness, juga bertugas sebagai penulis naskah. Ia berkisah tentang seorang anak laki-laki bernama Conor O'Malley (Lewis MacDougall), sosok penyendiri dan kerap di-bully teman sekolahnya. Bukan itu saja beban hidup Conor, karena sang ibunda (Felicity Jones) tengah sekarat akibat mengidap sebuah penyakit dan ia "terancam" untuk tinggal bersama sang nenek (Sigourney Weaver) yang tak begitu disukainya.
Rasa frustasi Conor entah bagaimana memanggil sesosok monster raksasa berbentuk pohon yew (disulih suara oleh Liam Neeson). Sang monster menjanjikan membantu Conor memperbaiki hidupnya, asal sang anak mau mendengarkan tiga buah ceritanya (dihadirkan secara menarik dengan bantuan teknik animasi cantik). Sebagai balasan Conor harus menyajikan cerita keempat berdasarkan mimpi buruk yang kerap mengunjunginya di malam hari.
Kisah-kisah sang monster fantastis, namun memiliki atmosfir gelap dan sudut pandang berbeda dari dongeng awam, serta mengandung ambiguitas tentang apa yang disebut dengan perbuatan baik atau buruk. Ini mungkin bisa disebut sebagai leitmotif dari aspek tematis film.
Premisnya menarik dan menawarkan sesuatu berbeda jika dijajarkan dengan film-film bertema fantasi biasa. A Monster Calls bukan tentang aksi laga mendebarkan. Sisi fantastis hanyalah dekorasi. Sejatinya ia adalah drama dengan asupan dakwah pesan moral tebal. Hanya saja, terlepas dari kemampuan menghadirkan visual mengagumkan, Bayona sepertinya belum bisa melepaskan kecendrungannya untuk mengadirkan sisi melodramatis mendayu-dayu secara tebal.
Pada ujungnya A Monster Calls adalah mesin pengundang airmata dengan amunisi limpahan adegan dengan tendensi demikian. Sebagaimana drama dengan bumbu penyakit mematikan pada umumnya, film pun mengandalkan dinamika emosi intens antara karakternya. Cuma agak sulit menghindari kesan manipulatif dalam upaya film untuk menimbulkan rasa haru.
Subtilitas nyaris bukan pilihan mengingat setiap karakter mengandalkan penyaluran emosi, entah rasa marah atau sedih, secara ekspresif. Bayona sepertinya tidak percaya dengan momen sunyi, atau mungkin sekedar gestur, untuk memberi nuansa secara lebih mendalam. Belum lagi adegan-adegan dirangkai secara sadar agar penonton didorong untuk terisak saat menyaksikannya.
Lewis MacDougall bermain dengan lumayan baik, meski karakternya memiliki keterbatasan ruang agar bisa berkembang lebih luas. Imbasnya Conor terasa seperti anak manja menyebalkan, ketimbang menimbulkan rasa peduli dan simpati. Sementara itu, dengan segala keterbatasan sama didapatkan Jones dan Weaver, kedua senior MacDougall ini tentu saja tidak tampil mengecewakan.
Seusai Pan's Labyrinth, kita merasa sesak di dada bukan hanya karena rasa haru, namun utamanya karena kandungan temanya begitu keras menyentuh sisi humanis di dalam diri. Ambiguitas adalah bagian organis dari aspek tematisnya, bukan sekedar gimmick. Sesuatu yang tidak didapat setelah A Monster Calls. Sayang sebenarnya, karena film memiliki modal untuk itu, tapi harus tunduk pada urgensi melankolisme sisi melodoramanya. Meski demikian, sebagai dongeng ia masih menarik untuk disimak. Walau betapa jenerik pesan yang ingin disampaikannya.
Rating :